KOMPAS/HARRY SUSILO

Anggota ekspedisi bersiap menyusuri jalur es Puncak Nggapulu yang juga dikenal dengan nama Puncak Soekarno di ketinggian sekitar 4.700 meter di atas permukaan laut (mdpl), kawasan Pegunungan Jayawijaya, Papua.

Pendakian Cartensz Pyramid di Papua

Carstensz Pyramid: Puncak Impian di Ujung Negeri

·sekitar 6 menit baca

Badan menggigil gemetaran saat butiran es berjatuhan dari langit Pegunungan Jayawijaya, Papua, Sabtu (24/4) siang. Meskipun sudah berbalut jaket dan sarung tangan tebal, tubuh tetap dirayapi hawa dingin yang menusuk hingga tulang.

Ketika berangkat dari kamp terakhir di Lembah Danau-Danau sekitar pukul 04.00 WIT, alat pengukur suhu menunjukkan minus dua derajat celsius. Namun, suhu udara siang itu terasa berkali-lipat dinginnya. Selain terpaan hujan es, angin kencang di Teras Besar yang berada di ketinggian sekitar 4.750 meter di atas permukaan laut (mdpl), berembus kuat seperti mengamuk.

Jemari tangan Muhamad Gunawan (52) pun membiru kedinginan. Dengan kondisi fisik yang telah menurun, pendaki yang bersama saya tergabung di tim Bravo Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia itu tetap bergerak menuju Puncak Carstensz Pyramid yang berada di sisi selatan Pegunungan Jayawijaya. Tim berjalan perlahan karena jarak pandang menjadi hanya sekitar tiga meter akibat tertutup kabut pekat.

Hampir enam jam perjalanan menuju Puncak Carstensz Pyramid ditempuh. Medan diwarnai tanjakan terjal dengan kemiringan mencapai 80 derajat. Meniti tali, menyusur tepi jurang, hingga memanjat tebing bebatuan harus dilakukan jika ingin mencapai puncak tertinggi di Indonesia tersebut.

Denyut jantung berdetak cepat, napas tersengal, langkah terhuyung, dan kepala terasa pusing karena oksigen menipis. Karena tak kuat berjalan, beberapa anggota tim memilih merayap di antara tebing curam. Tidak hanya kekuatan fisik, ketangguhan mental juga diuji jika ingin meneruskan perjalanan menuju puncak.

Setelah melalui perjuangan keras, sebagian tim Bravo yang berasal dari Perhimpunan Pendaki Gunung dan Penempuh Rimba Wanadri itu akhirnya berhasil membentangkan Merah Putih di puncak dengan ketinggian 4.884 mdpl tersebut. Sujud syukur dan ucapan selamat mewarnai pencapaian ini.

Pada saat yang hampir bersamaan, perjalanan saya yang ditemani pendaki Wanadri lainnya, Fajar Nugroho (26), terhenti di satu ceruk yang berada di ketinggian sekitar 100 meter lagi menuju puncak. Dengan energi yang sudah habis terkuras, kami terhalang cuaca buruk di depan jurang dengan kedalaman sekitar 20 meter dan lebar 15 meter bernama Kandang Babi.

Waktu yang hampir menunjukkan pukul 12.00 pun mengharuskan kami kembali turun meskipun belum sampai ke puncak yang kami tuju. “Jika diteruskan, akan berbahaya karena semua pendaki harus dapat kembali ke Lembah Danau-Danau sebelum gelap,” kata Yoppie Rikson, Ketua Harian Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia, yang turut serta mencapai puncak.

Dua hari kemudian, bersama anggota tim Bravo lainnya, Setyo Ramadi (46) dan Agus Nugraha (48), saya kembali mencoba ke Carstensz Pyramid. Meskipun dirundung kabut cukup tebal, kami akhirnya menginjakkan kaki di puncak melalui delapan jam perjalanan yang sangat melelahkan. Namun, kelelahan fisik dan hawa dingin di tubuh serasa terhapuskan dengan kebahagiaan saat itu.

Tak bisa disangkal, mencapai Puncak Carstensz telah menjadi impian banyak pendaki, baik lokal maupun mancanegara. Bukan hanya karena pemandangan eksotisnya, tetapi juga menyusuri varian medannya, seperti tebing terjal, gletser, dan pasir.

“Carstensz merupakan tempat yang tepat untuk mengaplikasikan materi yang selama ini didapat melalui latihan,” ucap Setyo Ramadi, pendaki senior dari Mapala UI, yang untuk ketiga kalinya ke Carstensz.

Sebelum pencapaian kami dan tim Bravo, tim inti Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari Wanadri, yang terdiri atas Ardhesir Yaftebbi, Iwan Irawan, Martin Rimbawan, Nurhuda, Fajri Al Luthfi, dan Gina Afriani, juga lebih dulu menggapai Puncak Carstensz, Minggu (18/4). Lagu “Indonesia Raya” pun mereka kumandangkan sebagai bentuk ucap syukur.

“Keberhasilan mencapai Puncak Carstensz itu tidak dapat diukur nilainya, memberikan harapan bagi kami untuk mencapai puncak tertinggi lainnya di dunia,” kata Ardhesir Yaftebbi, ketua tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia.

Puncak tanpa es

Carstensz Pyramid mulai dikenal para pendaki internasional sejak dicapai pertama kali pada 1962 oleh Heinrich Harrer, pendaki Austria yang mendokumentasikan petualangannya dalam buku Seven Years In Tibet.

