KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Jagawana berusaha memanggil belut besar yang dikeramatkan warga di Danau Laputi, Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (10/7/2019). Belut tersebut dipercaya warga sekitar sebagai nenek moyang mereka.

Sumba

Legenda Si Apu dari Danau Laputi

·sekitar 4 menit baca

”Apu… apu…,” ucap Dominggus Denny Nguru (27), setengah berbisik, memanggil ikan yang menghuni Danau Laputi di hulu Kampung Praingkareha, Kecamatan Tabundung, Sumba Timur. Masyarakat setempat menyebut sumber air itu sebagai danau meski tepatnya adalah telaga.

Denny membuat getaran di air yang bisa ditangkap ikan-ikan di danau. Tak berapa lama, seekor ikan sidat mendekat. Ukurannya tergolong besar dengan panjang sekitar 50 sentimeter. Ikan itu meliuk-liuk mendatangi Denny yang mencelupkan biskuit ke dalam air danau. Ia tampak lahap menyantap remahan biskuit yang dilempar Denny.

Apu dalam bahasa Sumba Timur berarti nenek. Warga percaya, apu merupakan jelmaan leluhur mereka. Ia menjaga mata air yang menjadi penghidupan warga sekitarnya. Mengganggu apu berarti juga mengganggu keseimbangan alam.

Mengunjungi dan memberi makan apu adalah salah satu tradisi yang dilakukan warga sekitar danau. Pada saat tertentu, warga yang menganut agama Marapu juga mengadakan upacara keagamaan di Danau Laputi.

”Pernah ada pengunjung yang menangkap salah satu apu. Kami sudah ingatkan, tapi tak diindahkan. Pulang dari sini, dia sakit dan tak tertolong (meninggal),” cerita Denny kepada Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, Juli lalu.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Penampakan belut besar yang dikeramatkan warga di Danau Laputi, Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, Sumba Timur, NTT, Rabu (10/7/2019). Belut tersebut dipercaya warga sekitar sebagai nenek moyang mereka.

Jangankan menangkap, mengganggu atau mencemari air pun dilarang oleh warga. Adat mengatur bahwa Danau Laputi harus dijaga. Tak boleh ada buangan sabun atau detergen di air danau. Merusak tanaman pun dilarang.

Tidak hanya Danau Laputi, hutan Billa di belakang perkampungan warga pun turut dihormati. Pada saat-saat tertentu, ketika warga membutuhkan kayu khusus untuk membangun pasak rumah di kampung, mereka harus izin kepada tetua adat. Kayu itu antara lain kayu kepih, kayu magelo, kayu kiro, dan kailangga. Kayu tersebut jumlahnya hanya terbatas di hutan. Tetua akan mengadakan musyawarah untuk menentukan boleh atau tidaknya menebang kayu itu di hutan adat mereka.

”Bisa dibolehkan, bisa tidak. Kalau boleh, harus disepakati berapa jumlahnya,” kata Katanga Pei Pakuali, sesepuh adat di Tabundung.

Biasanya, agar dibolehkan, ada syarat yang harus dipenuhi, yakni upacara adat dengan menyembelih ternak, misalnya ayam atau babi. Tak ada warga yang berani melanggar. Jika melanggar, mereka percaya bencana bisa mendatangi mereka.

Adat bahkan sudah memperhitungkan kemungkinan pertambahan penduduk dan perluasan ladang. Menurut tetua adat, membuka ladang dan membangun rumah tetap dibolehkan asal tetap tak merusak hutan. ”Hutan tetap ada, itu kekayaan adat,” ujar Katanga.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Danau Laputi yang berada di kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, Sumba Timur, NTT, Rabu (10/7/2019). Di danau tersebut terdapat belut besar yang dipercaya warga sekitar sebagai nenek moyang mereka.

Menjaga alam

Apa yang diyakini warga lebih dari sekadar menjalankan ritual adat. Sebenarnya, adat tersebut adalah bentuk lain untuk melestarikan alam mereka yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam peta kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Manggaweti (Matalawa), kawasan Danau Laputi dan hutan Billa menjadi salah satu lokasi tempat perjumpaan burung-burung endemik Sumba. Kakatua jambul oranye dan julang sumba adalah dua di antaranya. Burung-burung langka itu bisa diamati di titik tertentu, seperti di Kalauki, Kalita, dan Laibola.

Berdasarkan data Taman Nasional Matalawa, perjumpaan kakatua jambul orange di Billa tercatat mencapai 18 kali dalam 2016, sebanyak 16 kali pada 2017, dan 13 kali pada 2018. Di hutan itu mereka mendapatkan cukup makanan, seperti kalumbang, lamua, karayak, kapuk hutan, dan kananggar.

Sarang julang sumba pun banyak ditemukan di hutan Billa, tak jauh dari perkampungan warga. Burung itu membuat lubang di pohon mara untuk menetaskan telurnya. Billa juga menjadi tempat pengamatan burung yang paling sering dikunjungi peneliti atau turis.

”Dulu kakatua sempat mengganggu karena banyak, dan memakan jagung di ladang kami, kami usir saja. Kini sudah tidak lagi. Menangkap burung bisa melanggar adat karena di kami burung menjadi bagian dari hutan yang harus kami hormati. Apalagi, kini keberadaannya tak sebanyak dulu,” tutur Jeremias Hima Halakudu (45), warga di Billa.

Kepala Taman Nasional Matalawa Maman Surahman mengatakan, kearifan yang ada di masyarakat Sumba menjadi modal besar dalam upaya konservasi. Banyak warga yang terlibat dalam upaya konservasi di dalam kawasan taman nasional. Untuk menjembatani kebutuhan ekonomi warga, mereka diperbolehkan mengelola hutan produksi. Kopi adalah salah satu tanaman yang dikenalkan untuk bisa diambil manfaatnya.

”Kami juga bantu warga mengelola kopi atau membuat kerajinan anyaman agar mereka punya pendapatan tambahan dan tetap bisa menjaga hutan,” ucap Maman.

Warga juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan, termasuk ekowisata. Anak-anak muda kini bisa ikut membantu menjadi pemandu hutan dan menemani turis memantau burung. Billa yang menjadi surga pengamatan burung jadi aset berharga bagi warga sekitarnya. Pada 2018 sudah ada 1.215 wisatawan mancanegara yang datang untuk mengamati burung di taman nasional ini. Adapun wisatawan nusantara mencapai 4.470 orang.

Hidup selaras dengan alam adalah pilihan bijak bagi orang-orang di Tabundung. Buktinya, sampai saat ini, Danau Laputi menjadi sumber air utama yang menyediakan air bersih bagi warga. Tak pernah kering dan terus mengairi kebun warga sepanjang tahun. Hutan pun tak sepi dari kicauan burung sumba. (SIWI YUNITA/ARIS PRASETYO/LUKI AULIA)

 

 

Artikel Lainnya