KOMPAS/HARRY SUSILO

Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia berjalan menuju Kamp 1 Plaza Canada (4.910 meter di atas permukaan laut) saat mendaki Aconcagua, Argentina, akhir Desember 2010. Lima pendaki dari tim itu akhirnya berhasil menjejakkan kaki di puncak Aconcagua (6.962 mdpl) pada 27 Desember 2010 dan 2 Januari 2011.

Pendakian Gunung Aconcagua di Argentina

Catatan dari Aconcagua: Pengalaman Itu Sungguh Tak Ternilai…

·sekitar 4 menit baca

Alat pengukur suhu menunjukkan minus 17 derajat celsius saat tenda mulai tertutup salju di Kamp Cholera, 5.970 meter di atas permukaan laut. Tak hanya tenda, tanah dan bebatuan pun perlahan memutih.

Tubuh yang sudah dibalut pakaian dalam hangat dan jaket polar pun masih menggigil kedinginan. Air di botol membeku. Ingin rasanya mata terus memejam karena enggan keluar dari kantong tidur.

Panggilan para pemandu mengenyakkan benak yang masih melamun, mengingat perjalanan ke puncak Aconcagua sehari sebelumnya. Rasa menyesal masih menghantui karena saya harus turun di ketinggian 6.500 mdpl, sekitar 400 meter menjelang puncak.

“Ayo, kita harus packing,” tiba-tiba sapaan Martin Rimbawan kembali membangkitkan diri dari lamunan. Tidak bisa tidak, kami harus turun pagi itu ke kamp utama Plaza de Mulas (4.300 mdpl). Kantong tidur digulung, perlengkapan pribadi mulai dimasukkan ke ransel, dan tenda pun dibereskan.

Perjalanan ke puncak

Kami turun ke Plaza de Mulas seusai percobaan ke puncak (summit attack) pada 27 Desember 2010. Pucuk Pegunungan Andes setinggi 6.962 mdpl ituserasa jauh sekali untuk digapai.

Perjalanan menuju puncak dimulai pukul 05.30, saat hari masih gelap. Tim yang terdiri atas sembilan orang itu meniti jalan perlahan di belakang Andres Girotti, pemandu dari Aymara. Tubuh dibalut empat lapis pakaian dan tiga lapis celana panjang.

Belum setengah jam berjalan, Gina Afriani-satu-satunya perempuan pendaki dalam tim- jatuh tersungkur dan muntah darah sampai tiga kali dan harus dibawa turun ke Plaza de Mulas.

Tak lama, setelah enam jam berjalan, Juan Manuel Tillard, salah seorang pemandu, menghampiri saya, kemudian berkata, “Kamu terlihat kelelahan, lebih baik turun bersama saya.” Saat itu kami sudah berada di ketinggian 6.500 mdpl.

Mulut rasanya terkatup tidak bisa menjawab dan hidung sulit bernapas karena tersumbat akibat flu dan tipisnya oksigen. Tanpa bisa membantah, saya mengikuti Juan, turun ke Kamp Cholera. Sedikit kecewa….

Berselang beberapa jam, tiga lagi anggota tim diminta tak melanjutkan perjalanan ke puncak. Hanya tiga pendaki, Ardeshir Yaftebbi, Fajri al-Luthfi, dan Martin Rimbawan, yang akhirnya menjejakkan kaki di puncak pukul 15.15 setelah 10 jam berjalan kaki.

Pendakian dari kamp terakhir menuju puncak memang sangat menguras tenaga dan melewati medan yang cukup berat. Dalam buku Aconcagua: Summit of the Americas karya Mauricio Fernandez disebutkan, seorang pendaki setidaknya menghabiskan 10.000 kalori saat perjalanan ke puncak atau 10 kali lipat dibandingkan aktivitas sepeda gunung dan 25 kali lipat dibandingkan kalori yang habis saat joging.

Setelah turun dari Cholera menuju Plaza de Mulas, percobaan kedua menuju puncak Aconcagua pun disusun dengan beranggotakan Gina Afriani, Iwan Irawan, Nurhuda, dan Popo Nurakhman. Namun, Gina akhirnya batal berangkat karena alasan kesehatan. Dengan mempertimbangkan waktu pemulihan dan cuaca, tiga orang yang tersisa bergerak dari Plaza de Mulas tepat pada pengujung tahun dan tiba di puncak pada 2 Januari.

