Kalau saja warga tak pernah menentang dan melawan rencana pemerintah memberikan izin pertambangan di kawasan bukit karst Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, mungkin wisatawan dalam dan luar negeri tidak bisa lagi menikmati keindahan bukit karst (kapur) di wilayah itu. Buah perlawanan ini kini dinikmati warga dengan ikut mengelola sekaligus menjaga kawasan wisata tersebut.
Daeng Beta (64) bersama istrinya, Maryana (64), malam itu menerima kami untuk menginap di rumah panggungnya di Kampung Berua, awal Juni lalu. Belum berapa lama duduk di teras rumah panggung, kopi, nasi, sayur bening, ikan goreng, telur dadar, dan sambal telah tersedia. Jika kedatangan tamu yang sudah memberi tahu akan datang, hidangan bisa lebih variatif.
Pagi hari, kembali kopi dan sarapan terhidang. Saat akan pulang dan bertanya harga yang harus kami bayar, mereka menyebut angka Rp 150.000 per orang. Walau dengan kamar seadanya, harga ini terbilang murah dengan segala keramahan dan suasana kampung yang didapatkan.
Daeng Beta hanya satu dari ratusan warga setempat yang kini menikmati buah perjuangan mereka melawan perusahaan tambang. Berhimpun dalam kelompok sadar wisata Rammang-Rammang, warga mengembangkan berbagai usaha untuk menunjang pariwisata.
Penginapan ala hotel atau yang berbentuk homestay, kafe, kios, parkir, hingga penyewaan perahu dan pemandu kini marak. Semua dikelola warga secara swadaya dalam kelompok sadar wisata. Kelompok ini bahkan kini didorong untuk menjadi badan usaha milik desa.
Hal yang tak pernah terpikir sebelumnya oleh warga saat mereka diiming-imingi menjadi buruh atau karyawan tambang jika perusahaan beroperasi. Memang, saat perlawanan dilakukan, sempat terjadi silang pendapat antara warga yang ingin perusahaan tambang masuk ke wilayah itu dan warga yang menolak.
Muhammad Ikhwan (39) atau yang dikenal warga setempat dengan panggilan Iwan Dento menjelaskan, setiap unit usaha yang dikelola warga ada koordinatornya, misalnya untuk perahu dan parkir. Iwan adalah pengurus kelompok wisata dan juga salah satu warga yang dahulu getol memimpin perlawanan terhadap rencana tambang di Rammang-Rammang.
”Untuk perahu, hanya warga yang punya rumah di pinggir sungai yang bisa mengajukan izin. Ini terkait dengan tempat menambat perahu. Bahwa mereka bekerja sama dengan orang lain yang memberi modal, itu terserah. Intinya, izin hanya diberikan kepada warga yang punya rumah di pinggir sungai,” kata Ikhwan.
Untuk pengelolaan ini, lanjutnya, ada pembagian antara pemilik izin, pemilik perahu, kas desa, dan kelompok. Begitupun parkir dibagi antara petugas parkir, kas desa, kelompok, dan pemilik lahan. Setiap kafe atau usaha apa pun yang terkait dengan wisata juga menyisihkan pendapatan untuk kas desa dan kelompok.
Dana kas desa biasanya digunakan untuk memperbaiki fasilitas dan infrastruktur terutama untuk kepentingan wisata. Adapun dana kelompok dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan kapasitas dan berbagai pelatihan yang juga untuk menunjang pengembangan wisata.
”Biasanya, untuk perahu, setiap kali jalan dipotong Rp 10.000, Rp 2.000 masuk kas desa dan Rp 8.000 ke kelompok. Nantinya total uang yang masuk ke kelompok dipotong lagi 30 persen dan diserahkan ke desa sebagai kas desa,” ujar Ikhwan.
