Teluk Lada di pesisir barat daya Pandeglang, Provinsi Banten, diduga jadi pintu masuk lada (Piper nigrum) di wilayah Nusantara. Pada era Kesultanan Banten, lada merupakan komoditas utama perdagangan, bahkan jadi alat diplomasi para raja. Namun, jejaknya samar-samar.

Aroma rempah menguar, tercium dari seberang Toko Sumber Agung di Jalan Jenderal Sudirman Labuan, Kabupaten Pandeglang, awal April 2017. Begitu mendekat ke pintu toko, wangi cengkeh berpadu kapulaga dan lada kering kian menusuk hidung. ”Silakan masuk,” kata Diana Mega (55), pemilik toko, ramah menyambut tamu.

Karung-karung berisi cengkeh tertumpuk di sudut toko. Di sisi lain, ada zak berisi lada hitam, pinang, dan kapulaga kering yang siap simpan dan jual. Beberapa pekerja memindahkan isi karung-karung kecil ke karung yang lebih besar, menjemurnya di lantai teras, dan menimbang barang yang dijual petani dan pedagang kecil.

Di antara mereka ada Bahri (45), pengepul rempah asal Marapat, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, yang datang ke Labuan menawarkan lada hitam. Sebelum ke toko Diana, dia berkeliling ke desa-desa untuk membeli hasil panen petani, terutama lada. ”Saya bawa beberapa karung hari ini,” kata Bahri.

Sumber Agung adalah satu dari tiga pengepul rempah di Labuan. Toko ini menjadi muara hasil panen petani di wilayah Labuan, Cigeulis, Mandalawangi, Pandeglang, dan Cilegon. Bersama suaminya, Akong Saptawijaya (56), Diana mengelola toko yang dirintis sejak tahun 1984.

Keduanya membeli dari petani dan pengepul kecil, menyimpannya di gudang, lalu melepasnya ke pasar ketika harganya dinilai menguntungkan atau jumlahnya telah mencukupi permintaan. Akong-Diana biasa menjual cengkeh ke pabrik rokok melalui bandar besar di Bogor, Jawa Barat. Sementara pinang, lada hitam dan lada putih, serta kapulaga dijual ke pasar-pasar di Jakarta.

Akan tetapi, kapasitas dagang Akong-Diana masih relatif kecil, rata-rata hanya 1 kuintal setiap dua bulan. Itu pun terdiri dari campuran beberapa komoditas. ”Selain muncul pemain-pemain (pedagang) baru rempah di luar Labuan, hasil panen lada di sekitar sini juga sedang turun,” kata Diana.

Sumber Agung, oleh petani dan pengepul kecil di Labuan, tergolong besar dibandingkan pengepul lain. Namun, skala usaha pasangan ini sangat kecil jika dibandingkan peran Banten pada era kesultanan pada abad ke-16 atau 17, sentra utama lada di Nusantara.

Kebun-kebun petani di Mandalawangi, Labuan, dan Malingping juga sebagian besar tidak ditanami lada lagi. Saat menyusuri jalan-jalan dan melintasi kebun-kebun warga di daerah ini, pada awal April 2017, sulit berkesimpulan bahwa Banten adalah sentra lada.

Lada

Toko Sumber Agung hanya beberapa kilometer jaraknya dari pantai di sisi utara kawasan yang disebut Teluk Lada. Pada peta yang dibuat tahun 1777 area ini disebut Pepper Bay. Tak banyak sumber yang menjelaskan sejarah kawasan ini, tetapi toponimi Teluk Lada diyakini merujuk pada lada, komoditas yang dijuluki ”raja rempah” karena skala permintaannya mendominasi perdagangan rempah dunia.

Kompas/Iwan Setiyawan

Toko pengepul dan eksportir rempah di Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, Minggu (2/4).

Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Sonny C Wibisono, menduga nama Teluk Lada tak lepas dari posisi Banten sebagai daerah penghasil lada ketika itu. Toponimi Labuan juga erat dengan pelabuhan. Tempat berlabuhnya kapal-kapal pengangkut komoditas perdagangan.

Penelitian mutakhir menemukan lebih dari 180 daftar kampung di pedalaman Banten yang diduga menjadi sentra petani penghasil lada pada tahun 1800-an. Menurut Sonny, informasi itu tertera di naskah lama yang tersimpan di Arsip Nasional. ”Tanpa ada dukungan produksi yang kuat, tak mungkin Banten tumbuh menjadi kota pelabuhan yang ramai, tempat pengambilan lada,” ujarnya.

