Taburan bintang masih menerangi lereng Everest di ketinggian 8.300 meter di atas permukaan laut, Sabtu (19/5) dini hari. Alat pengukur suhu menunjukkan minus 25 derajat celsius. Dingin yang menusuk hingga ke tulang dan tipisnya udara menyulitkan diri untuk bergerak.
Namun, dua pendaki Indonesia 7 Summits Expedition, Iwan Irawan (39) dan Nurhuda (24), terus tertatih menapak salju. ”Sekali jalan empat kali napas, rasanya berat sekali,” ujar Iwan yang menggunakan tiga lapis pakaian saat berjalan. Sesekali angin bercampur rintik salju menyengat wajah mereka yang tak terlindungi kacamata. Rasanya perih seperti terbakar.
Sembari mengenakan masker oksigen, kedua pendaki itu bergerak tertambat dengan tali yang terpasang sejak dari ketinggian 6.600 meter dari permukaan laut (mdpl) hingga puncak Everest. Medan terjal bebatuan yang kadang hingga 90 derajat curamnya menyulitkan mereka yang berjalan memakai sepatu bercakar es.
Dengan didampingi empat sherpa (suku di Nepal yang biasa menjadi pemandu di Himalaya), termasuk pemandu profesional, Chhiring Dorje Sherpa (38), mereka terus melangkah. Petak puncak Everest atau Sagarmatha akhirnya terlihat setelah sembilan jam mereka berjibaku dengan hawa dingin dan tipisnya oksigen. Begitu tiba, kedua pendaki dari Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri ini langsung menjatuhkan diri, bersujud mencium salju puncak sang Dewi Langit.
Iwan mencapai puncak Sagarmatha pukul 07.49 waktu Nepal atau pukul 09.04 WIB diikuti beberapa menit kemudian oleh Nurhuda. ”Cuaca di atas sangat cerah, hanya sedikit berangin,” kata Nurhuda. Keduanya mengibarkan Sang Merah Putih dan mengabadikannya.
Iwan dan Nurhuda menjadi pendaki Indonesia pertama yang menggapai puncak Everest melalui jalur utara, dan tim ketiga dari Indonesia yang mampu berdiri di puncak tertinggi di dunia ini. Pencapaian Indonesia ke Everest pertama kali saat Ekspedisi Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus) tahun 1997 oleh Asmujiono dan Misirin.
Untuk Iwan, pencapaian ke puncak Everest ini juga menjadi penantian selama 15 tahun. Dia turut menjadi pendaki sipil yang bergabung dengan Ekspedisi Kopassus. Saat itu ia cuma mencapai Kamp II dari jalur selatan. ”Sampai sekarang saya masih belum percaya sudah sampai ke puncak Everest,” kata Iwan, saat berada di Kathmandu, Nepal, Kamis (31/5).
Wanadri menjadi kelompok pendaki kedua dari Indonesia yang sukses mencapai tujuh puncak tertinggi di tujuh benua (Seven Summiters). Juni tahun lalu, kelompok pencinta alam Mahitala Universitas Parahiyangan (Unpar), Bandung, meraih sukses serupa lewat jalur selatan, melalui keempat pendakinya, Broery Andrew, Janathan Ginting, Sofyan Arief Fesa, dan Xaverius Frans.
Selain Iwan dan Nurhuda, dua pendaki Wanadri mencoba mencapai puncak Everest dari jalur selatan. Ardeshir Yaftebbi (29) dan Fajri Al Luthfi (27), didampingi pendaki profesional asal Jepang, Hiroyuki Kuraoka, yang membawa Mahitala Unpar mencapai puncak Everest tahun lalu. Wanadri memecah pendaki menjadi dua tim di dua jalur berbeda untuk mengantisipasi buruknya cuaca dan memperbesar peluang mencapai puncak.
Namun, Fajri yang didampingi Hiroyuki harus tertahan di kamp IV atau South Col (7.894 mdpl) dan urung melakukan summit attack (percobaan ke puncak). Daerah di sekitar puncak diterpa angin kencang yang berkecepatan hingga 180 kilometer per jam. Ardeshir harus turun lebih dulu saat tim berada di kamp III karena menderita radang tenggorokan akut. Ia tak bisa makan atau minum dan kerap muntah darah. Saat tiba di Kathmandu, Ardeshir kehilangan 10 kilogram berat badannya.
Membuat bangga
Setelah kembali dari kawasan Pegunungan Himalaya dan sampai di Kathmandu, semua pendaki disambut warga Indonesia di Banglades dan Nepal dengan sukacita, Sabtu malam pekan lalu. Duta Besar Indonesia untuk Banglades dan Nepal Zet Mirzal Zainuddin bangga terhadap pencapaian pendaki Indonesia itu. ”Para pemuda ini menjadi pahlawan Indonesia dengan mengibarkan Merah Putih di puncak tertinggi dunia,” ucapnya. Zet Mirzal didampingi Konsul Kehormatan Indonesia untuk Nepal Chandra Prasad Dhakal.
Menurut Zet Mirzal, perjuangan para pendaki ini patut diapresiasi. ”Mereka membuat bangga bangsa Indonesia,” paparnya. Keberhasilan mereka juga membuat orang dari mancanegara ingin mengetahui Indonesia.
Sebelum pencapaian Everest, pendaki Wanadri juga mengibarkan Merah Putih di Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) di Papua pada Mei 2010, Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania, dan Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia pada Agustus 2010. Lalu, Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina pada Desember 2010, Denali (6.194 mdpl) di Alaska, Amerika Serikat, pada Mei 2011, serta Vinson Massif (4.897 mdpl) di Antartika pada Januari 2012. ”Dari seluruh pendaki, dua sudah menjadi seven summiters,” ujar Ketua Harian Indonesia 7 Summits Expedition Yoppi Rikson Saragih.
Sejak digapai pertama kali oleh Edmund Hillary dan sherpa Tenzing Norgay pada 29 Mei 1953, puncak Everest sudah didaki ribuan pendaki dari seluruh dunia. Sebagai pucuk tertinggi di muka bumi, banyak pendaki yang berambisi mencapainya.
Data Kementerian Pariwisata Nepal menyebutkan, pada musim pendakian Mei 2012, dari 341 pendaki yang melalui jalur selatan (Nepal), sekitar 150 orang di antaranya bisa menapaki puncak Everest. Namun, empat pendaki tewas. Mereka adalah Wenyi Ha (55) asal China, Song Won-bin (44) dari Korea Selatan, Shriya Shah (33) dari Kanada, dan Schaaf Erich (62) asal Jerman. Data ini menunjukkan, untuk mencapai puncak Everest tidaklah mudah.
Bahaya terbesar justru terjadi saat turun dari puncak karena energi yang habis terkuras. Padahal, bahaya dingin dan tipisnya oksigen masih mengintai. ”Kita harus menyediakan energi dan oksigen saat turun. Jika sampai terjebak traffic (antrean pendaki), itu sangat berbahaya,” ucap Hiroyuki, yang lima kali mencapai puncak Everest.
Dalam buku Dead Lucky, pendaki Australia, Lincoln Hall, menuliskan, badai, tersesat, dan kelelahan sering menghambat pendaki. Hall kehilangan delapan ujung jarinya di Everest.