Mengunjungi kampung-kampung adat di Sumba serasa berada di tanah Galia, tempat tinggal Asterix dan Obelix, tokoh komik ciptaan R Goscinny dan A Uderzo. Ada pagar di sekeliling kampung yang melindungi rumah-rumah kayu beratap jalinan ilalang serta dipenuhi batu megalitik.
Bedanya, di kampung orang Galia, batu megalitik berbentuk menhir. Adapun di kampung adat Sumba berupa kubur batu besar.
Sebagaimana Prai (Kampung) Yawang di Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Kampung itu dibangun lebih tinggi dari jalan umum. Berbentuk segi empat dikelilingi pagar batu. Di kampung itu ada sekitar 10 rumah panggung, ada yang berdinding kayu, ada yang dari kulit kerbau. Ada rumah yang atapnya masih dari ilalang. Tapi, karena biaya atap ilalang mahal, bisa sampai Rp 15 juta, sebagian rumah atapnya sudah diganti seng. Sebagian rumah itu berusia lebih dari 100 tahun dan mengalami renovasi beberapa kali.
Ada tiga pintu untuk masuk ke kampung itu. Pintu depan tempat tamu masuk kampung jika ada perhelatan besar, seperti pernikahan atau penguburan. Jika hendak meninggalkan kampung, para tamu dipersilakan lewat pintu belakang. Selepas pintu belakang Prai Yawang ada tangga batu karena belakang kampung itu ngarai yang cukup curam. Selain itu, ada juga pintu samping tempat penghuni memasukkan barang dan hewan.
Rumah-rumah panggung di Prai Yawang mengelilingi kompleks kubur batu. Lebih dari tujuh kubur batu megalitik berdiri megah di tengah kampung. Kubur batu megalitik itu umumnya berukuran sekitar 4 x 2 meter, beratnya sampai puluhan ton, disangga empat tiang batu, menaungi jenazah yang dikubur di tanah dalam posisi duduk meringkuk dilapis puluhan kain adat dan ditutup semen. Di atas kubur batu dibuat penji (tugubatu) dengan ornamen binatang, seperti kerbau, buaya, kura-kura, atau harimau yang melambangkan raja, ayam atau babi yang menunjukkan kepemimpinan, dan udang yang melambangkan kehidupan hanya berganti bentuk dunia.
“Penji melambangkan kebesaran bangsawan dan hanya keturunan raja yang boleh membangun di atas batu kubur. Tapi, kini rakyat biasa juga meniru dan membuat penji di atas kubur,” kata Umbu Makabombu (50), bangsawan yang masih tinggal di kampung adat itu.
Di Sumba Timur, kubur batu megalitik bisa ditemui di sejumlah kampung, seperti Kampung Raja Prailiu, 3 km dari Waingapu, ibu kota Sumba Timur, yang populer sebagai tempat tujuan wisata, serta di Kampung Uma Bara, Desa Watu Hadangu, Kecamatan Umalulu, 67 km dari Waingapu. Di Sumba Barat dan Sumba Tengah lebih banyak lagi kubur batu megalitik.
Upacara penguburan sangat penting bagi orang Sumba yang menganut agama Marapu. Mereka menghormati arwah leluhur yang menjadi perantara dalam berhubungan dengan Sang Pencipta. Menurut budayawan Sumba, Frans Wora Hebi (65), masyarakat Sumba percaya, orang yang meninggal hanya pindah tempat. Karena itu, kekayaannya dibawakan ke liang kubur, seperti perhiasan emas dan manik-manik. Penguburan pun dilakukan secara besar-besaran, menyembelih puluhan kerbau dan kuda sebagai bekal di alam sana.
Batu megalitik dipercaya menjadi tempat tinggal di alam gaib. Semakin besar kubur batu, semakin menunjukkan kebesaran para bangsawan itu. Umbu Makabombu memberikan perkiraan biaya penguburan sekitar Rp 250 juta.
Umbu Makabombu menuturkan, pada zaman dulu, saat raja menetapkan waktu penguburan, rakyat segera berkumpul dan bekerja mengambil batu dari gunung dan menarik ke kampung. Hewan-hewan kurban segera disembelih. Sapi dan babi dipotong untuk menjamu tamu dan rakyat yang bekerja. Daging kerbau dan kuda dibagikan untuk dibawa pulang. Saat itu biaya tidak menjadi masalah. Namun, saat ini jenazah bisa disimpan beberapa tahun, hingga anak cucu dan kerabatnya mampu mengumpulkan biaya.
Ketika disinggung apakah tidak lebih baik biaya sebesar itu digunakan untuk memperbaiki rumah dan infrastruktur kampung, Makabombu mengakui, memang sebaiknya demikian. Namun, di sisi lain, adat tetap harus dilaksanakan.
“Mereka harus melaksanakan penguburan sesuai dengan kedudukan. Ini perintah adat, kalau tidak, posisi mereka akan hilang,” kata Makoto alias Umbu Haharu, antropolog Jepang yang menekuni budaya masyarakat Sumba dan pernah tinggal di Desa Kadahang, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, untuk penelitian disertasinya pada Desember 1985-Juni 1988.
Dalam perbincangan dengan Tim Ekspedisi Jejak peradaban NTT Kompas, Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora menyatakan, pihaknya menyadari, ada sejumlah adat tradisi yang bisa menghambat kemajuan masyarakat. Termasuk, kecenderungan yang lebih mementingkan upacara penguburan yang biayanya Rp 250 juta sampai Rp 1 miliar.
Pihaknya berupaya untuk mengubah bentuk kebanggaan masyarakat Sumba, misalnya bangga jika anak sekolah tinggi dan hidup sejahtera. “Setiap berkunjung ke desa-desa, saya selalu mendorong orang tua untuk menyekolahkan anak. Saya bilang kepada para bangsawan (maramba), kalau anak tidak sekolah, maka orang yang bukan maramba dan sekolah tinggi akan menjadi pejabat dan memerintah kalian,” kata Gidion.