Kompas/Iwan Setiyawan

Pelabuhan Ende di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, Selasa (19/10), merupakan salah satu pintu gerbang perdagangan antarpulau di Pulau Flores yang menjadi tumpuan pengiriman berbagai komoditas. Kapasitas sejumlah pelabuhan di NTT dirasakan kurang memadai karena kapal roro tidak bisa merapat.

Infrastruktur

Ekspedisi Nusa Tenggara Timur: Infrastruktur Minim, Kemiskinan Tak Kunjung Terurai

·sekitar 4 menit baca

“Kompas” membuat liputan komprehensif berupa Ekspedisi Jejak Peradaban Nusa Tenggara Timur. Tim “Kompas” berupaya mengungkap kekayaan budaya NTT serta potensi pertanian dalam arti luas, yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT. Hasil liputan akan dilaporkan mulai hari ini hingga sepekan mendatang, ditambah laporan di rubrik Fokus pada Jumat minggu depan.

Nusa Tenggara Timur kaya budaya dan tradisi, dikarunia keindahan alam, padang rumput luas untuk peternakan, serta potensi perikanan dan kelautan yang berlimpah.

Masyarakat yang tinggal di sejumlah pulau di provinsi ini tergolong dalam sedikitnya 40 kelompok etnolinguistik dengan tradisi berbeda-beda. Karena itu, ada berjenis kain tenun dan alat musik khas di NTT, juga berbagai ritual, seperti pasola dan wula poddu di Sumba, kebhu, gemohing, dan ka nua di Flores.

Di NTT terdapat sisa binatang purba komodo, tebaran pantai berpasir putih dan taman terumbu karang di banyak pulau, Danau Tiga Warna di Kelimutu, Flores, situs manusia purba Liang Bua di Flores, dan kubur batu megalitik di Sumba yang berpotensi menarik wisatawan.

Lebih dari seabad Sumba terkenal sebagai pusat kuda sandel dan sapi ongole. Kopi, kakao, cengkeh, dan kemiri tumbuh subur di Flores. NTT juga pernah jadi sumber kayu cendana terbaik di dunia.

Dari segi sumber daya manusia, siapa yang tidak kenal tokoh-tokoh asal NTT seperti dokter WZ Johannes dan cendekiawan Prof Herman Johannes serta Frans Seda yang menduduki berbagai jabatan menteri di era Soekarno dan Soeharto.

Ironisnya, saat ini NTT termasuk provinsi tertinggal di Indonesia yang menduduki peringkat kedua terendah dari 33 provinsi dalam hal Indeks Pembangunan Manusia. Tahun 2010 tingkat kelulusan siswa SMA dan sederajat di NTT dalam ujian nasional menduduki peringkat terendah di Indonesia.

Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 menunjukkan, angka kematian ibu (AKI) NTT 306 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan AKI nasional 228 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun angka kematian bayi (AKB) NTT 57 per 1.000 kelahiran hidup dan AKB nasional 34 per 1.000 kelahiran hidup. Selain itu, 23 persen dari 4,6 juta penduduk NTT tergolong miskin.

Minim infrastruktur

Masyarakat NTT mengeluhkan minimnya ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan laut, bandar udara, pelayanan kesehatan, air bersih, dan listrik. Hal ini menyulitkan pergerakan barang dan manusia, membuat kualitas hidup tidak kunjung meningkat, yang pada akhirnya menghambat pembangunan sumber daya manusia.

Menurut anggota Komisi Ekonomi Pembangunan DPRD Manggarai Barat, Edi Endi, hanya 10 persen dari total 212.000 kilometer jalan di Manggarai Barat yang layak digunakan. Ukuran layaknya pun karena sudah diaspal walau banyak terkelupas.

Dari pengamatan tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT, beberapa ruas jalan kabupaten di Manggarai Barat terputus oleh aliran sungai dan berlubang-lubang. Hal ini berdampak pada sulitnya pemasaran hasil pertanian dan perkebunan. Beberapa truk berukuran besar yang mengangkut hasil bumi, seperti vanili dan kopi, sulit melintasi jalan provinsi yang sempit dan berkelok. Sebagian terguling di tikungan tajam.

