Bunyi gendang berpadu gong memecah keheningan Kampung Adat Bena yang berdiri di kaki Gunung Inerie, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (5/8/2019) pagi. Irama bertempo cepat dimainkan di pelataran rumah adat Jawa Ria milik suku Kopa yang pada hari itu akan dilangsungkan upacara wae sao atau pemasangan atap.
Bunyi gong dan gendang mengajak warga kampung bergegas ke rumah itu. Dalam selimutan suhu sekitar 15 derajat celsius, satu per satu warga berdatangan. Menggunakan tongkat bambu, para pria melontarkan alang-alang ke atap. Alang-alang diikat dengan diameter sekitar 4 sentimeter, kemudian ditusuk menggunakan belahan bambu sepanjang 1 meter. Setiap tusuk terdapat 25 ikat.
Saat alang-alang dilontarkan, Hipolitus Pea, Ketua Suku Kopa, diikuti anggota suku keluar dari dalam rumah panggung tersebut. Mereka mengenakan pakaian adat, sarung, selempang, dan ikat kepala. Tiba di depan pintu, Hipolitus menghunuskan parang dari pinggang, lalu mengacungkannya. Pemain gong dan gendang yang kebanyakan pria tua itu menghentikan pukulan. Suasana berubah hening.
Hipolitus lalu melakukan sangaza atau berbicara dalam bahasa lokal. Ia berteriak mengumumkan bahwa hari itu rumah Jawa Ria siap dipasang atapnya. Selesai sangaza, gong dan gendang kembali bertalu. Hipolitus bersama anggota suku Kopa menari tarian ja’i dari depan pelataran rumah hingga mengelilingi sebuah makam batu di tengah kampung. Prosesi itu untuk meminta restu leluhur agar pemasangan atap berjalan dengan lancar.
Selesai prosesi tarian ja’i, pemasangan atap rumah dimulai. Ratusan orang di kampung berpenduduk sekitar 370 jiwa itu berbagi peran. Para pria memasang atap, melontarkan alang-alang, dan memotong hewan kurban babi dan kerbau, sementara perempuan menyiapkan makanan dan sebagian lagi membantu pria mengumpulkan alang-alang sebelum dilontarkan. Sekitar empat hingga lima jam, atap selesai dipasang.
Sore harinya, Hipolitus bersama anggota suku Kopa kembali menari di depan rumah baru itu. Sebelum menari, ia mengumumkan, rumah sudah selesai dibangun. Suku Kopa mengundang semua warga Bena datang merayakan syukuran. Diiringi gong dan gendang, mereka menari menjemput keluarga dari suku lain yang datang membawa hantaran berupa hewan kurban. Hantaran itu akan disantap bersama keesokan harinya.
Pada malam hari itu, anggota suku Kopa kembali berkumpul di dalam rumah tersebut. Mereka masuk ke dalan one, ruang inti rumah adat, lalu menyembelih seekor babi. Darah babi dioleskan ke tiang dan dinding rumah pertanda, rumah sudah dapat ditinggali. Selain one, bagian rumah yang lain adalah teda one atau ruang tamu dan teda wewa atau teras. Proses panjang pembangunan rumah berukuran 8 meter x 7 meter dengan tinggi 8,5 meter itu sudah selesai.
Pada Selasa (6/8/2019) pagi, hewan yang dibawa keluarga suku lain ditambah hewan yang disiapkan suku Kopa disembelih. Jumlah hewan yang disiapkan sebanyak 2 kerbau dan 20 babi. Daging kerbau dan babi itu kemudian dimasak, lalu dimakan bersama nasi dan moke sebagai minuman. Tamu yang kebetulan berada di Kampung Bena pada saat acara pun diajak untuk makan bersama. Panitia dari pihak keluarga dan kampung kemudian membagikan nasi dan daging yang sudah dimasak dengan cara direbus kepada warga dan tamu yang duduk berjejer di tengah kampung berukuran 220 meter x 56 meter itu.
