Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris, menjelajahi Nusantara mulai dari Semenanjung Malaka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Muluku, sampai ke ujung Papua. Perjalanan yang dilakukan mulai April 1854 hingga awal 1862 melahap puluhan ribu kilometer perjalanan darat dan laut. Wallace memilih Kota Ternate, Maluku Utara, sebagai rumah tinggalnya selama hampir empat tahun.
Dalam bukunya yang fenomenal, The Malay Archipelago, Wallace menulis bahwa ia tiba di Ternate pada suatu pagi, 8 Januari 1858. Mula-mula, ia mengantarkan surat perkenalan diri kepada seseorang bernama Duivenboden, penduduk Ternate yang punya nenek moyang orang Belanda. Ia menggambarkan sosok Duivenboden sebagai orang yang sangat kaya dan punya ratusan budak. Duivenboden disebut punya pengaruh besar terhadap raja-raja setempat.
”Berkat bantuannya, saya bisa memperoleh rumah untuk disewa. Letak rumah itu dekat dari kota dan tidak sulit untuk menuju ke pedalaman atau gunung. Pasar dapat dijangkau hanya lima menit berjalan kaki,” tulis Wallace.
Dari Ternate itulah, Wallace bertualang ke wilayah timur Nusantara. Mulai dari Jailolo di Halmahera, ia berlayar ke Irian Jaya (Papua), Pulau Bacan, Kupang, Manado, Ambon, Pulau Seram, dan Pulau Buru. Ditemani asistennya yang setia, Ali, Wallace mengumpulkan berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga.
Mengapa Ternate?
Menurut Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (2008-2018) Profesor Sangkot Marzuki, kala itu, Ternate adalah kota besar dan menjadi salah satu pusat perdagangan penting di bagian timur Nusantara. Ternate juga telah memiliki infrastruktur yang bagus, seperti pelabuhan.
”Wallace menjadikan Ternate sebagai basis penjelajahannya di bagian timur Nusantara. Selain merupakan pusat lalu lintas perdagangan, melalui Ternate, Wallace mudah untuk berkorespondensi dengan koleganya di London, Inggris,” kata Sangkot yang ditemui pekan lalu di Jakarta.
Wallace juga tampak terkesan dengan Ternate. Hal itu terbaca jelas dalam tulisannya di buku The Malay Archipelago yang menyebut: Di sini saya menemukan kemewahan yang tidak biasa, yaitu susu dan roti yang masih segar, persediaan ikan dan telur, serta daging dan sayuran. Semua diperlukan untuk memulihkan kesehatan dan tenaga saya.
Lebih lanjut, ia menuliskan: Di rumah ini, saya memiliki ruangan yang luas dan nyaman untuk mengeluarkan, memilah-milah, dan menyusun semua harta karun saya. Saya juga bisa berjalan-jalan menikmati pinggiran kota atau menuju lereng gunung ketika ingin berolahraga atau mencari koleksi baru.
Dalam buku yang ditulis Dhurorudin Mashad (2010) dengan judul Alfred Russel Wallace: Pencetus Teori Seleksi Alam dan Garis Imajiner Nusantara disebutkan alasan kenapa Wallace memilih Ternate sebagai tempat tinggalnya. Alasan itu, antara lain, adalah dibukanya pelabuhan niaga di Ternate pada 1854 atau empat tahun sebelum kedatangan Wallace di kota itu. Selain itu, Ternate adalah satu-satunya kerajaan Islam yang bisa dengan tangan terbuka menerima kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
Teori seleksi alam
Ternate lantas menjadi kota bersejarah karena menjadi tempat lahirnya teori mengenai seleksi alam yang dicetuskan Wallace. Ia mendapat ilham tentang teori seleksi alam saat terbaring demam di sebuah rumah yang ia sewa di Desa Dodinga, Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Dalam tubuh menggigil yang dibungkus selimut, meski suhu menunjukkan 88 derajat fahrenheit atau 31 derajat celsius, Wallace teringat buku An Essay on the Principle of Population yang ditulis Thomas Robert Malthus.
”Aku membacanya (dalam buku Malthus) bahwa perang, penyakit, kelaparan, dan sejenisnya bisa membuat populasi manusia berkurang. Menurutku, hal itu juga berlaku pada hewan,” tulis Wallace dalam bukunya yang lain, Natural Selection and Tropical Nature.
Selanjutnya, Wallace berkesimpulan bahwa hanya individu yang kuat (beradaptasi) yang mampu bertahan hidup, sedangkan yang lemah akan mati. Dalam dua jam saat menggigil itu, masih di malam yang sama, ia menyusun draf dari teori yang baru saja ia dapatkan itu. Dua malam kemudian, Wallace merampungkan tulisan yang ia beri judul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” dan mengirimkannya kepada Darwin lewat Ternate pada Februari 1858.
Sampai kini, lokasi rumah yang pernah ditinggali Wallace di Ternate masih menjadi perdebatan. Tak ada yang tersisa dari rumah itu selain sketsa bangunan yang digambar Wallace dalam The Malay Archipelago. Bagi sebagian kalangan, idealnya ada replika rumah Wallace di Ternate sebagai penanda bahwa di tempat tersebut pernah tinggal orang besar dan teori besar yang penting bagi ilmu pengetahuan.
”Rumah Wallace ataupun Darwin di Inggris menjadi museum, situs sejarah yang penting. Nah, kalau kita lihat dua teori besar lahir di Ternate (teori evolusi dan Garis Wallacea), itu, kan, suatu situs yang sangat penting dalam sejarah ilmu pengetahuan dunia,” kata Sangkot.
(ARIS PRASETYO)