Di usianya yang tak lagi muda, Hasan Abubakar (81) masih setia menjaga adat di Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Tak hanya mengawetkan tradisi, Ketua Lembaga Adat Desa Maria itu rajin mencatat segala peristiwa di desanya. Catatan-catatan lewat tulisan tangan yang apik itu tersimpan rapi di lemari rumahnya.
Hasan sangat menghargai setiap tamu yang berkunjung. Seperti yang dialami Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas saat berkunjung di kediamannya, Selasa (16/7/2019) siang, Hasan menyambut dengan pakaian adat Bima. Di pinggang kirinya terselip sebilah keris.
”Saya ingin, ketika bercerita, orang-orang tahu bagaimana adat Bima, termasuk lewat pakaian yang saya kenakan. Saya juga senang banyak tamu yang datang untuk bertanya tentang adat budaya kami. Itu menjadi kesempatan bagi kami untuk mengenalkan budaya kepada mereka,” tutur Hasan yang masih bisa bercerita panjang lebar dengan suara jernih.
Usia 81 tahun tak membuat dirinya lemah dan banyak berdiam diri. Hasan masih aktif menjadi Ketua Lembaga Adat Desa Maria. Desa Maria adalah salah satu desa yang hingga kini memegang teguh adat leluhur mereka, di antaranya mengawetkan uma lengge atau lumbung warga. Rumah lumbung menjadi bagian penting dari budaya masyarakat Bima. Hanya di Desa Maria, kompleks berisi 100-an rumah lumbung masih berdiri utuh dan difungsikan dengan baik.
”Kami masih melaksanakan adat lumbung turun-temurun. Pada saat panen padi yang biasanya jatuh bulan Agustus, upacara Ampa Fare (tradisi syukuran) harus dilakukan di uma lengge,” kata Hasan.
Menurut dia, adat di Desa Maria dipegang teguh. Lembaga adat turut mengawal berjalannya adat desa. Lumbung, misalnya, masih difungsikan karena selama ini sudah terbukti sering menghindarkan warga dari ancaman kelaparan. ”Desa kami hanya bisa panen sekali setahun, apa jadinya kalau tak ada lumbung,” ucap Hasan.
Lumbung tersebut tidak hanya bernilai secara fisik, tetapi juga memberi roh pada warga Desa Maria. Semangat kerja keras, hemat, dan taat melekat dalam budaya lumbung tersebut. Warga, misalnya, akan merasa malu jika lumbung mereka cepat kosong. Warga juga akan memilih bekerja lebih agar lumbung terus terisi.
Lumbung juga mengawetkan makanan lokal. Warga Desa Maria hingga kini setia mengonsumsi sorgum, ketan, atau jagung sebagai pengganti nasi. Setidaknya, makanan itu wajib hadir saat perayaan atau upacara adat. Hasan dan tetua adat lainnya memastikan budaya lumbung yang sudah diwariskan leluhur bisa tetap dijalankan.
Pencatat sejarah
Di Desa Maria, kekayaan adat tak hanya dipraktikkan, tetapi juga dituliskan. Hasan sebagai ketua lembaga adatlah yang menginisiasi catatan-catatan penting tentang Desa Maria dan budaya Mbojo, suku asli di Bima. Catatan-catatan itu mulai dari sejarah uma lengge, masuknya Islam ke Bima, nilai-nilai warisan leluhur Desa Maria, prosesi adat, hingga kejadian-kejadian penting yang terjadi menyangkut uma lengge.
Kearifan lokal yang ada di Wawo, misalnya, ia tulis mulai dari pilihan pangan masyarakatnya hingga syair padi yang biasa dilantunkan saat upacara adat. Dari catatannya, pembaca akan tahu, masyarakat Wawo menyimpan kekayaan pangan lokal. Tak hanya padi, tetapi juga ketan, beras latu atau gandum bima, hingga sorgum. Kekayaan itu membuat keseimbangan pangan. Jika beras gagal panen, warga bisa menyantap menu lain.