Jalur pendakian

Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia, beranggotakan Ardeshir, Iwan, Martin, Fajri, Nurhuda, dan Gina Afriani, memulai pendakian ke Aconcagua pada 18 Desember 2010. Terdapat juga empat personel pendukung, yaitu Yoppi Rikson, dua wartawan Metro TV, dan saya (Kompas).

Aconcagua merupakan puncak ke-4 dari proyek tujuh puncak dunia yang didaki tim. Sebelumnya mereka telah mencapai Elbrus di Rusia (5.642 mdpl), Kilimanjaro di Tanzania (5.895 mdpl), dan Carstensz Pyramid di Papua (4.884 mdpl).

Perjalanan menuju puncak Aconcagua bisa dilakukan melalui beberapa jalur, seperti rute normal yang merupakan rute termudah dan paling banyak dilalui pendaki. Juga ada rute Gletser Polandia yang dulu digunakan tim Mapala UI pada Februari 1992. Ada lagi rute lain, yaitu South Face, rute tersulit, karena sebagian besar pendakian dilakukan dengan memanjat dinding es. Rute ini pernah dilewati Reinhold Messner, pendaki ternama asal Italia.

Pendakian Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia ke Aconcagua melewati rute normal. Rute ini dipilih agar tim tetap berpeluang besar menjejakkan kaki di puncak. “Selain itu, tim kami juga bawa orang media. Jadi, harus mempertimbangkan faktor kesulitan medan,” kata Ardeshir, ketua tim pendakian.

Perjalanan melalui rute normal dimulai dari Lembah Horocones, pintu Taman Provinsi Aconcagua yang berada sekitar 2 kilometer dari Puente del Inca. Seusai berdoa, tim memulai perjalanan dengan menyusuri padang rumput nan hijau dan melewati danau cantik yang berkilauan saat diterpa cahaya matahari yang dinamakan Laguna de Horocones.

Dari sini sudah terlihat puncak berselimutkan es di balik bukit- bukit yang memagari jalan setapak. Setelah empat jam berjalan, tim tiba di Confluencia (3.400 mdpl), lapangan pasir yang cukup besar dengan hamparan tenda berwarna-warni.

Guna membiasakan dengan ketinggian, tim menginap dua malam di Confluencia. Dari Confluencia perjalanan dilanjutkan ke Plaza de Mulas denganberjalan kaki 10 jam melalui medan terjal tanah berbatu, padang pasir, dan rerumputan. Panas terik matahari disertai angin menyertai sepanjang perjalanan.

Biasanya setelah menambah ketinggian, pendaki dilanda pusing, kehilangan nafsu makan, dan sesak napas. Untuk itulah tim menginap empat malam di kamp utama Plaza de Mulas sebagai bagian dari proses aklimatisasi. Setelah Plaza de Mulas, perjalanan dilanjutkan ke Kamp 1 Plaza Canada (4.910 mdpl), kemudian ke Kamp 2 Nido de Condores (5.400 mdpl), dan menginap di kamp terakhir, Cholera. Dengan proses aklimatisasi, pendakian ke Aconcagua berlangsung 14-15 hari.

Dalam jajaran seven summit, Aconcagua adalah puncak kedua tertinggi setelah Everest. Bagi para pendaki Indonesia, Aconcagua mencatat sejarah tersendiri setelah musibah yang menimpa pendaki Mapala UI, Norman Edwin dan Didiek Samsu, yang ditemukan meninggal di sekitar puncak pada Maret 1992.

Selain Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia, tim dari Mahitala Universitas Parahyangan juga mendaki Aconcagua pada akhir 2010. Empat dari lima pendakinya akhirnya dapat mengibarkan Merah Putih di Aconcagua pada 9 Januari 2011.

Kedua tim dari Indonesia initidak menempuh jalan mulus dalam pendakian. Dengan segala tantangan dan kendalanya, Aconcagua memang seperti memberikan pelajaran dan pengalaman berharga bagi semua yang mencoba menjejakkan kaki di puncaknya. Jika dipandang dari jauh, pesonanya niscaya membekukan letupan keangkuhan dalam diri manusia.

Artikel Lainnya