Alfred Russel Wallace sebenarnya tidak pernah berencana untuk berkunjung ke Bali dan Lombok pada Juni-Juli 1856. Seandainya saja dia menemukan jalur yang langsung menuju Makassar dari Singapura, Wallace tidak akan menjejakkan kaki di kedua pulau itu. Dan, jika itu terjadi, Wallace tidak akan menemukan hal-hal yang terpenting dari keseluruhan perjalanannya ke dunia Timur. Di Lombok, Wallace tiba di Pelabuhan Ampenan.
Dalam bukunya The Malay Archipelago yang terbit 150 tahun lalu, Wallace menuliskan kesannya terhadap Ampenan. ”Teluk dan pangkalan laut di Ampenan sangat luas, terlindungi dari terjangan angin tenggara dan kondisinya setenang danau. Pantainya berpasir hitam dan sangat terjal. Gelombang pasang selalu sangat kuat dan menghasilkan ombak dengan ketinggian yang menyebabkan kapal-kapal mustahil untuk berlabuh. Kecelakaan serius sering terjadi di situ,” tulis Wallace.
Ampenan merupakan salah satu kecamatan di Kota Mataram dan identik dengan bangunan kuno peninggalan arsitektur Belanda. Pada waktu itu, Ampenan adalah kota pelabuhan dan salah satu pusat perdagangan, khususnya ekspor ternak, yang penting di Lombok. Hal ini masih terlihat ketika kita menyusuri kawasan Ampenan yang mayoritas bangunannya tidak direnovasi. Bahkan, di bibir pantai masih berdiri sisa-sisa tiang pancang bekas pelabuhan. Menurut catatan sejarah kota tua Ampenan, kota itu dibangun pada 1924 oleh Belanda untuk mengimbangi kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Bali.
Ampenan berasal dari kata amben, dalam bahasa Sasak berarti tempat persinggahan. Sebagai kota pelabuhan, sejak dahulu Ampenan menjadi tempat singgah pedagang ataupun pengunjung dari sejumlah daerah. Ampenan pernah menjadi pelabuhan penyeberangan utama yang menghubungkan Pulau Lombok dengan Pulau Bali. Namun, sejak tahun 1973, pelabuhan penyeberangan dipindahkan ke Lembar karena gelombang laut yang terlalu besar.
Ampenan pernah meraih kejayaan pada tahun 1840 karena perdagangan beras, tekstil, kopi, kapas, dan kacang kedelai yang dikenal unggul di Asia Tenggara dan Asia Timur. Wallace juga menceritakan situasi perdagangan di Lombok kala itu. Komoditas dagang utama di Lombok dan Bali adalah beras dan kopi. Beras diekspor ke pulau-pulau lain di Nusantara, Singapura, hingga China. Mata uang yang digunakan pada waktu itu adalah uang tembaga China. Dari Lombok, bebek dan kuda kerdil diekspor dalam jumlah banyak. Bebek-bebek Lombok peranakan sangat khas. Tubuhnya panjang dan rata serta berjalan tegak hampir seperti penguin. Umumnya mereka berwarna pucat kemerahan dan dipelihara dalam kelompok besar.
Koleksi spesimen
Segera setelah mendarat di Ampenan, Wallace minta diantar masuk ke pedalaman untuk mencari spesimen burung dan serangga. Selama berada di Lombok ini pula, Wallace mendapat kesempatan melihat sejumlah spesimen untuk pertama kalinya. Contohnya, burung kepodang (Oriolus broderpii) berwarna jingga yang hanya hidup di Lombok dan pulau-pulau di dekat Sumbawa dan Flores. Ia juga mendapatkan spesimen burung kecil pengisap madu dari genus Ptilotis, burung gosong (Megapodius gouldii), delapan spesies raja-udang di antaranya spesies yang kala itu baru, yakni Halcyon fulgidus, dan burung pemakan lebah kirik-kirik Australia (Merops ornatus).
Di bukunya itu juga, Wallace menceritakan kesulitannya dalam proses pengawetan spesimen di Lombok karena kondisi yang lebih sulit daripada biasanya. Ia melakukannya di ruangan kecil di rumah milik David, warga Melayu-Ambon, di Labuan Tring, yang multifungsi sebagai tempat makan, ruang tidur, ruang kerja, tempat penyimpanan, dan tempat pemotongan. Tidak ada laci, lemari pakaian, meja, ataupun kursi. Semut berkeliaran di mana-mana. Anjing, kucing, dan ayam bisa masuk dengan leluasa.
Tak hanya itu. Ruangan tersebut juga digunakan sebagai ruang duduk dan menerima tamu. Ruang kerja Wallace hanyalah kotak yang dipakai sebagai meja makan, tempat duduk untuk menguliti burung, serta tempat menyimpan burung yang telah dikuliti dan diawetkan. Untuk menjaga koleksinya terbebas dari semut, Wallace meminjam kursi tua, lalu menempatkan empat batok kelapa yang diisi air untuk ditempatkan di keempat kaki kursi dan meletakkan kotak penyimpanannya di atas kursi itu.
Semua bagian tubuh hewan memakan waktu agar kering sepenuhnya dan selama proses itu pasti mengeluarkan bau yang tidak sedap. Hewan yang sedang mengering juga mengundang semut, lalat, anjing, tikus, kucing, dan hewan perusak lain.
Wallace menceritakan keinginannya untuk bisa mengawetkan tengkorak dari berbagai burung dan hewan, reptil dan ikan, kulit hewan yang besar, buah-buahan dan kayu-kayuan, serta obyek menarik tentang kehidupan dan perdagangan yang lain. Namun, karena kondisi yang serba terbatas seperti itu, mustahil untuk menambah koleksi. Ketika bepergian menggunakan perahu, kondisinya makin sulit. Karena kondisi seperti itu, Wallace harus membatasi koleksinya pada kelompok-kelompok tertentu sehingga ia bisa lebih fokus. Hal itu bisa mencegah kerusakan atau pembusukan pada koleksi yang sering kali didapatkan dengan penuh perjuangan dan rasa sakit. (LUK/APO/NIT)