Menurut Edi, pemerintah daerah terkendala minimnya dana APBD untuk pembangunan infrastruktur. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Manggarai Barat hanya Rp 23 miliar dari total APBD Rp 389 miliar. Lebih dari separuh APBD untuk belanja pegawai.

Hal serupa dikemukakan Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora. Jumlah APBD Sumba Timur Rp 552 miliar dan PAD hanya Rp 15 miliar. Lebih dari separuh untuk gaji pegawai, 26 persen dialokasikan untuk pendidikan, 15 persen untuk kesehatan, 16 persen untuk pengembangan pertanian. Nyaris tak ada yang bisa disisihkan untuk pembangunan infrastruktur lain.

Padahal, untuk memasarkan hasil pertanian dan peternakan, yang menjadi andalan wilayah itu, perlu pelabuhan yang memadai agar kapal besar bisa merapat. Usulan pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat untuk memperbesar Pelabuhan Nusantara belum mendapat respons.

Sulitnya transportasi di NTT membuat warga sulit mengakses pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan hanya bisa menjangkau penduduk di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil sebulan sekali. Seperti dituturkan dr Elvira, Kepala Puskesmas Melolo, Sumba Timur. Untuk mencapai Dusun Karobu, Desa Ngaru Kanoru, atau Dusun Indirara, Desa Watukunda, dokter dan paramedis harus menyusur jalan setapak berliku yang diapit tebing dan jurang, mendaki lereng bukit terjal, serta menyeberang sungai.

Penduduk Desa Demondei, Kecamatan Wotanulumado, Pulau Adonara, harus menempuh jalan panjang dengan berbagai moda transportasi guna mencapai RSUD di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Yaitu, berjalan kaki ke Desa Mewet di pesisir pantai, disambung naik ojek sepeda motor menuju Dermaga Waiwerang, lalu menyeberang selama dua jam lebih dengan kapal motor menuju Larantuka. Tak jarang ibu yang mengalami kesulitan persalinan akhirnya meninggal dalam perjalanan karena kehabisan darah.

Kepala Dinas Kesehatan NTT Stefanus Bria mengatakan, tenaga kesehatan di NTT sangat terbatas. Jumlah tenaga dokter dalam tiga tahun terakhir terus berkurang, dari 215 menjadi 161 dokter umum dan dokter gigi. Dokter spesialis hanya 12 orang.

Jumlah puskesmas yang tersebar di 21 kabupaten/kota di NTT hanya 113 unit, poliklinik milik swasta 187 unit, polindes 1.994 unit, dan puskesmas pembantu 1.115 unit. RSUD hanya delapan buah, satu RSUD baru akan dibangun di Pulau Adonara, Flores Timur.

Mayoritas warga NTT masih kesulitan air bersih. Mereka harus berjalan jauh untuk mengambil air karena air tanah sangat sulit didapat di tanah yang umumnya didominasi karang dan batu kapur.

Tingkat pendapatan warga relatif rendah. Nelayan tradisional memperoleh rata-rata pendapatan Rp 10.000 hingga Rp 12.000 per hari, dengan menggunakan perahu kayu.

Kondisi ini diakui Wakil Gubernur NTT Esthon L Foenay. Hal ini memacu pemerintah provinsi melakukan percepatan pembangunan untuk mengurangi kemiskinan. Misalnya, menyalurkan subsidi untuk memperkuat ekonomi masyarakat Rp 250 juta per desa lewat Program Anggur Merah (Anggaran untuk Rakyat Menuju Sejahtera). Selain itu, ada juga pembangunan sumber daya manusia lewat pendidikan dan kesehatan serta program peningkatan ekonomi kerakyatan lewat intensifikasi penanaman jagung, cendana, peternakan sapi, dan koperasi.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah dan rakyat NTT untuk membangun sumber daya manusia dan infrastruktur demi mengurai kemiskinan. (BEN/WKM/SEM/KOR/ATK)

Artikel Lainnya