Dua tahun kemudian, Maret 1964, tiga anggota TNI dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yakni Lettu Soedarto, Sugirin, dan Fred Athaboe, berhasil menorehkan sejarah dengan menjadi pendaki lokal pertama yang membentangkan Merah Putih di puncak tertinggi Indonesia dalam Ekspedisi Cendrawasih. Keberhasilan ini diikuti tiga pendaki dari Mapala UI, Sinarmas Djati, Henry Walandouw, dan Rafiq Pontoh, yang mencapai Carstensz Pyramid pada pertengahan 1972.

Namun, tidak seperti puncak lain di Jayawijaya, Carstensz Pyramid sudah tidak lagi berselimutkan es. Ini berbeda dengan Puncak Soekarno atau Nggapulu, Puncak Soemantri, dan Carstensz Timur, yang masih memiliki hamparan permadani putih di pucuknya.

Padahal, pendaki senior Wanadri, Muhamad Gunawan, berkisah, saat mendaki Carstensz 1986, es masih menyelimuti tebing bebatuan di Puncak Carstensz hingga Teras Besar. Pada 1991, es telah menyusut karena hanya sebagian tebing yang masih tertutupi es di kawasan puncak. “Ketika 1994 saya kembali ke sana, sudah tidak ada lagi tebing yang tertutup es,” kata Gunawan yang juga menjadi koordinator Staf Ahli Ekspedisi.

Karena hamparan putih itu, suku Dani pun menyebut Puncak Carstensz dengan nama Ndugu-Ndugu, yang berarti berjatuhan atau berguguran. “Dulu, orang Dani sering melihat salju atau es yang berguguran di puncak tersebut sepanjang tahun,” kata Narniur Erelak, salah seorang warga suku Dani.

Kabar ada es di puncak tertinggi Jayawijaya, puncak berselimut es di dekat garis khatulistiwa, beredar pula di masyarakat Eropa. Pelaut Belanda, Jan Carstensz, yang menyebarkan informasi itu setelah melihat pucuk Pegunungan Jayawijaya dalam sebuah pelayaran pertengahan Februari 1623. Nama Jan Carstensz lalu digunakan untuk menyebut puncak itu.

Jalur pendakian

Umumnya, Puncak Carstensz dapat dicapai melalui jalur utara, yaitu dari Ilaga, Kabupaten Puncak, dan Sugapa di Kabupaten Intan Jaya. Namun setahun ini, jalur selatan yang terdapat di Tsinga, Kabupaten Mimika, juga telah dirintis.

Jika melalui Ilaga dan Sugapa, pendaki biasanya menginap di Lembah Danau-Danau, kamp terakhir sebelum menuju Carstensz Pyramid. Tenda digelar di tepi danau yang dikelilingi tebing bebatuan nan curam.

Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia berangkat melalui jalur pertambangan PT Freeport Indonesia. Berawal dari Bali Dump, tim lalu melintasi tebing berwarna hitam-putih yang dinamakan Zebra Wall.

Perjalanan dilanjutkan menuju tempat yang dinamakan Pintu Angin, jalan setapak yang dipenuhi bebatuan dan dibatasi tebing besar di samping kanan- kirinya sehingga mirip sebuah lorong angin yang besar. Tiba di pengujung senja, tim menginap di tempat ini.

Keesokan harinya, tim bergegas menuju Lembah Danau-Danau. Dalam kondisi normal, perjalanan dari Bali Dump ke Lembah Danau-Danau dapat ditempuh 4-6 jam perjalanan. Namun, karena tim membawa perbekalan tambahan sehingga mesti berjalan bolak-balik untuk mengangkut barang, perjalanan ditempuh selama 11 jam.

Selain kemampuan teknis dan fisik, proses aklimatisasi atau penyesuaian diri dengan suhu dan tekanan udara di ketinggian juga dibutuhkan dalam pencapaian Puncak Carstensz. Sebagai gambaran, tim inti Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia baru melakukan upaya mendaki ke puncak pada Selasa (13/4), setelah lima hari berada di kawasan Pegunungan Jayawijaya.

Setiap pendaki memiliki kemampuan berbeda untuk beradaptasi dengan ketinggian. Ada yang butuh beberapa hari hingga sampai hitungan minggu. Jika belum terbiasa dengan kondisi di ketinggian, biasanya pendaki akan dilanda rasa kantuk, mual, dan mengalami pusing atau biasa dikenal dengan istilah hipoksia, yaitu sindrom kekurangan oksigen dalam jaringan tubuh karena perbedaan ketinggian. Pada kasus yang fatal, sindrom ini dapat berujung pada kematian.

“Biasanya aklimatisasi dilakukan dengan berkegiatan ringan atau pendaki dapat turun lagi ke ketinggian tertentu jika belum terbiasa,” ujar Gunawan.

Pendakian memang membutuhkan persiapan, baik fisik, bekal, maupun teknik. Salah perhitungan dan memaksakan diri dapat mengancam keselamatan diri dan tim.

Tak pelak, plakat logam bertuliskan “In Memoriam Hartono Basuki Wibowo 15 Juni 1958-22 April 1981” (Hartono Basuki adalah anggota Mapala UI yang meninggal di sekitar Puncak Carstensz karena kecelakaan), yang tergolek di Puncak Carstensz, telah mengingatkan pendaki mana pun agar apa pun konsekuensinya, keselamatan jiwa merupakan yang utama meskipun harus melupakan impian menuju puncak.

Artikel Lainnya