KOMPAS/DANU KUSWORO

Jejeran rumah di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Senin (22/7/2019). Desa ini mempertahankan kearifan lokal dengan melestarikan bangunan rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Gempa bumi yang mengguncang Lombok beberapa waktu lalu tidak menimbulkan kerusakan pada bangunan tradisional di daerah ini.

Nusa Tenggara Barat

Mereka yang Merindu Rumah Kayu

Oleh Aris Prasetyo
·sekitar 5 menit baca

”Sebenarnya, kami ingin kembali ke rumah yang dulu. Rasanya lebih nyaman,” ujar Maryam (50), sembari memandangi tukang yang tengah membuat fondasi rumah beton bantuan pemerintah. Maryam adalah salah satu korban gempa di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Namun, seperti keinginan sejumlah warga lain, tak mudah mendirikan lagi rumah adat di kampung mereka.

Gempa berturut-turut pada Juli-Agustus 2018 dan yang terbaru pada Maret 2019 masih menyisakan trauma di dada Maryam. Rumah berdinding batu batako berukuran kurang dari 36 meter persegi itu runtuh diguncang gempa. Beruntung, tak ada korban jiwa akibat peristiwa tersebut.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan, gempa bermagnitudo 6,4 yang mengguncang Lombok pada 29 Juli 2018 mengakibatkan 20 orang meninggal, dengan kerusakan bangunan hingga 10.000 unit. Selanjutnya, gempa bermagnitudo 7 pada 5 Agustus 2018 mengakibatkan 564 orang meninggal dan merusak 216.489 rumah.

Dari 10 rumah adat yang tersisa di Bayan, seluruhnya utuh dan masih tegak berdiri kendati dihajar gempa berulang-ulang. Sementara di sekeliling rumah adat, terutama rumah yang berdinding bata, sebagian rusak retak-retak, bahkan ada yang runtuh sama sekali. Kini, warga merenovasi dan membangun ulang rumah yang sama dengan mengandalkan bantuan pemerintah.

Rumah adat di Bayan seluruhnya berbahan kayu dan bambu. Adapun atap rumahnya berbahan alang-alang dan dinding rumah terbuat dari bilah bambu yang dijalin rapi. Dinding bambu tersebut didirikan di atas bongkahan batu yang ditata sedemikian rupa sebagai fondasi.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Masjid tertua yang ada di Pulau Lombok, yaitu Masjid Bayan Beleq, Senin (22/7/2019). Ada 10 rumah adat di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, NTB, yang sama sekali tak rusak saat gempa besar di Lombok pada 2018.

Menurut Karyadi, Penjabat Kepala Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, banyak warga yang menginginkan rumah mereka dibangun menggunakan bahan kayu layaknya rumah adat. Namun, tak mudah mendapatkan bahan-bahan alami untuk membangun rumah adat tersebut.

”Pemerintah belum bisa menjamin ketersediaan bahan baku rumah adat itu. Di satu sisi, masih ada kekhawatiran bakal terjadi perusakan hutan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan rumah adat,” ucap Karyadi.

Desa adat lainnya di Kecamatan Bayan, yakni Desa Senaru, juga terbukti tangguh dari guncangan gempa. Dari 20 rumah adat di desa tersebut, tak satu pun yang cela akibat hantaman gempa. Rumah yang beratap alang-alang, berdinding bambu, dan ditopang dengan tiang dari kayu itu masih tegak berdiri.

”Saya kapok dan ingin kembali lagi ke rumah asli (rumah adat). Rumah yang saya tinggali sekarang sudah hancur kena gempa,” kata Sardi (27), warga Desa Senaru. Sardi masih menyimpan rencana untuk membangun rumah asli dari kayu yang terbukti lebih aman.

