Talkeetna, Where The Road Ends and Life Begins.
(Talkeetna, sebuah tempat di mana jalanan berakhir dan kehidupan dimulai)
Tulisan yang tertera pada stiker di sebuah kedai kopi tersebut cukup menggambarkan geliat Talkeetna, distrik kecil di Negara Bagian Alaska, Amerika Serikat, ketika musim panas dimulai. Artinya, dapur restoran mulai mengepul, kamar penginapan mulai penuh, dan toko cendera mata diserbu.
Wilayah seluas 107,74 kilometer persegi yang biasanya sepi senyap ini memang mendadak menjadi ramai saat musim panas tiba. Wisatawan dari berbagai pelosok AS, bahkan penjuru dunia, menghampiri Talkeetna untuk berlibur, mulai dari sekadar jalan-jalan, berkemah, memancing, arung jeram, bermain ski, keliling naik pesawat, sampai mendaki gunung.
Dari sekian banyak aktivitas yang bisa dilakukan di sekitar Talkeetna, mendaki gunung adalah yang paling favorit. Ini tak terlepas dari keberadaan puncak Denali (6.194 meter di atas permukaan laut), sebagai puncak tertinggi di kawasan Amerika bagian utara dan salah satupuncak tertinggi di dunia, yang jadi daya tariknya.
Karena letaknya, tak mengherankan jika Talkeetna kerap kali disebut sebagai pintu gerbang menuju Denali. Mayoritas pendaki Denali umumnya berdatangan pada akhir April hingga Juli yang juga berbarengan dengan kedatangan wisatawan lain. Selain Denali, sebenarnya ada juga gunung lain yang bisa dikunjungi dari Talkeetna, yaitu Gunung Foraker dan Hunter.
Meski menjadi daerah terdekat dari Taman Nasional Denali, Talkeetna sebenarnya masih berjarak cukup jauh. Jika ingin bertolak ke kamp utama (base camp) Denali, para pendaki mesti terbang sekitar 45 menit menggunakan pesawat kecil jenis Otter, Beaver, ataupun Cessna 185 yang khusus mendarat di salju.
Pertambangan emas
Talkeetna yang terletak sekitar 160 kilometer sebelah utara dari Anchorage, kota terbesar di Alaska, pada awal abad ke-20 adalah kota yang dipenuhi oleh pemburu emas akibat adanya kandungan emas di Lembah Susitna.
Kedatangan mereka diikuti oleh para penjerat binatang dan penjual bulu binatang. Daerah ini kian ramai oleh pendatang setelah Pemerintah AS memutuskan membangun rel kereta api yang membelah Alaska pada 1916.
Berdasarkan catatan Roberta Sheldon dalam The Heritage of Talkeetna, Talkeetna berasal dari bahasa Indian k’dalkitnu yang berarti ‘sungai yang melimpah’. Selain nama daerah, Talkeetna juga dijadikan sebagai nama sungai di area ini.
Orang kulit putih kemudian mengejanya talkeetna, yang juga memiliki arti sendiri, yakni ‘pertemuan antara tiga sungai’ lantaran memang terdapat tiga sungai di sana: Susitna, Chulitna, dan Talkeetna.
Setelah era kejayaan emas berakhir dan perdagangan tidak lagi menjanjikan, Talkeetna pun berubah menjadi daerah tujuan wisata. Padahal, Distrik Talkeetna tidak lebih besar dari kota kecamatan di Indonesia.
Luas pusat kotanya pun tidak lebih dari dua kali lapangan sepak bola, hanya berupa taman yang dikelilingi toko, rumah makan, dan penginapan. Layanan publik yang bisa diakses hanya kantor pos dan perpustakaan, selain Kantor Taman Nasional Denali.
Namun, wisatawan tetap tumpah ruah kala musim panas. “Pada hari- hari tertentu saat musim panas, toko saya selalu penuh orang sampai susah untuk bergerak,” kata Sky Farrah, penjaga toko kelontong Nagleys.
Berkah Denali
Berdasarkan data sensus Juli 2007, penduduk Talkeetna tercatat hanya sekitar 1.062 jiwa. Namun, jumlah wisatawan per tahun diperkirakan justru mencapai 1.500-2.000 orang, yang kebanyakan pendaki. Data Taman Nasional Denali menyebutkan, terdapat 900-1.000 orang yang mendaki Denali setiap tahun.
Inilah yang menyebabkan roda perekonomian Talkeetna digerakkan oleh bisnis pariwisata. Segala hal yang berkaitan dengan wisata bertumbuhan, seperti usaha rumah makan, penginapan, toko cendera mata, usaha penerbangan, dan bisnis jasa yang menawarkan paket wisata alam.
“Denali adalah berkah bagi kami. Saya bisa membiayai kebutuhan sehari-hari karena banyaknya wisatawan berdatangan,” ujar Patti Callen (52), pengelola toko cendera mata yang sudah lima tahun tinggal di Talkeetna.
Selain salju Denali, Talkeetna juga memiliki pesona alam yang luar biasa.
Tengok saja keindahan Sungai Talkeetna dan hutan cemaranya kala matahari terbenam dengan pemandangan Gunung Denali dan Foraker di belakangnya. Langit yang menjingga dan cahayanya terpantul di beningnya air sungai. Belum lagi bunyi burung camar yang bersahutan.
Keunikan lain Talkeetna adalah banyaknya pesawat yang mondar-mandir di atas kota. Selain karena bisnis pariwisata terbesar di Talkeetna adalah penerbangan, sebagian penduduknya juga memiliki pesawat pribadi untuk mobilitas mereka.
Namun, yang luar biasa adalah kesadaran masyarakat Talkeetna akan potensi daerahnya yang disenangi wisatawan. Selain ramah, penduduknya juga betul-betul menjaga kebersihan dan keamanan kota. Sepeda yang diparkir di luar tanpa dikunci pun aman-aman saja.
Bentuk bangunan-bangunan tua di tengah kota juga sengaja tak dirombak, seperti Fairview Inn yang sudah berdiri sejak 1921 dan terdaftar sebagai bangunan bersejarah yang dilindungi.
Selain bentuk bangunan bercat putih layaknya rumah makan klasik gaya Amerika, pintu masuk Fairview Inn masih berderit ketika pengunjung masuk.
Wajar saja jika pengunjung Talkeetna umumnya sangat terkesan dengan sambutan penduduk, kearifan lokal, dan pesona alamnya.
“Di Talkeetna sangat menyenangkan. Jika tahun ini saya ke sini untuk bermain ski, tahun depan saya akan kembali lagi untuk mendaki Denali,” kata Peter, turis asal Connecticut, AS.
Itulah kenapa wisatawan biasanya masih memenuhi Talkeetna untuk kegiatan wisata alam lain hingga September. Denali sendiri sudah mulai sepi pendaki ketika menginjak Juli.