KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (21/6/2019). Di taman nasional yang dijuluki ”The Kingdom of Butterfly” ini tak kurang dari 247 spesies kupu-kupu berhasil diidentifikasi. Naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, melakukan eksplorasi di kawasan ini pada Agustus hingga November 1857.

Sulawesi Selatan

Terpukau Karst di Rammang-Rammang

·sekitar 6 menit baca

”Ngarai, jurang, dan tebing terjal seperti yang banyak terdapat di tempat ini sama sekali tidak saya temukan di tempat lain di Nusantara. Permukaan tanah yang landai nyaris tidak bisa ditemukan, sedangkan dinding raksasa dan bongkahan kasar batu-batuan menyelimuti seluruh pegunungan dan menutupi lembah-lembah”.

Naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace, mengungkapkan kekagumannya pada jajaran bukit karst menakjubkan yang ia lihat saat menjelajahi daerah Maros, Sulawesi Selatan, selama Juli-November 1857, dalam buku The Malay Archipelago yang diterbitkan 150 tahun lalu. Salah satu lokasi bukit karst yang kita kenal sekarang adalah di Rammang-Rammang, tempat serupa ceruk di bukit karst.

Siapa pun yang datang ke tempat ini akan terpukau melihat keelokan bukit karst yang berdiri menjulang dan membentang bak menara, sejauh mata memandang. Bukit karst ini tercatat sebagai yang kedua terbesar dan terindah di dunia setelah bukit karst di Guangzhou, China.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Gugusan pegunungan karst di sekitar Kampung Berua, Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (19/6/2019). Bentangan alam karst menjadi salah satu kekayaan Kabupaten Maros yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Selain kaya keanekaragaman hayati, kawasan karst di sini juga menyimpan jejak-jejak kehidupan prasejarah.

Kampung Berua di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, pagi pertengahan Juni lalu, bermandikan cahaya matahari. Kampung ini berada atau menjadi bagian dari bukit karst Rammang-Rammang. Suasana tenang dengan nuansa keemasan pagi itu pecah oleh suara kicau burung. Di sebelah barat dusun, tepat di salah satu mulut goa di bagian atas bukit, sekelompok kelelawar kecil pulang. Barisan kelelawar ini membentuk garis hitam. Belasan elang terbang berputar dan menunggu di mulut goa.

Pemandangan seperti ini akan tampak setiap pagi dari Desa Salenrang. Hal yang sama bisa disaksikan pada sore menjelang petang, saat ribuan kelelawar keluar mencari makan dengan elang yang juga menunggu di mulut goa. Umumnya jenis kelelawar yang biasa ditemukan hidup di goa-goa karst antara lain kelelawar pemakan serangga dari jenis Nyceris javanica, Hipposideros larvatus, Hipposideros diadema, Rhinolopus sp, dan Miniopterus sp.

Kampung Berua dikelilingi gugusan bukit karst. Apabila berdiri di tengah kampung dan berputar 360 derajat, sejauh mata memandang tampak bukit karst yang indah dan ditutupi pepohonan serta beragam tumbuhan di atasnya. Karst dan tumbuhan ini juga menjadi tempat kupu-kuku bermain dan mencari makan. Hanya ada beberapa rumah di kampung ini dengan sawah dan tambak di antaranya.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Bentang alam karst di kawasan Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan, Selasa (18/6/2019). Bentangan alam karst menjadi salah satu kekayaan Kabupaten Maros yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Bukit karst yang mengelilingi kampung dan desa tak hanya indah. Terdapat banyak goa yang sebagian merupakan goa prasejarah. Goa-goa ini menyimpan cerita tentang kehidupan manusia penutur Austronesia ataupun warga lokal Toala, ribuan tahun lampau. Jejaknya masih bisa dilihat berupa lukisan tangan, babi rusa, dan simbol lain di dinding goa. Atau, bisa juga melihat sampah sisa makanan yang sudah berubah wujud menjadi batu.

Wisata dan penelitian

Keindahan dan keunikan bukit karst Rammang-Rammang membuat wilayah ini berkembang menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang cukup diminati di Sulawesi Selatan. Sekitar lima tahun terakhir, Rammang-Rammang nyaris tak pernah sepi pengunjung, baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Tidak hanya menjadi obyek wisata, Rammang-Rammang juga menjadi tempat penelitian arkeolog, geolog, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat.

”Sebenarnya tujuan utama kami ke Toraja. Tapi, dari berbagai literatur dan informasi yang kami dapat, akhirnya kami memutuskan untuk singgah ke Rammang-Rammang. Dekat dari Makassar dan juga bandara. Keputusan yang tepat karena tempatnya memang indah, unik, asyik,” tutur Samuel (43), wisatawan asal Jakarta yang berkunjung ke Rammang-Rammang, awal Juli lalu.

Rammang-Rammang yang memiliki arti awan atau kabut itu memang terletak tak seberapa jauh dari Makassar, sekitar 45 kilometer. Dari Bandara Sultan Hasanuddin lebih dekat lagi, sekitar 33 kilometer. Akses yang mudah juga mendukung kawasan ini menjadi obyek wisata. Dari Makassar, Rammang-Rammang bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua ataupun roda empat, dengan waktu tempuh 1 jam hingga 1,5 jam.