Hasan juga menggambarkan detail aneka padi-padian yang dikenal di desanya. Demikian pula alat-alat masak yang masih tradisional, seperti periuk dari bilah bambu atau lesung kayu. Proses pengolahan pangan pun ia cantumkan. ”Mengapa penting? Karena ini akan jadi warisan, agar penerus kami tak kehilangan jejak bagaimana kami mengolah pangan,” katanya saat ditanya alasan kegemarannya mencatat tersebut.
Kejadian-kejadian penting yang pernah terjadi pun ia tuliskan. misalnya kejadian angin topan pada tahun 1970-an yang meruntuhkan lumbung atau musibah paceklik tahun 1967 yang menyebabkan warga kesusahan. Dari catatan itu, Hasan menggambarkan pula kegotongroyongan warga untuk bisa bertahan.
Hingga kini, setidaknya ada 100-an catatan tentang budaya dan adat di Bima. Dari catatannya pula, orang bisa tahu sejarah tertulis dari uma lengge. Harapannya, saat ia sudah tak mampu lagi bercerita, catatan-catatan itu bisa berbicara. Dengan catatan itu, siapa pun dengan mudah bisa menelusuri sejarah dan nilai-nilai adat di Desa Maria.
”Siapa pun bebas membaca dan menyalinnya,” ujar Hasan, sembari mempersilakan untuk memperbanyak beberapa catatannya.
Penerus
Hasan mulai bergelut dengan adat sejak ia pensiun sebagai kepala sekolah di Bima tahun 1998. Pada 2003-2005, ia mewakili masyarakat untuk duduk di DPRD Kabupaten Bima. Selepas itu, ia aktif kembali menjadi anggota adat di Desa Maria.
Selama 13 tahun terakhir, Hasan dipercaya sebagai ketua lembaga adat desa. Saat itu, ia dipilih lantaran diketahui sebagai sosok yang paling aktif di lembaga adat desa. Ia pula yang secara rutin mengajak anak-anak muda untuk bergabung dengan lembaga adat dan mulai menulis catatan sejarah tentang desanya.
Sebagai ketua adat, ia tak hanya mengurus uma lengge, tetapi juga menjaga hukum pidana, perdata, adat, dan budaya berjalan sebagaimana mestinya. Jika ada persoalan, warga biasanya menyelesaikan secara adat. Masalah perluasan kampung, misalnya, lembaga adat akan memusyawarahkan hal itu dengan warga.
”Ada kekhawatiran yang mendalam yang saya rasakan. Di tempat lain, sawah tergusur oleh perumahan dan orang lebih suka membeli beras. Kami yang ada di sini sebisa mungkin menjaga agar hal itu tak terjadi,” ujar Hasan.
Berdasarkan kesepakatan warga, kampung bisa diperluas. Namun, sawah dan kompleks uma lengge tetap dijaga. Warga bisa menggunakan lahan tidur untuk dikelola lagi menjadi ladang. Dukungan Pemerintah Kabupaten Bima untuk melestarikan uma lengge membuat warga desa kian bersemangat. Kini, warga yang belum memiliki lumbung mulai membangun lumbung meski berada di luar kompleks uma lengge.
Hal yang menjadi tantangan saat ini adalah generasi penerus lembaga adat. Hasan telah 13 tahun mengemban posisi Ketua Lembaga Adat Desa Maria. Di usianya yang menginjak senja, ia merasa perlu mencari pengganti. Pengurus anggota adat lainnya pun mulai menginjak usia senja. ”Saya sudah tidak kuat sebenarnya. Selagi bisa, saya tak keberatan membantu,” ujarnya.
Ia berharap, estafet kepemimpinan adat berlanjut agar warisan leluhur mereka tetap lestari. (SIWI YUNITA C/LUKI AULIA/ARIS PRASETYO)
BIODATA
Nama: H Hasan H Abu Bakar, BA
Lahir: Bima, 1 Juli 1938
Istri: Siti Fatima binti H Sahidu
Anak:
Pekerjaan:
Pendidikan:
Penghargaan: