KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Permukaan Danau Limboto di Gorontalo, banyak tertutup eceng gondok dan tanaman gulma lain yang memicu sedimentasi, Rabu (19/6/2019). Danau ini termasuk salah satu dari 15 danau berstatus kritis di Indonesia. Selain sedimentasi, okupansi lahan danau untuk permukiman dan pertanian juga mengancam keberadaan danau. Tahun 1930 luas danau tercatat 7.000 hektar, kini hanya sekitar 3.000 hektar. Padahal, Danau Limboto mempunyai potensi perikanan yang besar, baik perikanan tangkap ataupun budidaya.

Sulawesi Utara

Hikayat Danau Limboto

·sekitar 5 menit baca

Lebih dari sekadar cekungan penampung air, Danau Limboto di Provinsi Gorontalo adalah saksi bisu perjanjian damai dua kerajaan. Pada 1673, dua kerajaan yang berseteru, Hulonthalo atau Gorontalo dan Limutu atau Limboto, mencapai kata sepakat di tengah danau itu.

Perseteruan kedua kerajaan telah menahun pada abad ke-17. Kedatangan kekuatan kolonial Belanda dalam rupa kongsi dagang Hindia Timur (VOC) menjadi awal bagi berakhirnya kesengitan dua kerajaan itu. Kala itu, Belanda datang mencari kesempatan di tengah entah apa yang diperebutkan Kerajaan Hulonthalo dan Kerajaan Limutu, mungkin tanah atau hasil bumi.

Politik divide et impera membuat Belanda memperoleh wilayah kekuasaan di tengah dua raja kecil yang tengah bertengkar. Tanah Hulonthalo dan Limutu pun semakin menyusut. Kemunduran kerajaan menyadarkan Raja Eyato dari Hulonthalo dan Panglima Popa dari Limutu bahwa ada pihak lain yang mengambil untung dari perseteruan mereka.

Sudah saatnya perseteruan dibenamkan, berganti kerja sama dan kerukunan. Di tengah Danau Limboto, Panglima Popa dan Raja Eyato saling berikrar untuk bersekutu. Dua cincin yang bertautan, lambang perdamaian dan persaudaraan dua kerajaan, ditenggelamkan ke Danau Limboto. Sebelum cincin itu kembali terlihat, tidak akan ada perang di antara dua kerajaan, di Tanah Gorontalo.

Salinan isi perjanjian Popa-Eyato itu kini dipajang di rumah adat Banthayo Pobo’ide, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo. Salah satu penggalannya berbunyi, “Dan barang siapa orang Negeri Limboto (atau) Negeri Gorontalo hendak menceraikan(nya) (hingga) luluh lantak seperti kapur dan hancur seperti lemak kerbau… maka luluh lantaklah (mereka).”

Harapan hidup

Empat abad telah berlalu sejak tautan cincin itu ditenggelamkan Panglima Popa dan Raja Eyato. Selama itu pula, Danau Limboto menjadi harapan hidup masyarakat nelayan di desa sekitarnya, seperti Desa Pentadio Barat, Pentadio Timur, dan Desa Hutada’a. Namun, perlahan semuanya berubah.

”Sudah turun ke danau dari jam delapan pagi, tetapi tidak dapat apa-apa. Lebih baik kami pulang saja,” kata Ais Hulopi (25), Selasa (25/6/2019) siang, di jalan inspeksi Danau Limboto. Junaedi Musa (20), kerabat Ais yang sesama nelayan, mendorong perahu mereka ke tepi danau. Jika dinaiki, lambung kapal bergesekan dengan dasar danau yang semakin dangkal.

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Nelayan yang tinggal di tepian Danau Limboto, Desa Tabumela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo, tengah menyiapkan perahunya untuk berlayar mencari ikan, Senin (18/6/2012). Akhir-akhir ini, nelayan di Danau Limboto mengeluhkan banyaknya ikan yang mereka budidayakan mati tercemar enceng gondok yang membusuk.

Terakhir kali mencari ikan di Danau Limboto, Ais hanya mendapatkan tujuh ekor mujair dan nila. Keadaan sudah berbeda. Ikan semakin sulit dicari karena danau tak lagi dalam, apalagi saat musim kemarau.

Samin (42), nelayan lain, juga memutuskan untuk pulang karena tidak mendapatkan tangkapan lagi. Ikan nila dan mujair sebanyak 3 kilogram hasil pagi hari dijual kepada pengepul dengan harga Rp 150.000. ”Sepuluh tahun lalu, bisa dapat 10 kilogram sehari. Sekarang susah, paling banyak hanya 6-7 kilogram,” ujarnya.

Tak hanya pendangkalan yang menjadi penghadang nelayan menyambung hidup. Tumbuhnya eceng gondok turut menyusahkan pergerakan perahu para nelayan. Beberapa perahu terlihat terjebak di tengah hamparan eceng gondok yang menghijau dan berbunga keunguan.

Kepala Hubungan Masyarakat Balai Wilayah Sungai Sulawesi II (BWSS II) Olden Winarto mengatakan, sedimentasi lumpur menyebabkan Danau Limboto semakin dangkal. Catatan Kompas (2 Januari 2016), pada 1932, kedalaman rata-rata danau mencapai 14 meter dengan luas 7.500 hektar. Kini, permukaan Danau Limboto hanya terpaut 2,5 meter dari dasar. Luasnya pun juga menyusut drastis menjadi 2.537,2 hektar karena sedimentasi.

”Sedimentasi pasti terjadi karena Danau Limboto berfungsi sebagai danau penampung aliran air dari 23 sungai. Lima sungai di antaranya termasuk sungai besar, yaitu Sungai Bulota, Biyonga, Alopohu, Meloopu, dan Marisa,” ucap Olden.

Revitalisasi

Keadaan Danau Limboto, lanjut Olden, mendorong pemerintah menetapkannya sebagai satu dari 15 danau kritis di Nusantara. ”Danau Limboto menempati peringkat ketiga paling kritis,” katanya.

Untuk itu, revitalisasi telah dilangsungkan sejak 2012 hingga 2018. Paket revitalisasi mencakup pengerukan dasar danau, pembersihan eceng gondok, pembangunan dam pengendali untuk menyaring lumpur endapan (sabo dam), dan pembuatan jalan inspeksi.

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Serbuan eceng gondok menutupi sebagian besar pemukaan Danau Limboto di Gorontalo. Pada gambar yang diambil Sabtu (6/10/2012), eceng gondok telah menjadi hama bagi budidaya ikan di dalam danau.

Sejauh ini, 13 sabo dam telah dibangun di 13 sungai yang bermuara di Danau Limboto, menyisakan 10 lainnya. Menurut Olden, dam-dam tersebut sedikit menurunkan laju sedimentasi lumpur ke Danau Limboto, dari 5.300 ton per tahun beberapa tahun lalu menjadi sekitar 4.000 ton per tahun kini.

Perbaikan itu, menurut Olden, berbuah manis. Ikan-ikan danau endemik di Sulawesi, seperti manggabai (Glossogobius giuris) dan payangka (Ophieleotris aporos), mulai terlihat lagi.

Pendiri komunitas Biodiversitas Gorontalo Rosyid Azhar mengatakan, ada 94 spesies burung yang hidup di sekitar Danau Limboto. Sebanyak 38 di antaranya adalah burung migran. Sebagian burung pun sudah kembali terlihat.

Kerja bersama

Kendati tanda-tanda positif sudah muncul, tidak mungkin sabo dam dan pengerukan dasar danau dapat menyelesaikan pendangkalan Danau Limboto. Semua pihak pengambil kebijakan harus turut memainkan perannya, seperti mengatasi kerusakan hutan di daerah hulu sungai yang bermuara di Danau Limboto.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gorontalo Budyanto Sidiqi mengatakan, sebanyak 11 kementerian dan lembaga terlibat dalam revitalisasi Danau Limboto. Di tingkat provinsi, dibentuk Kelompok Kerja Revitalisasi Danau sebagai wadah koordinasi.

Budyanto mengatakan, pemerintah yang dimotori Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan merehabilitasi hutan dan lahan seluas 12.000 hektar di hulu daerah aliran sungai Limboto-Bone Bolango (DAS LBB). Hutan di sekitar DAS LBB merupakan daerah tangkapan air.

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Bangunan Museum Pendaratan Pesawat Amfibi di Desa Iluta, Kecamatan Batuda’a, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Di tempat inilah, Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, mendarat di Danau Limboto dengan pesawat amfibi pada tahun 1950 dan 1956. Foto ini diambil pada 25 Mei 2011.

Pemerintah kabupaten dan kota hingga desa pun dikoordinasikan untuk mengawasi areal penggunaan lain (APL) di daerah penyangga hutan, terutama yang dijadikan lahan pertanian dengan kemiringan 30 persen. ”Kami minta pemerintah daerah menerapkan pertanian berbasis konservasi, salah satunya dengan cara agroforestri. Lahan-lahan pertanian itulah yang rawan menyebabkan sedimentasi,” kata Budyanto.

Upaya revitalisasi Danau Limboto tak boleh berhenti. Berbagai makhluk, mulai dari manusia hingga biota sekecil ikan manggabai, bergantung padanya. Gorontalo tak ingin melihat lagi tautan cincin yang ditenggelamkan Panglima Popa dan Raja Eyato muncul ke permukaan. (OKA/ENG/APO)

Artikel Lainnya