KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Thimotius Sambominanga (tengah), tokoh adat Mamasa, Sulawesi Barat, sekaligus juru kunci Gunung Gandang Dewata.

Sulawesi Barat

Thimotius Sambominanga, Pengawal Gandang Dewata

Oleh Aris Prasetyo
·sekitar 5 menit baca

Siapa pun yang hendak mendaki Gunung Gandang Dewata diwajibkan lapor kepada Thimotius Sambominanga. Kakek berusia 91 tahun ini adalah juru kunci gunung yang dikenal mistis di wilayah Sulawesi Barat tersebut. Jangan takabur, jangan punya niat buruk, dan jangan merusak alam, begitu pesannya kepada siapa saja yang hendak menuju Gandang Dewata.

Di Mamasa, Sulawesi Barat, nyaris tak ada yang mengenal sosok Thimotius. Namun, di sana ia lebih dikenal dengan panggilan Papa Daud, yang artinya bapaknya si Daud. Daud adalah anak lelaki pertama Thimotius. Selain mengenal sosoknya, tak sulit meminta petunjuk orang-orang di Mamasa di mana letak rumah Thimotius.

Rumah Thimotius bisa ditempuh tak sampai 30 menit dengan sepeda motor ataupun mobil dari pusat kota Mamasa. Rumahnya terletak di Desa Buntu Buda, Kecamatan Mamasa, sebuah desa terakhir sebelum mendaki pegunungan yang kini berstatus taman nasional tersebut. Rumahnya dikelilingi persawahan yang terdapat kolam ikan, persis di bagian belakang. Seperti khas Mamasa, rumah Thimotius berbentuk panggung, berbahan kayu, dan berjarak sekitar 50 meter dari jalan desa.

”Siapa pun boleh mendaki Gandang Dewata. Tetapi, sebaiknya izin dulu dan jangan membawa niat buruk ke sana. Kalau sampai ada niat buruk, saya khawatir akan mendapat celaka (musibah),” ucap Thimotius saat dijumpai Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas di rumahnya, Sabtu (17/8/2019).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Polisi hutan dan warga lokal beristirahat di Pos 1 jalur pendakian Gunung Gandang Dewata, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Jumat (16/8/2019). Mereka menemani Kompas yang mengeksplorasi Taman Nasional Gandang Dewata.

Thimotius menceritakan asal-muasal nama Gandang Dewata. Tanpa menyebut kapan terjadinya, nama itu diambil dari peristiwa yang kerap dialami para pemburu di gunung dengan ketinggian 3.074 meter di atas permukaan laut itu. Ketika berburu di dalam hutan, pemburu kerap mendengar suara gendang bertalu-talu. Padahal, tak ada permukiman di dalam hutan. Kampung terdekat pun berjarak dua tiga hari perjalanan dari hutan.

Dalam adat Mamasa, gendang dipukul saat upacara kematian seseorang. Benar saja, kata Thimotius, ketika para pemburu itu kembali ke kampung mereka, di sana mereka mendapati salah satu sanak saudara meninggal. Tak hanya sekali, lanjutnya, peristiwa terdengarnya suara gendang dipukul saat berburu di hutan terulang beberapa kali.

”Orang-orang percaya bahwa gendang itu dibunyikan oleh para dewa sebagai pertanda,” ujar Thimotius. Di masa lampau, masyarakat di Mamasa masih menganut aliran kepercayaan atau animisme. Hingga kini, sebagian kecil masyarakat mempertahankan animisme tersebut.

Perjuangkan status

Thimotius punya peran yang tak bisa dianggap enteng dalam perjalanan penetapan Gandang Dewata sebagai taman nasional. Semua bermula saat dia menjadi pemandu bagi peneliti asal Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Saat itu, ia berusia 40-an tahun dan kerap naik turun gunung sehingga sangat hafal setiap jengkal jalan setapak di Gandang Dewata.

”Peneliti itu berkata kepada saya bahwa alam Gandang Dewata sungguh luar biasa. Baginya, Gandang Dewata adalah ladang ilmu pengetahuan yang wajib dilindungi,” ujar Thimotius saat mengenang perjalanannya dengan peneliti asal Amerika Serikat yang ia lupa namanya tersebut.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Hutan lumut di Taman Nasional Gunung Gandang Dewata, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Kamis (15/8/2019). Gandang Dewata merupakan laboratorium alam dengan ratusan flora dan fauna yang belum teridentifikasi. Kawasan ini juga menjadi salah satu tempat keberadaan flora dan fauna endemik Sulawesi.

