Kisah Rumphius dan mahakaryanya berjudul Herbarium Amboinense penuh dengan drama. Pria bernama lengkap Georgius Everhardus Rumphius ini sejatinya adalah seorang prajurit yang bekerja untuk Perserikatan Dagang Hindia Timur atau VOC. Namun, sosok kelahiran Jerman ini tak pernah suka bertempur dan lebih mencintai kehidupan flora dan fauna di Maluku.
Tiba di Ambon, Maluku, pada 1653, Rumphius hanya bertahan selama empat tahun sebagai serdadu. Pada 1657, ia keluar dari dinas kemiliteran dan dipercaya menjabat juru dagang pemula (onderkoopman) VOC di Larike, yang kini tercatat sebagai wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. Sejak saat itu, kecintaannya pada dunia tumbuhan dan hewan kian memuncak.
Dibantu istri tercintanya, Susanna, dan anak-anak mereka, Rumphius mengumpulkan berbagai jenis tanaman untuk diteliti, dicatat, dan digambar ilustrasinya. Hasil kerjanya itu dihimpun dalam sebuah buku yang ia beri judul Herbarium Amboinense. Buku ini berisi sekitar 1.200 jenis tanaman yang meliputi penjelasan tentang nama dalam bahasa Latin, Belanda, Arab, Melayu, China, dan nama lokal. Tak cukup di situ, Rumphius juga memberikan penjelasan bagaimana tanaman itu dibudidayakan dan di mana saja bisa tumbuh, termasuk manfaat dari tanaman itu sendiri.
Malang tak dapat ditolak. Rumphius mengalami buta total akibat glaukoma di usia 43 tahun. Namun, musibah itu tak bisa menghentikannya untuk terus meneliti berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang ia dapati. Dalam keadaan seperti itu, Rumphius mengandalkan bantuan Susanna dan anak-anak mereka untuk mengumpulkan sampel. Rumphius mendikte anaknya untuk menuliskan apa yang ada di pikirannya. Ia mengenali tumbuhan lewat rabaan dan sentuhan, penciuman, serta usapan kedua tangannya. Ia dibantu juru gambar, termasuk putranya yang bernama Paulus Augustus, untuk melengkapi deskripsi jenis tanaman.
Dalam buku karya G Ballintijn berjudul Rumphius: De Blinde Ziener van Ambon yang diterjemahkan Frans Rijoly dan diterbitkan Perpustakaan Rumphius Ambon (2003), ditulis bahwa Rumphius menyelesaikan enam buku tentang rempah-rempah (Herbarium Amboinense) pada 1690. Saat itu, ia merasa sangat puas. Ia berharap keenam jilid bukunya itu dapat segera dikirim ke Belanda untuk dicetak agar pengagum flora di Eropa dapat memetik kekayaan pengetahuan medis yang terangkum dalam karyanya itu.
Akan tetapi, mimpi Rumphius tak berujung menjadi nyata. Keenam jilid bukunya yang dikirim dari Ambon ke Batavia (Jakarta) pada September 1690 itu jatuh ke tangan Gubernur Jenderal Joannes Camphuys yang saat itu berkuasa. Disebutkan bahwa dari sekian nama gubernur jenderal yang memerintah di Hindia Belanda, hanya Camphuys yang disebut memiliki kepribadian yang aneh.
Camphuys sangat tercengang saat membaca enam jilid buku karya Rumphius tersebut. Ia heran dengan ketelitian Rumphius dalam hal mendeskripsikan tumbuhan. Total, keenam jilid buku tersebut terdiri dari 345 bab dan 392 gambar. Nyata bahwa Rumphius dan para pembantunya tidak bekerja dengan setengah-setengah.
Camphuys yang juga pencinta ilmu pengetahuan berhasrat memiliki buku tersebut sehingga keenam jilid karya Rumphius itu tak kunjung dikirim ke Belanda untuk dicetak. Sementara nun jauh di Ambon, Rumphius terus bekerja melanjutkan tulisan tentang rempah-rempah Ambon sembari membayangkan bahwa keenam jilid pertamanya sudah tiba di Belanda dan dipublikasikan.
Akhirnya, setelah dua tahun berkuasa dan turun jabatan, Camphuys rela melepas enam jilid buku Rumphius dan mengirimkannya ke Belanda pada 1692 dengan kapal Waterlandt di bawah komando Willem Keup. Sekali lagi, kemalangan menimpa Rumphius. Pada 12 September 1692, kapal Waterlandt diserang kapal Perancis yang sedang berlayar menuju Hindia Timur. Manuskrip Herbarium Amboinense turut menghilang di dasar laut.
