KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ketua Koperasi Serba Usaha Kamanggih Umbu Hinggu Panjanji yang mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Mbakuhau di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Sumba

Umbu Panjanji: Pembawa Cahaya dari Kamanggih

·sekitar 5 menit baca

Desa Kamanggih di Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pernah mengalami masa-masa gelap tanpa penerangan listrik. Sudah susah air, tak ada aliran listrik, apalagi sinyal telepon seluler, lengkap sudah ”keterbelakangan” Kamanggih. Namun, itu semua tinggal cerita. Kamanggih berubah menjadi desa mandiri energi yang ramah lingkungan.

Kisah mandiri energi di Kamanggih bukanlah dongeng membangun 1.000 candi dalam semalam. Desa ini pernah mendapat bantuan mesin pompa air dan panel tenaga surya dari pemerintah dan salah satu donatur internasional pada 1999. Namun, dalam hitungan bulan, semua alat bantuan tersebut rusak dan terbengkalai.

”Tak ada pendampingan kepada warga untuk mengoperasikan dan merawat alat-alat bantuan tersebut. Akhirnya, semua bantuan itu menjadi rusak percuma,” ujar Umbu Hinggu Panjanji (45), salah satu tokoh di Kamanggih yang menjadi penggerak pengembangan energi terbarukan di Kamanggih, kepada Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, Juli 2019.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ketua Koperasi Serba Usaha Kamanggih Umbu Hinggu Panjanji yang mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Mbakuhau di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, NTT.

Berpuluh-puluh tahun, Umbu tinggal di desa yang hampir tak tersentuh pembangunan. Tak ada listrik, berarti juga tak ada pompa air. Sekolah-sekolah dan jaringan kantor pemerintah tak memiliki komputer. Fasilitas kesehatan pun hanya terbatas lantaran ketiadaan listrik.

Perubahan di desa itu bermula dari penelitian Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) serta Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA), kemitraan yang bertujuan mendorong pelaksanaan berbagai proyek pembangunan pada tingkat masyarakat akar rumput di beberapa negara. Rekomendasi Ibeka dan JICA saat itu adalah perlu dibentuk badan pengelola, yang akhirnya berupa koperasi.

Umbu ditunjuk menjabat Ketua Koperasi Serba Usaha Kamanggih yang didirikan pada 1999. Koperasi ini mengelola bantuan pompa air bersih dan panel tenaga surya dari Ibeka dan JICA. Puncaknya, pada 2011, warga Kamanggih bersama donatur, Hivos (lembaga internasional yang berpartisipasi dalam proyek pengembangan energi terbarukan di Sumba) dan Ibeka, membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di tepi Sungai Mbakuhau.

”Saya melihat ada potensi mikrohidro. Ada air terjun yang bisa dimanfaatkan untuk energi listrik. Memang harus direkayasa untuk bisa menghasilkan listrik cukup, tapi setidaknya bisa. Daripada tinggal di kegelapan terus-menerus,” kenang Umbu.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Petugas mengontrol PLTMH Mbakuhau di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, NTT, Minggu (7/7/2019). Energi listrik yang dihasilkan PLTMH kemudian dikelola oleh Koperasi Jasa Peduli Kasih. Mereka menjual dan menyalurkan energi listrik ke masyarakat desa.

Potensi yang diceritakan Umbu adalah air terjun Mbakuhau di tengah perbukitan, pinggiran desa. Ketinggian air terjun itu pendek, hanya 7 meter, tetapi bertingkat. Umbu yakin bisa merekayasa air terjun itu menjadi lebih tinggi, hingga 27 meter. Dengan demikian, energi yang dihasilkan lebih besar.

Umbu membawa usulan itu ke masyarakat desa. Awalnya ada yang menentang karena menganggap perubahan di kampung akan terlampau besar. Efeknya pun belum tentu dipercaya baik. Namun, tak sedikit yang menyambut positif usulan Umbu tersebut. Mereka yakin listrik akan membawa perubahan di desa mereka.

”Tidak gampang memang meyakinkan mereka yang menolak. Beberapa di antaranya tokoh yang punya pengaruh kepada warga. Tapi, kami telaten mendekati mereka,” cerita Umbu.

