Tiga ratus meter menjelang puncak Denali, Minggu (15/5) malam, empat pendaki tertatih menyusuri punggungan salju hanya selebar setengah meter dengan udara tipis menyiksa. Hawa beku yang tidak bersahabat membuat langkah mereka semakin berat.
Keempat anggota Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Indonesia tersebut sudah hampir 10 jam berjalan kaki dari kamp terakhir (highcamp). “Tenaga sudah habis, tapi tidak ada kata mundur. Kami harus tiba di puncak,” kata Iwan Irawan (38) menggambarkan kondisi saat itu. Tiga pendaki lain, Fajri Al Luthfi (26), Martin Rimbawan (25), dan Nurhuda (23), memiliki keyakinan yang sama.
Sambil menapaki salju, napas mereka terengah. Jalan satu langkah, empat kali menghirup udara, begitu seterusnya. Mereka berjalan dengan tubuh saling terkait dengan tali.
Berselang 15 menit atau sekitar pukul 21.00 waktu setempat, mereka berhasil mengibarkan Merah Putih di puncak Denali (6.194 meter di atas permukaan laut). Tidak ada rasa haru dan pilu. “Pikiran tegang. Yang terpikir hanya simpan ransel, ambil bendera, kemudian dokumentasi. Setelah itu, kami harus segera turun karena takut cuaca memburuk,” ujar Fajri.
Menjelang musim panas di utara Alaska, matahari bersinar lebih dari 20 jam. Saat mereka tiba di puncak pukul 21.00, hari masih terang. Hari bergeser gelap setelah pukul 24.00.
Perjalanan mereka ke puncak memang jauh lebih sulit karena tubuh masih didera kelelahan beban berat sebelumnya. Untuk itu, mereka harus mendorong batas kemampuan fisik jika ingin tetap mengibarkan Merah Putih di puncak. “Kami semua capek, tapi harus nge-push untuk tetap naik,” kata Iwan.
Apalagi mereka masih tersentak kaget tatkala dua anggota tim, Ardeshir Yaftebbi dan Popo Nurakhman, harus turun di ketinggian sekitar 5.900 mdpl setelah enam jam berjalan kaki.
Saat itu, koordinator pemandu dari American Alpine Institute (AAI), Kurt Hicks, tiba-tiba meminta Popo turun karena berjalan terlalu lambat tanpa memberikan opsi lain. “Jika berjalan terlalu lambat, akan berbahaya bagi tim,” kata Kurt mengungkapkan alasannya.
Ardeshir memutuskan untuk turun menemani Popo dengan pertimbangan lain. “Jika satu atau dua jam lagi saya tidak kuat dan harus turun, anggota lain juga terpaksa ikut turun. Ini beban moral bagi saya,” kata Ardeshir. Saat turun, mereka berdua didampingi pemandu lain dari AAI, Dan Otter.
Saat tim mendaki Denali, seorang pemandu bertanggung jawab atas tiga pendaki. Artinya, jika ada satu orang turun sebelum mencapai puncak, dia harus turun didampingi seorang pemandu beserta pendaki lain agar peluang rekan satu timnya untuk mencapai puncak tetap terjaga. Untuk itu, para pemandu menilai, keputusan Ardeshir justru dapat menjaga keutuhan tim yang tersisa untuk tetap sampai ke puncak.
Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Indonesia bergabung dengan dua pendaki lain dari Irlandia dan Polandia saat mendaki Denali. Mereka didampingi tiga pemandu AAI, Kurt, Dan, dan Aili Farquhar, seorang perempuan pemandu.
Saat dua anggota tim turun bersama Dan, empat pendaki sisanya yang didampingi Kurt dan Aili harus sekuat tenaga tiba di puncak. Mereka harus bergerak cepat agar tidak kesulitan saat turun karena suhu kian dingin dan cahaya matahari kian redup.
Mereka cukup beruntung saat turun karena langit cerah dengan bulan purnama menerangi. Tidak ada kesulitan yang ditemui meski baru tiba di kamp terakhir sekitar pukul 04.00. Total waktu pendakian dari kamp terakhir menuju puncak dan kembali dalam 16 jam.
Suhu lebih dingin
Tim mendaki Denali sejak 2 Mei lalu melalui jalur WestButtress karena dinilai paling mudah. Jalur ini juga digunakan 80-90 persen pendaki. Namun, perjalanan ke Denali ini tetap saja menjadi salah satu yang terberat di daftar tujuh puncak karena suhunya yang ekstrem dan pendaki harus membawa sendiri beban seberat 40-50 kilogram dengan ransel dan sled.
Sebagai gambaran, saat di kamp tiga, tim ekspedisi sempat terhadang cuaca buruk dengan suhu mencapai minus 35 derajat celsius dan angin bertiup hingga kecepatan 75 kilometer per jam. “Air minum saja membeku walau dimasukkan dalam kantong tidur,” tutur Ardeshir.
“Perjalanan ini merupakan yang terberat dari pendakian Denali yang pernah saya alami karena suhunya lebih dingin dibandingkan dengan biasanya,” ungkap Kurt yang sudah lima kali mendaki Denali dan tiga kali di antaranya berhasil mencapai puncak.
Denali berasal dari bahasa suku asli di Alaska, Indian Athabaskan, yang berarti ‘yang tinggi’. Terdapat dua puncak di Denali, di utara dan selatan. Tim berhasil mencapai puncak selatan yang merupakan titik tertinggi di Denali, sedangkan puncak utara hanya 5.934 mdpl.
Pendaki pertama yang mencapai puncak tertinggi Denali adalah Hudson Stuck, Harry Karstens, Walter Harper, dan Robert Tatum, 7 Juni 1913. Mereka mencapai puncak melalui rute utara.
Sejak pertama didaki hingga kini, lebih dari 100 pendaki dari sejumlah negara tewas di gunung ini. Salah satunya pendaki legendaris Jepang, Naomi Uemura, yang hilang saat perjalanan turun setelah berhasil menjadi pendaki solo pertama yang mencapai puncak Denali, musim dingin Februari 1984.
Sejumlah pendaki Indonesia pernah mencapai puncak Denali. Kelompok Mapala UI, pionir ekspedisi tujuh puncak dunia di Indonesia, berhasil mengibarkan Merah Putih di puncak Denali pada 7 Juli 1989. Mereka beranggotakan Norman Edwin, Didiek Samsu, Deddy Aloysius Febrianto, dan Sugiono Sutejo.
Selang 21 tahun kemudian, giliran pendaki dari ekspedisi Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia yang menjejakkan kaki di puncak Denali pada 7 Juli 2008. Pendakian ini berakhir dengan musibah meninggalnya salah seorang pendaki, Pungkas Tri Baruno (20), dalam perjalanan turun dari puncak.
Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Indonesia menambah panjang daftar keberhasilan pendaki Tanah Air yang mampu berdiri di pucuk “Yang Tinggi” tersebut. Dengan pencapaian ini, tinggal dua puncak lagi yang akan didaki, yaitu Vinson Massif (4.897 mdpl) di kutub selatan pada Desember 2011 dan Everest (8.848 mdpl) di Nepal pada Maret 2012.