Rupanya, tanpa sepengetahuan Rumphius selaku penciptanya, diam-diam Camphuys memerintahkan Cornelis Abrahamsen untuk membuat salinan Herbarium Amboinense. Abrahamsen adalah mantan pembantu Rumphius. Ide Camphuys untuk membuat salinan tersebut untuk antisipasi apabila pengiriman Herbarium Amboinense mengalami musibah di laut. Dan, dugaannya memang tepat. Namun, ada pula yang berasumsi bahwa salinan itu dibuat untuk kepentingan pribadi Camphuys.
Sampai akhirnya, setelah mendengar kabar dari Batavia, Rumphius menambahkan catatan penting dan sejumlah perbaikan untuk keenam jilid pertama Herbarium Amboinense. Ia juga menambahkan lagi tiga jilid buku rempah-rempah sehingga secara keseluruhan Herbarium Amboinense terdiri dari sembilan jilid buku dan semuanya berhasil dikirim dengan selamat ke Belanda.
Apakah karya Rumphius berhasil diterbitkan? Belum. Pada 1699 sudah ada permintaan salah satu penerbit di Amsterdam untuk mencetak Herbarium Amboinense, tetapi ditolak petinggi VOC. Mereka cemas kekayaan dalam buku tersebut, apabila diketahui publik, bakal mengganggu bisnis mereka di Hindia Timur. Hingga Rumphius wafat pada 15 Juni 1702, Herbarium Amboinense masih berupa manuskrip dan tersimpan rapi dalam arsip VOC.
Beruntung, seorang guru besar di Amsterdam bernama Joannes Burman pada 1736 berhasil mengeluarkan manuskrip Herbarium Amboinense dari arsip VOC. Ia juga berhasil meyakinkan penguasa VOC saat itu agar tidak menyembunyikannya dari dunia ilmu pengetahuan. Akhirnya, ia dipercaya untuk menerbitkan Herbarium Amboinense dengan syarat setiap bagian yang dapat merugikan VOC harus dihilangkan. Pada 1741, terbitlah berjilid-jilid Herbarium Amboinense.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia 2008-2018 Profesor Sangkot Marzuki menilai sosok Rumphius sebagai sosok yang sangat haus akan pengetahuan. Di tengah keterbatasan dan musibah bertubi-tubi yang ia alami, hal itu tak menyurutkan niatnya untuk berkarya. Ketekunan dan kegigihan Rumphius layak menjadi inspirasi bagi ilmuwan-ilmuwan di Indonesia.
”Anak muda sekarang untuk menyusun skripsi saja rasanya sudah ingin menangis. Ketekunan dan kegigihan Rumphius layak untuk dijadikan teladan,” ucap Sangkot saat dijumpai di ruang kerjanya di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Sangkot menilai sosok Rumphius mirip dengan sosok Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang menjelajahi Nusantara pada periode 1854-1862. Keduanya, menurut Sangkot, bekerja di tengah keterbatasan. Namun, mereka tak mengenal kata menyerah dan mampu menghasilkan karya fenomenal dari kekayaan alam Nusantara. Hanya saja, masih ada misteri yang belum terungkap kenapa Wallace sama sekali tindak menyinggung nama Rumphius dalam bukunya yang berjudul The Malay Archipelago.
Nasib keduanya pun serupa. Tak ada jejak berarti yang tersisa dari Rumphius di Ambon ataupun Wallace yang menghabiskan hampir empat tahun di Ternate, Maluku Utara, dari masa penjelajahannya di Nusantara. Sedikit yang tersisa dari Rumphius adalah monumen untuk mengenangnya yang berdiri di sudut halaman SMA Xaverius di Kota Ambon.
Selain itu, ada perpustakaan Rumphius yang didirikan oleh mantan Uskup Amboina, mendiang Mgr Andreas Sol MSC, di kompleks Katedral Ambon. Prasasti ataupun perpustakaan merupakan inisiatif dari pihak Gereja Katolik setempat.
”Ilmuwan ini terkenal di dunia, tapi tenggelam di kota di mana ia melahirkan mahakaryanya,” kata Pastor Paroki Katedral Ambon RD Patrisius Angwarmas. (FRN/LUK)