Akhirnya, Umbu pun mendapat dukungan warga. Kerja keras yang melibatkan hampir seluruh warga desa selama berbulan-bulan berhasil mendirikan pembangkit mikrohidro. Energi listrik dari mikrohidro sebesar 37 kWh diuji coba dan berhasil. Listrik saat itu bisa dinikmati 115 keluarga.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Wisatawan berpose dengan latar belakang kincir angin pembangkit listrik tenaga bayu di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, NTT, Minggu (7/7/2019). Kamanggih merupakan salah satu desa mandiri energi. Mereka memanfaatkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan bayu untuk menghasilkan listrik.

Pada 2014, kapasitas pembangkit energi mikrohidro dinaikkan dari 35 kWh menjadi 450 kWh. Listrik pun bisa mengalir 24 jam. Jumlah warga yang menikmati aliran listrik pun kian luas. Untuk mengelola listrik ini, warga mendirikan koperasi bernama Jasa Peduli Kasih.

Kebutuhan listrik untuk warga desa hanya sekitar 5,7 kWh. ”Sisanya kami jual ke PLN lewat koperasi. PLN bisa mengalirkan listrik untuk keperluan lain, seperti menyuplai listrik ke warga lain, kantor pemerintahan, sekolah, atau puskesmas,” kata Umbu.

Koperasi mendapatkan penghasilan Rp 4 juta dari penjualan listrik ke PLN. Adapun warga membayar Rp 20.000 per bulan ke PLN untuk biaya listrik. PLN bertanggung jawab atas PLTMH Mbakuhau. Hal itu meringankan warga karena butuh tenaga khusus untuk merawatnya. PLN menempatkan petugas khusus di PLTMH untuk memantau arus air dan merawat turbin.

Dari PLTMH itu, Desa Kamanggih akhirnya terang benderang. Lampu hanya menjadi awal kemajuan desa. Perlahan tapi pasti, desa tersebut berkembang. Air bersih kini tinggal dialirkan lewat pompa. Warga punya lebih banyak waktu untuk berkebun dan menenun.

Anak-anak sekolah juga tak perlu melanjutkan sekolah hingga ke kota karena di desa sudah dibangun SMP dan SMA. Fasilitas kesehatan kian lengkap karena kini ada listrik yang mengaliri lemari pendingin untuk menyimpan vaksin dan kebutuhan lain. Pelayanan desa pun kian cepat setelah tersambung komputer. Kamanggih kini juga sudah terjangkau sinyal telepon seluler. Komunikasi dengan dunia luar menjadi lebih lancar.

Biogas

PLTMH bukan menjadi akhir dari perjuangan Umbu dan warga Desa Kamanggih. Hingga kini, Umbu masih bekerja untuk membuat desanya lebih mandiri di bidang energi. Ia menginisiasi biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak warga.

”Ide biogas muncul karena di sini banyak warga yang punya ternak, tetapi limbahnya belum termanfaatkan. Untuk memasak, mereka masih memakai kayu bakar,” ucap Umbu.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga memasak dengan memanfaatkan biogas yang dihasilkan dari kotoran ternaknya di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, NTT, Minggu (7/7/2019).

Lewat ilmu yang diperolehnya dari internet, Umbu pun mencoba mengolah limbah kotoran ternak menjadi biogas. Kotoran ternak ia kumpulkan ke dalam tabung bawah tanah dan ditutup. Dari tabung itu kemudian dialirkan pipa menuju kompor di dapurnya. Dari pipa itulah gas metan muncul dan digunakan untuk memasak.

”Gas dari empat babi bisa saya gunakan untuk memasak sehari-hari. Selain tidak menyisakan limbah, juga irit karena tak perlu beli minyak tanah atau mencari kayu bakar,” ujar Umbu.

Melihat keberhasilan Umbu, warga mulai tertarik. Saat ini sudah ada beberapa warga yang sudah mempraktikkan teknik biogas. Ia bersama dengan koperasi yang dikelola warga masih terus mengenalkan biogas ini ke warga lebih luas.

Umbu masih memiliki beberapa keinginan lagi, yakni membuat pembangkit tenaga listrik berbasis alam lagi agar kebutuhan listrik yang kian meningkat bisa dipenuhi. Ia masih perlu mengajak warga agar bisa memanfaatkan limbah untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik.

”Memang butuh waktu, tetapi saya senang. Kalau desa saya maju, anak-anak dan generasi mudanya pun bisa maju,” katanya. (SIWI YUNITA/ARIS PRASETYO/LUKI AULIA)

Artikel Lainnya