Kompas/Samuel Oktora

Satu kelompok siswa SMA berlatih membuat koran dalam sesi kegiatan pelatihan jurnalistik tingkat SMA/MA di SMA Katolik Syuradikara, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Jumat (30/7). Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ketrampilan hidup siswa.

Infrastruktur

Pendidikan NTT: Bangkit dari Keterpurukan

·sekitar 4 menit baca

Pemandangan di sekolah itu memesona. Di barat berdiri Gunung Kengo, di utara menjulang Gunung Wongge, dan di bagian depan terbentang Laut Sawu. Sama sekali tidak terdengar deru suara motor, yang terdengar hanya gemuruh ombak dan desir angin.

Fasilitas sekolah itu sangat lengkap, mulai dari ruang kelas, laboratorium, sampai perpustakaan. Itulah SMP Katolik Frateran Ndao milik Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Usianya sudah 62 tahun. Sebelumnya merupakan Sekolah Lanjutan Ndao yang dibuka tahun 1925. Almarhum Frans Seda adalah salah satu alumninya.

Sekolah unggulan untuk SMA di Ende adalah SMAK Syuradikara. Didirikan 1 September 1953 oleh tarekat Katolik Serikat Sabda Allah (SVD). Semua lapangan olahraga tersedia, mulai dari basket, voli, sampai sepak bola. Aulanya berkapasitas 1.000 orang. Dengan disiplin ketat, tiap tahun sekolah ini meluluskan siswa 100 persen.

Tahun 2010, prestasi dua sekolah itu anjlok. Persentase kelulusan ujian nasional (UN) utama SMPK Frateran Ndao 32,65 persen dan SMAK Syuradikara 80 persen.

Di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, di kawasan nelayan tradisional pemburu paus, ada SD Katolik Lamalera. Sekolah ini berdiri tahun 1913.

SD Katolik Lamalera hanya memiliki lima guru pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, setidaknya perlu 10 pengajar. Kondisi itu berlangsung sejak tahun 2000-an. Meski sekolah sudah mengusulkan tambahan guru PNS ke Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO), kini belum ada tambahan tenaga.

Sebelum tahun 2005, persentase kelulusan siswa sulit mencapai 90 persen. Lalu pengelola sekolah memberlakukan kebijakan, sejak tahun ajaran baru, siswa kelas VI diberi tambahan jam belajar sore hari untuk menghadapi ujian akhir, yaitu hari Senin-Jumat pukul 16.30-17.00 dan 18.30-19.30. Guru tidak diberi tambahan honor karena keterbatasan anggaran.

Tahun 2006 dan 2007 persentase kelulusan 100 persen, tahun 2008 jadi 94,44 persen, tahun lalu 83,33 persen, dan tahun 2010 sekitar 90 persen.

Januari 2010, pengelola SD Katolik Lamalera merekrut dua guru bantu dengan honor Rp 150.000 per orang. Honor diambil dari dana bantuan operasional sekolah.

Kepala Dinas PPO Kabupaten Lembata Alex Making menjelaskan, sekolah swasta di Lembata hampir tidak mempunyai guru. Guru yang mengajar umumnya guru PNS yang diperbantukan. Kebutuhan guru SD di Lembata, untuk 178 SD negeri dan swasta, sekitar 250 orang. namun, tahun ini formasi tenaga guru hanya 48 orang. “Untuk SDK Lamalera, kami merencanakan akan menempatkan tiga guru PNS lagi,” katanya.

Terpuruk

Hasil UN 2010 menempatkan Provinsi NTT di urutan terakhir dari 33 provinsi, di bawah Gorontalo dan Maluku.

Data Dinas PPO NTT, dari total peserta UN SMA 35.185 siswa, yang lulus hanya 48,02 persen. Dari 11.616 siswa SMK, yang lulus 65,71 persen. Untuk tingkat SMP, dari 72.450 siswa yang lulus 60,13 persen.

Ironisnya, Kabupaten Ende yang dikenal sebagai kota pendidikan, persentase kelulusan untuk UN SMP dan SMA menempati urutan terakhir dari 21 kabupaten/kota di NTT.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengakui kegagalan itu. Menurut dia, banyak guru belum memenuhi kualifikasi akademik. Dari sekitar 71.000 guru di NTT, sebanyak 31.953 orang (44 persen) lulusan setingkat SMA. Guru berpendidikan D-1 1.878 orang (2,61 persen), D-2 ada 14.295 orang (19,9 persen), D-3 4.591 orang (6,39 persen), S-1 ada 18.958 orang (26,39 persen), S-2 ada 149 orang (0,20 persen), dan S-3 hanya seorang.

Pengajar dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Pastor Dr Paul Budi Kleden SVD, mengaitkan rendahnya mutu pendidikan dengan persoalan mendasar, yaitu rendahnya motivasi dan komitmen para penyelenggara pendidikan. “Penyelenggara sekolah tidak lagi dimotivasi kepentingan pembebasan masyarakat dari kebodohan dan kemiskinan, melainkan sekadar pemenuhan aturan pemerintah dan lahan bisnis,” ujarnya.

Sebagai ilustrasi, hasil penelitian Stimulant Institute (Lembaga Studi Perubahan Sosial danPengembangan Masyarakat), sebagaimana diungkapkan Direktur Stimulant Stepanus Makabombu, menunjukkan, anggaran kesehatan dan pendidikan Kabupaten Sumba Timur relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain, tetapi indeks pembangunan manusia (IPM) tahun 2005-2007 kalah dibandingkan dengan IPM Kabupaten Flores Timur dan Alor yang anggarannya lebih rendah. Menurut analisis Stimulant, hal itu akibat pengawasan di tingkat operasional kurang. Ada kecenderungan mark-up dalam pengadaan barang sehingga mutu/kualifikasi barang tidak sesuai.

Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Dinas PPO NTT Yos Mamulak, didampingi Kepala Bidang Pendidikan Menengah Herman Umbu L Sagabara dan Kepala Bidang Pendidikan Dasar George A Toelle, mengakui rendahnya motivasi guru dan motivasi belajar siswa.

Salah satu penyebabnya adalah sertifikasi guru. Guru mengalami demotivasi akibat belum disertifikasi, padahal sudah memenuhi syarat, tetapi terhambat kuota. Yang sudah disertifikasi menjadi malas karena tidak ada kendali untuk menjaga kinerjanya. Adanya UN ulang membuat siswa kurang serius karena bisa mengulang jika tidak lulus.

Upaya konkret NTT untuk menebus kegagalan, menurut Umbu Sagabara, adalah mencanangkan siaga UN. Penuntasan materi pembelajaran dilakukan pada akhir Oktober. Mulai 1 November semua sekolah tingkat SMA dikondisikan seperti UN, termasuk pengaturan ruang kelasnya. Setiap hari dilakukan penguatan, pendalaman, dan perluasan materi pembelajaran hingga UN tahun depan.

Untuk meningkatkan kualifikasi guru, menurut Wakil Gubernur NTT Esthon L Foenay dan Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora, pihaknya telah menyediakan beasiswa bagi guru.(SEM/KOR/ATK)

Artikel Lainnya