KOMPAS/HARRY SUSILO

Seusai turun dari puncak Aconcagua, tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia berdoa di depan plakat Norman Edwin dan Didiek Samsu di Cementerio del Andinista, Puente del Inca, Argentina, Rabu (5/1) waktu setempat. Norman dan Didiek merupakan pendaki Mapala UI yang meninggal saat ekspedisi ke Aconcagua pada Maret 1992.

Pendakian Gunung Aconcagua di Argentina

“In Memoriam”: Doa Kami untuk Norman dan Didiek…

·sekitar 3 menit baca

Semilir angin hangat menerpa tubuh saat tiba di Cementerio del Andinista, Puente del Inca, Argentina, Rabu (5/1) waktu setempat. Pemakaman yang diapit bukit-bukit terjal itu berisi puluhan plakat dan jasad pendaki yang tewas di Aconcagua.

Salah satunya adalah plakat berwarna keperakan yang masih mengkilat bertuliskan “In Memoriam Didiek Samsu Wachyutriadi M-276-UI and Norman Edwin M-116-UI on Expedition of Mt Aconcagua South America, March 1992 Mapala University of Indonesia”.

Satu per satu anggota Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia pun mendekat. Secara bergantian, mereka menghadap plakat logam itu, lalu membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan.

“Mereka (Norman dan Didiek) adalah orang yang telah melangkah lebih dulu sebagai pionir untuk mengibarkan Merah Putih di puncak-puncak tertinggi di dunia,” kata Yoppi Rikson, Ketua Harian Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia.

Cementerio del Andinista (pemakaman pendaki) terletak sekitar 3 kilometer dari Horocones Valley, pintu masuk Taman Provinsi Aconcagua dari rute normal atau sekitar 10 kilometer dari Punte de Vacas, pintu masuk ke jalur Gletser Polandia.

Seusai mencapai puncak Aconcagua (6.962 mdpl) pada 27 Desember dan 2 Januari lalu, Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia memang sudah berniat untuk berziarah mengunjungi plakat tersebut berada. Meski jasad keduanya terbaring di Jakarta-Norman dimakamkan di TPU Tanah Kusir dan Didiek di pemakaman keluarga di Cilandak-plakat ini menjadi penanda meninggalnya kedua “beruang gunung Indonesia” ini diAconcagua.

Norman Edwin dan Didiek Samsu, dua pendaki Mapala UI yang meninggal hanya beberapa ratus meter dari puncak Aconcagua pada Maret 1992, memang tak bisa lepas dari sejarah dunia petualangan Indonesia. Merekalah pionir pendakian tujuh puncak dunia yang kini kembali marak diusung generasi pendaki selanjutnya.

Musibah yang mereka alami kala itu menggegerkan pendaki seantero Indonesia.

Norman, yang saat itu juga wartawan Kompas, dan Didiek, wartawan majalah Jakarta-Jakarta, pun menjadi buah bibir yang disertai pertanyaan penyebab kematian mereka.

Berdasarkan kliping berita Kompas, pada pertengahan Februari 1992, Norman, Didiek, bersama tiga rekannya sesama anggota Mapala UI, Rudy “Becak” Nurcahyo, Mohammad Fayez, dan Dian Hapsari, coba menggapai puncak melalui jalur Gletser Polandia (Polish Glacier) yang lebih sulit dari rute normal.

Saat itu, Aconcagua merupakan puncak kelima yang mereka daki setelah Mapala UI berhasil mencapai empat puncak lain, Carstensz Pyramid di Papua (4.884 mdpl); Kilimanjaro di Tanzania, Afrika (5.892 mdpl); Elbrus di Rusia (5.642 mdpl); dan Mckinley di Alaska, Amerika Serikat (6.194 mdpl).

Namun, karena Fayez mengalami kecelakaan, semua anggota tim akhirnya turun. Norman dan Rudy yang menolong Fayez turut terkena radang beku (frost bite) sehingga harus diamputasi dan menjalani perawatan.

Norman, yang satu jarinya sudah “hilang”, kemudian merencanakan pendakian ulang bersama Didiek pada 11-21 Maret 1992 melalui jalur normal. Bagi mereka, tujuannya adalah satu, yakni mencapai puncak Aconcagua.

Pendakian itulah yang berujung musibah. Jenazah Norman akhirnya ditemukan pada awal April 1992 di Canaleta yang berada di ketinggian 6.700 mdpl. Adapun jasad Didiek ditemukan lebih dulu pada akhir Maret 1992 di sebuah pondok kecil tak beratap bernama Refugio Independencia yang berada sekitar 300 meter di bawah Norman.

Hampir setahun kejadian itu berselang, Tantyo Bangun dan Ripto Mulyono yang juga dari Mapala UI kemudian memasang plakat peringatan kematian Norman dan Didiek di Puente del Inca setelah mereka sukses menjejakkan kaki di puncak Aconcagua.

Kini, 17 tahun sejak pemasangannya, plakat itu masih berkilau tertempel di batu cadas Puente del Inca. Melihat lempengan logam itu membuat hati merinding, membayangkan perjuangan Norman dan Didiek melewati hadangan salju, angin, dan medan terjal Aconcagua.

Mereka mungkin telah tiada. Tapi, bagaimanapun juga, mereka yang telah menularkan semangat bagi generasi pendaki saat ini untuk mengibarkan Merah Putih di puncak-puncak tertinggi dunia.

Matahari bersinar cukup terik saat tim mulai memanjatkan doa. “Semoga semangat mereka tetap bersemayam dalam diri kita dan generasi muda lainnya,” ujar Yoppi lirih mengakhiri kata-kata singkatnya. (HARRY SUSILO)

Artikel Lainnya