Pesan agar ekosistem Gandang Dewata harus mendapat perlindungan kian kuat pada serangkaian penelitian yang dilakukan tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beserta peneliti asal Amerika Serikat dan Australia tahun 2011. Dalam penelitian itu, Thimotius kembali diminta sebagai pemandu di lapangan.

“Semua sepakat agar Gandang Dewata ditetapkan sebagai taman nasional. Akhirnya, dalam sebuah kesempatan pada 2016, saya menghadap langsung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar menetapkan Gandang Dewata sebagai taman nasional,” kata Thimotius.

Usaha Thimotius agar Gandang Dewata ditetapkan sebagai taman nasional tak mudah. Ia pernah mendapat penolakan dari organisasi adat dengan alasan hutan di Gandang Dewata adalah hutan adat. Ia tak mengindahkannya. Dalam pikirannya saat itu, Gandang Dewata harus punya dasar hukum perlindungan yang lebih kuat agar kelestariannya terjaga.

”Mereka yang menolak itu bukan orang sini (Mamasa). Mereka tidak lebih tahu dari orang-orang Mamasa soal Gandang Dewata,” ucapnya.

Kegigihan Thimotius yang didukung para pihak di Mamasa membuahkan hasil. Pada 3 Oktober 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan keputusan menteri bernomor SK.773/MENLHK/Setjen/PLA.2/10/2016 yang menetapkan Gandang Dewata sebagai taman nasional ke-53 di Indonesia. Tak hanya itu, atas peran sertanya, Thimotius mendapat penghargaan sebagai Tokoh Adat Konservasi Taman Nasional Gandang Dewata 2019 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tempat bergantung

Secara turun-temurun, Gandang Dewata telah menjadi gantungan hidup banyak orang di Sulawesi Barat, khususnya Mamasa. Selain menjadi sumber mata air, hutan Gandang Dewata juga menjadi tempat bergantung banyak warga, seperti mengambil getah damar. Perkebunan di lereng hutan juga tumbuh subur, seperti tanaman kopi yang banyak dibudidayakan di sana. Tak hanya itu, persawahan di kaki gunung juga tak kalah subur.

”Biarpun tidak hujan berbulan-bulan di Mamasa, mata air di sini tak pernah kering. Begitu pula tanaman di Gandang Dewata, secara tradisional dijadikan sebagai obat-obatan,” kata Thimotius.

Taman Nasional Gandang Dewata memiliki luas 189.208 hektar. Dari sejumlah penelitian yang dilakukan LIPI serta akademisi dari Universitas Hasanuddin, Makassar, dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, diketahui bahwa ekosistem Gandang Dewata memiliki keragaman hayati cukup tinggi. Sejumlah flora dan fauna di sana berpotensi sebagai jenis baru yang belum pernah diidentifikasi.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Petak-petak sawah di Desa Tondok Bakaru, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Sabtu (17/8/2019). Padi hasil panen petani di kawasan ini menjadi salah satu pemasok utama beras di Kabupaten Mamasa. Sejak bibit unggul diperkenalkan pada 2014, petani di tempat ini bisa memanen hingga tiga kali dalam setahun atau lebih dibanding sebelumnya yang hanya dua kali. Air di area pertanian ini dicukupi dari sungai yang mengalir sepanjang tahun.

Kendati akhir-akhir ini belum pernah dijumpai di alam secara langsung, peneliti masih menemukan jejak kaki dan kotoran anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) di beberapa tempat di Gandang Dewata. Binatang yang mirip sapi dan bertanduk runcing lurus ke atas tersebut merupakan satwa endemik Sulawesi di zona Wallacea. Selain itu, Gandang Dewata memiliki banyak jenis anggrek dan jahe-jahean yang beberapa di antaranya belum diidentifikasi.

Pada ketinggian tertentu, Gandang Dewata memiliki hutan lumut bak hutan purba yang sangat menawan. Lokasi itu kerap dijadikan tempat pengambilan foto. Tak hanya itu, beberapa anak sungai mengalir sangat jernih sehingga bebatuan di dasarnya tampak jelas. Hanya saja, air sungai di Gandang Dewata sedingin air es.

Thimotius masih menyimpan mimpi agar Taman Nasional Gandang Dewata kian dikenal khalayak luas. Salah satunya adalah dengan mengembangkan berbagai obyek wisata di Gandang Dewata. Pengembangan obyek wisata yang ramah lingkungan juga dapat memberdayakan masyarakat lokal yang selama ini hanya bergantung pada hasil tani, kebun, dan beternak.

”Gandang Dewata sudah banyak memberi kepada kami. Selayaknya pula kami harus menjaganya,” ujar Thimotius.

Artikel Lainnya