Wakil Ketua Majelis Adat Sasak Lalu Ari Irawan mengatakan, masyarakat Lombok memiliki memori kolektif tentang rumah tradisional yang justru ramah gempa dibandingkan dengan rumah-rumah beton. Gempa besar pada Juli dan Agustus tahun lalu yang menghancurkan banyak rumah beton membuat masyarakat ingin kembali menggunakan rumah dengan konstruksi lokal. Apalagi, rumah tradisional terbukti tidak rusak ketika gempa terjadi.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Warga memberi makan ayam peliharaannya di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, NTB, Senin (22/7/2019). Desa ini mempertahankan kearifan lokal dengan melestarikan bangunan rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Gempa bumi yang mengguncang Lombok beberapa waktu lalu tidak menimbulkan kerusakan pada bangunan tradisional di daerah ini.

Stigma

Karyadi mengakui, rumah adat di mata pemerintah dianggap sebagai rumah yang tak layak huni. Apalagi, bantuan korban gempa untuk membangun kembali rumah yang rusak mensyaratkan rumah harus dibangun dengan dinding bata dan berlantai semen. Sebagian besar masyarakat juga berpandangan bahwa rumah berdinding bata dan berlantai semen lebih modern.

Nirahat (60), warga Desa Segenter di Kecamatan Bayan, membenarkan bahwa sebagian warga di desanya merasa malu tinggal di rumah adat. Rumah asli di Segenter juga terbuat dari kayu, berdinding bambu, dan beratapkan alang-alang. Mendiami rumah semacam itu, katanya, dianggap masih miskin dan tertinggal. Padahal, tak satu pun dari puluhan rumah asli di Segenter rusak akibat gempa beberapa waktu lalu.

Meski demikian, tak mudah bagi warga untuk membangun lagi rumah asli seperti warisan nenek moyang mereka. Salah satu sebabnya adalah kian menipisnya bahan baku kayu dan alang-alang yang menjadi material utama untuk mendirikan rumah adat di Lombok. Atap alang-alang mengharuskan diganti, setidaknya 5-7 tahun sekali.

Rumah berugak atau rumah adat di Segenter butuh setidaknya 50 ikat alang-alang. Harga per ikat bisa mencapai Rp 75.000. Padahal, setiap 5 atau 7 tahun atap alang-alang itu harus diganti. Atap seng, menurut Nirahat, bisa awet sampai 20 tahun dengan harga yang lebih murah.

”Biar lebih murah dan awet, kami mengganti atap dengan seng. Karena atap sudah seng, sebaiknya dinding dari tembok saja biar lebih serasi. Diakui memang tinggal di dalam rumah atap seng udaranya terasa lebih panas saat siang. Kalau dengan alang-alang, terasa sejuk,” tutur Nirahat.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Suasana rumah tradisional di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, NTB, Senin (22/7/2019). Desa ini melestarikan bangunan rumah yang terbuat dari kayu dan bambu serta atap dari alang-alang.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTB Ahsanul Khalik mengakui, perencanaan pembangunan di NTB belum ramah pada pengurangan risiko bencana. Terkait keinginan warga untuk membangun rumah dengan konstruksi atau arsitektur tradisional, menurut dia, hal itu juga belum bisa diakomodasi.

”Itu menjadi tantangan. Sampai saat ini, kita belum punya hasil pengujian yang disahkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kalau rumah tradisional kita masuk kategori rumah tahan gempa,” kata Ahsanul.

Bagi Staf Ahli Menteri Pariwisata Bidang Arsitektur Anneke Prasyanti, struktur rumah tradisional di Lombok relatif tahan gempa lantaran pada setiap rangkaian bangunan kayu terdapat ruang atau celah. Ruang tersebut menciptakan elastisitas saat terjadi gempa. Dengan demikian, struktur bangunan tidak menjadi kaku dan relatif tahan dari guncangan.

”Untuk suplai bahan baku rumah adat, pemerintah bisa menerbitkan regulasi dengan menetapkan hutan adat sebagai sumber atau penyedia kebutuhan-kebutuhan masyarakat adat, misalnya untuk bahan baku rumah,” ucap Anneke. (ZAK/NIT/LUK)

Artikel Lainnya