Sepanjang perjalanan selepas jalan poros menuju Bontoa, hamparan bukit karst dan persawahan sudah menyambut di sepanjang sisi jalan. Konon, kawasan ini diberi nama Rammang-Rammang karena awan atau kabut yang selalu turun terutama pada pagi hari atau ketika hujan.

Pada umumnya, kawasan karst identik dengan bentang alam yang kering dan gersang. Namun, kondisi bentang alam di kawasan karst Rammang-Rammang subur dan terdapat aliran Sungai Pute selebar 2 meter hingga 40 meter. Ada beberapa obyek wisata alam yang bisa ditemukan di Rammang-Rammang, yakni kawasan karst, taman hutan batu kapur, Telaga Bidadari, Goa Bulu’barakka, Goa Telapak Tangan, Goa Pasaung, wisata Sungai Pute, dan Kampung Berua.

Di bukit-bukit karst, ada banyak spot yang biasanya dijadikan lokasi menunggu matahari terbenam. Bisa naik dengan sedikit memanjat batu karst dan duduk menunggu sore. Di atas bukit karst ini juga masih mudah melihat kawanan Macaca maura. Jika ingin lebih mudah dan tak repot, tinggal mendatangi kafe-kafe yang terletak di atas bukit karst dengan menggunakan tangga kayu. Di sini, pengunjung bisa makan minum sembari menunggu langit berwarna jingga dan matahari yang bulat penuh turun.

Untuk sampai ke Kampung Berua, pengunjung harus naik perahu dan menyusuri Sungai Pute. Hutan nipah, bakau air payau, dan bukit karst yang menjulang sebagai latar belakang akan ditemukan di sepanjang perjalanan menyusuri sungai. Saat melewati sungai pada malam hari, di beberapa titik, pengunjung bisa melihat pepohonan yang berkelip-kelip dengan cahaya kunang-kunang.

Di Kampung Berua, berwisata bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki di sekitar perkampungan dan menyusuri bukit karst. Telusur goa juga bisa dilakukan di sini karena ada beberapa yang merupakan goa prasejarah dengan lukisan tangan di dalamnya. Ada pula Telaga Bidadari yang saat sore akan tampak indah dengan pantulan sinar matahari.

kompas/ hendra asetyawan

Bentang alam karst di kawasan Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan, Selasa (18/6/2019). Bentangan alam karst menjadi salah satu kekayaan Kabupaten Maros yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Sebagian pengunjung biasanya hanya memilih beristirahat sembari menikmati suasana perkampungan yang sepi dan berjalan di pematang sawah dan tambak. Jika lelah dan ingin makan minum, ada beberapa warung makan yang bisa jadi pilihan. Bisa pula memesan kepada warga kampung. Selagi menunggu mereka menyiapkan hidangan, pengunjung bisa duduk di teras rumah panggung sembari menikmati pemandangan.

”Biasanya, pengunjung yang datang berombongan akan memesan makan jauh-jauh hari agar kami bisa membuat menu sesuai selera. Jadi, biasanya saat datang dan selesai berkeliling, mereka tinggal makan. Begitu juga yang mau menginap,” ucap Daeng Beta, salah satu tokoh masyarakat di Kampung Berua yang rumahnya sering menjadi tempat singgah bahkan menginap wisatawan.

Memang, di Rammang-Rammang tak banyak penginapan. Namun, rumah warga terbuka setiap saat untuk disinggahi atau untuk menginap. ”Karena warga sudah paham kampung mereka adalah obyek wisata. Sejak awal memutuskan menjadikan daerah ini sebagai tempat wisata, sejak itu pula warga diedukasi agar siap menyambut wisatawan,” ujar M Ikhwan (39) atau yang akrab disapa Iwan Dento, warga Desa Salenrang.

Iwan bercerita, awalnya Rammang-Rammang akan dijadikan lokasi tambang oleh beberapa perusahaan yang sudah mengantongi izin. Kekayaan dan kandungan pada bukit karst ini mengundang minat sejumlah perusahaan lokal dan asing. Namun, warga melawan. Melalui perjuangan panjang, perlawanan ini berhasil. Untuk menjaga konservasi dan kawasan, warga akhirnya sepakat membentuk kelompok sadar wisata dan mengelola Rammang-Rammang menjadi tempat wisata.

”Kami punya alasan mengapa akhirnya memilih mengembangkan Rammang-Rammang sebagai obyek wisata. Selain karena memang indah dan kaya, warga bisa mendapatkan manfaat ekonomi. Karena mendapat menfaat ekonomi, tentu warga akan menjaga karst dan semua yang ada di dalamnya,” kata Iwan.

Setidaknya, buah perlawanan warga tidak hanya membuat bukit karst Rammang-Rammang bertahan. Siapa pun kini bisa ikut menikmati keindahannya. (RENY SRI AYU/LUKI AULIA)

Artikel Lainnya