Biaya perahu sekali jalan dari dermaga ke Kampung Berua bervariasi antara Rp 200.000 dan Rp 350.000. Perbedaan ini tergantung dari jumlah penumpang. Perahu berukuran kecil biasanya mengangkut empat penumpang. ”Saat ini antrean perahu mencapai 185 dan yang siap 125. Untuk perahu, sudah diatur agar semua dapat kesempatan secara adil,” kata Daeng Beta yang juga menjadi koordinator perahu.
Adapun biaya parkir Rp 10.000 untuk kendaraan roda empat dan Rp 5.000 untuk kendaraan roda dua. Biasanya pengunjung memarkir kendaraan di dekat dermaga dan melanjutkan dengan perahu ke Kampung Berua.
Edukasi lingkungan
Sebagai daerah konservasi dan masuk gugusan bukit karst Maros-Pangkep, warga terlibat dalam menjaga kawasan. Mereka diedukasi untuk meminimalkan sampah, sekaligus mendaur ulang yang bisa digunakan. Selain itu, warga juga memanfaatkan bahan-bahan ramah lingkungan untuk berbagai peralatan hingga menjaga agar tak ada yang merusak bukit karst dan tumbuhan serta hewan di dalamnya.
”Menjaga konservasi dan segala yang ada di bukit karst ini penting karena semua adalah satu kesatuan. Selain untuk keberlangsungan kehidupan dan menjaga lingkungan, sebagian besar sumber penghasilan warga dari sektor pariwisata. Orang datang ke sini salah satunya karena alam yang masih terjaga,” tutur Ikhwan.
Karst merupakan bentuk bentang alam pada batuan karbonat yang berbentuk bukit lembah dan goa. Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), Kamajaya Shagir dan Taufiq Ismail, menyebutkan, kawasan karst di Maros Pangkep menarik karena memiliki tipe menara karst (tower karst) yang terbesar dan terindah kedua di dunia setelah kawasan karst di Shilin Yi, Provinsi Yunnan, China, dan masuk dalam World Heritage Convention UNESCO. Luasnya lebih kurang 46.200 hektar, dengan 22.800 hektar di antaranya termasuk dalam kawasan TN Babul.
Kawasan karst tidak hanya menyajikan pemandangan dan fenomena bentang alam menakjubkan, tetapi juga memiliki peran penting sebagai penyedia sumber air bersih. Di dalam kawasan karst mengalir sungai bawah tanah. Di tebing-tebing pun muncul banyak mata air yang tidak pernah kering meskipun musim kemarau. Lapisan batu gamping yang ada di dekat permukaan karst memiliki kemampuan menyimpan air dalam kurun waktu yang lama.
TN Babul juga mencatat, kawasan karst Maros-Pangkep itu merupakan tempat hidup berbagai jenis fauna, khususnya fauna goa yang belum banyak dikenal manusia. Tercatat sekitar 732 fauna dan 710 flora yang sudah diidentifikasi di kawasan itu. Belum lagi goa-goa prasejarah yang menjadi bukti jejak peradaban manusia ribuan tahun yang lalu. Di kawasan ini terdapat goa prasejarah dengan lukisan stensil tangan tertua di dunia yang diperkirakan berusia sekitar 40.000 tahun.
Sebagai tujuan wisata, kawasan ini tak pernah sepi pengunjung. Tahun lalu saja, kunjungan wisatawan ke Rammang-Rammang mencapai 74.000 orang. Kunjungan yang terus meningkat secara tidak langsung membangun kesadaran warga untuk terus menjaga kawasan.
Saat ini sekitar 60 persen warga terlibat dalam sektor pariwisata. Sebagian menjadikannya sumber penghasilan utama, sebagian sampingan. Pendapatan warga dari sektor pariwisata berkisar Rp 2,7 juta-Rp 3 juta per bulan. Hal ini membuat warga makin sadar untuk menjaga Rammang-Rammang. Perkembangan pariwisata juga membuat mereka sadar bahwa tanpa tambang, ekonomi bisa tetap bergeliat. (RENY SRI AYU ARMAN/LUKI AULIA)