Peran Akong-Diana saat ini, kata Sonny, tak ubahnya raja atau sultan di zaman dulu. Dia mengumpulkan lada dari petani di pedalaman Banten dan menyalurkannya ke pedagang. Sebelum dengan bangsa-bangsa Eropa abad ke-16, Banten diduga telah sejak lama menjalin kontak dagang dengan India dan China. Tak tertutup kemungkinan bahwa lada dibawa oleh pedagang India bersama masuknya Hindu ke Nusantara pada abad ke-1. Penyebaran lada ke Jawa didukung oleh motif mengefisienkan biaya pengangkutan China-India.

Hipotesa itu diperkuat dengan temuan lonceng pendeta Hindu di Pandat, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Di perbukitan di desa ini pula masih tersebar tanaman lada berumur tua. Beberapa di antaranya memiliki diameter batang lebih dari 2 sentimeter dan tumbuh liar merambati pepohonan.

Sejumlah petani menduga tanaman lada itu telah berumur puluhan atau bahkan lebih dari seratus tahun. Sebab, berdasarkan cerita turun-temurun, lada sudah ada sejak beberapa keturunan sebelumnya. Somad (48), petani di Desa Pandat, menyatakan, tanaman lada di kebunnya sudah ada sejak era kakek neneknya atau bahkan lebih tua.

Cerita Somad tentang lada-lada tua di desanya sealur dengan hipotesa bahwa Banten adalah pintu masuk lada di wilayah Nusantara. Peneliti senior tanaman lada sekaligus mantan Kepala Pusat Penelitan dan Pengembangan Tanaman Industri Pasril Wahid menambahkan, pendatang Hindu atau pedagang India membawa dan mengembangkannya karena memiliki nilai ekonomi. Dalam Monograf Tanaman Lada, Pasril menyebutkan, lada dibawa oleh pendatang Hindu ke Pulau Jawa antara 100 tahun sebelum Masehi (SM) hingga tahun 600.

Produsen baru

Lada berasal dari pantai barat Malabar, India, meski tanaman liarnya juga ditemukan di perbukitan Assam dan bagian utara Birma (kini Myanmar). Sebagai daerah asal, India menguasai perdagangan lada dunia selama berabad-abad, sampai abad ke-15 dan ke-16. Pencarian lada bertutur-turut membawa pendatang Portugis, Belanda, Perancis, dan Inggris ke India.

Akhirnya, India didominasi dan dijajah Inggris. Menurut Pasril, India kehilangan pamor setelah penjajahan itu, sementara Nusantara tumbuh sebagai penghasil baru komoditas lada. Iklim tropis dan tanah Nusantara sesuai sebagai lahan pengembangan lada. Produksinya bahkan lebih tinggi dari daerah asal karena didukung investasi besar-besaran penjajah Inggris, lalu Belanda, sehingga membawa Indonesia tampil sebagai produsen lada terbesar di dunia.

Selain melalui pesisir barat Sumatera lalu ke Selat Sunda oleh pedagang India pada abad-abad awal, lada juga dibawa masuk ke Nusantara oleh bangsa Eropa melalui Selat Malaka. Namun, hasil pengembangan di Aceh dan Malaka dinilai kurang bagus meski Malaka dan Goa pernah menjadi sentra perdagangan lada dunia.

Lada menemukan wilayah pengembangan yang cocok di Banten. Menurut Sonny, Banten adalah satu periode yang menjadi bagian dari sejarah kejayaan Asia. Perdagangannya sangat maju, bahkan sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, dengan lada sebagai komoditas utama.

Pada abad ke-16 Banten di pesisir utara Jawa telah tumbuh menjadi bandar internasional. Tempat ini dikunjung saudagar dari berbagai bangsa, seperti Jepang, China, India, Arab, Turki, Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis. Pemerintah Kesultanan Banten membangun sarana prasarana pendukung, seperti dermaga, gudang, pasar, dan penginapan.

Produksi lada Banten disokong oleh Lampung dan Sumatera Selatan yang ketika itu berada di bawah kekuasaan kesultanan. Pada abad ke-16, sultan yang berkuasa bahkan mewajibkan masyarakat Lampung menanam, memelihara, dan menjual hasil panennya ke Kesultanan Banten. Lada juga menjadi alat diplomasi para sultan.

Harga yang menggiurkan membuat penanaman lada tak terkendali. Petani mengesampingkan padi sebagai makanan pokok hingga memicu kelaparan. Harga lada kemudian jatuh dan Kesultanan Banten mengubah strategi. Kebun lada diubah menjadi sawah. Lada ditebang. Warga pun dilarang membudidayakannya.

Pasang surut harga menyertai sejarah redup dan berkembangnya lada. Beberapa tahun terakhir, ketika harganya naik, petani Banten menanam lagi. Namun, Banten telanjur ”lenyap” dari peta lada nasional. Meski diduga jadi titik awal penyebaran, bahkan menjadi pusat perdagangan, Banten tidak masuk dalam 10 besar provinsi penghasil lada. Jejaknya pun samar-samar.

(MUKHAMAD KURNIAWAN/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)