Makanan itu juga diantar ke semua rumah agar mereka yang tidak datang, terutama anak-anak dan orang lanjut usia, juga bisa ikut menikmati. Di Kampung Bena terdapat 45 bangunan rumah adat milik sembilan suku, yakni Bena, Dizi, Dizi Azi, Ngada, Deru Lalulewa, Deru Solomai, Watho, Tazi Kae, dan Kopha. ”Ini pesta bersama, bukan hanya suku Kopa sendiri. Keluarga, keturunan, dan kerabat dari luar Bena juga datang,” ujar Hipolitus.
Solidaritas warga
Pembangunan rumah Jawa Ria itu, kata Hipolitus, menghabiskan waktu sekitar dua bulan dengan dua kali acara yang melibatkan warga satu kampung, yakni tere puda atau pemancangan tiang dan wae sao atau pemasangan atap. Rumah itu berbentuk panggung dengan bahan dari kayu dan atap alang-alang. Bangunan itu ditopang 4 tiang utama, 150 lembar papan, dan 540 tusuk alang.
Bahan kayu ditanggung keluarga suku, sedangkan atap alang-alang disumbang oleh warga dari kampung tersebut. Satu orang warga usia produktif menyumbang dua tusuk alang-alang. Hingga proses peresmian itu, anggaran yang dikeluarkan sekitar Rp 500 juta. ”Di sini saling membantu, baik dalam suku maupun dalam kampung. Semua punya hubungan keluarga,” ujar Yosep Wonga (82) dari suku Bena, suku yang dianggap paling tua di perkampungan yang diperkirakan sudah ada sejak 12 abad silam itu.
Pemasangan atap tersebut menjadi tontonan bagi wisatawan dalam dan luar negeri yang berkunjung ke Kampung Bena. Dalam satu pekan saja, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kampung Bena sedikitnya 500 orang, dengan 30 persen di antaranya wisatawan asing. Perkampungan megalitikum itu menjadi pilihan bagi mereka yang menyisir tempat wisata Flores, baik dimulai dari Labuan Bajo di bagian barat maupun Larantuka di bagian timur. Nama Bena mulai mendunia dalam satu dasawarsa terakhir.
Andrea, wisatawan asal Italia, terkesan dengan Kampung Bena terutama warga yang bergotong royong membangun rumah adat tersebut. ”Ini momentum yang bagus sekali. Mereka saling membantu,” ucapnya.
Andrea juga terkesan pada kain tenun ikat yang dikerjakan perempuan di kampung itu. Ada tenun ikat yang dipakai sendiri dan ada juga yang dijual. Banyak tenun ikat yang menggunakan bahan pewarna alami. Andrea mengaku sudah dua kali datang ke Bena. Kali ini ia datang bersama empat temannya.
Bentuk dan keaslian rumah serta tradisi gotong royong dalam membangun masih terjaga di Kampung Bena. Rumah seakan menjadi benda bernyawa yang menunjukkan identitas Bena. Atapnya kokoh seperti Gunung Inerie. Begitu pula dengan pesan filosofis dari ukiran-ukiran. Ada ukiran tanduk kerbau sebagai simbol kesejahteraan, ukiran gambar ayam sebagai pengingat syukur pagi, dan ukiran kuda sebagai alat transportasi. Di banyak tempat, keaslian mulai pudar oleh modernitas sehingga gotong royong pun perlahan ditinggal pergi oleh egoisme manusia.
Fungsi alang-alang untuk atap rumah ini bukan hanya sebagai penghalau hujan dan panas. Alang-alang itu atap hidup yang selalu melindungi masyarakat Bena dari dampak buruk modernitas yang cenderung melahirkan egoisme. Satu tusuk alang-alang saja kini harganya mencapai Rp 50.000. Artinya, setiap penyumbang mengeluarkan uang Rp 100.000. Mahal memang, tetapi yang lebih penting dari nilai uang itu adalah nilai kebersamaan di Kampung Adat Bena. Kebersamaan dan solidaritas inilah yang tidak ternilai harganya. (FRANS PATI HERIN/ARIS PRASETYO/LUKI AULIA)