Kompas/ Kornelis Kewa Ama

Puluhan warga yang tergabung dalam gemohing, atau kelompok tani, memperbaiki pematang sawah di Desa Watanpao, Kecamatan Adonara Timur, Nusa Tenggara Timur.

Budaya

“Gemohing”: Gotong Royong ala Lamaholot

·sekitar 3 menit baca

Gemohing, yaitu gotong royong dalam masyarakat Lamaholot, Nusa Tenggara Timur, sudah berlangsung ratusan tahun. Gemohing membantu masyarakat mengatasi kesulitan pekerjaan. Mereka bekerja sambil berpantun dan menyanyikan lagu-lagu tradisional.

Di kalangan masyarakat Lamaholot yang meliputi warga Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan Pulau Alor-Pantar, gotong royong tradisional ini dilakukan untuk membersihkan ladang, menanam, memanen, dan membangun rumah. Adapun pembangunan kantor desa, sarana sanitasi, air bersih, jalan, jembatan, dan penguburan warga desa masuk kategori bakti desa.

Jumlah peserta gemohing antara 10 dan 50 orang. Satu keluarga bisa mengirim 2-5 orang. Jenis pekerjaan tergantung dari kebutuhan anggota. Kepala Desa Mewet, Kecamatan Wotanulumado, Pulau Adonara, Flores Timur, Donbosco Sili ketika bertemu dengan Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT menyatakan, gemohing mengatasi persoalan ketenagakerjaan.

“Membersihkan ladang seluas 1-2 hektar tidak mungkin dilakukan sendirian. Dengan jumlah anggota gemohing 50 orang, pekerjaan dapat dilakukan dalam sehari,” kata Sili.

Kelompok tani

Tahun 2008, gemohing dijadikan kelompok tani (poktan) dan gabungan poktan (gapoktan). Namun, bagi masyarakat Lamaholot, istilah poktan dan gapoktan jarang digunakan.

Menurut Sili, di Desa Mewet terdapat lima poktan sesuai dengan jumlah suku yang ada di desa itu, yakni Narek, Kayan, Bubun, Lagadoni, dan Ariana. Satu suku terdiri atas 10-50 keluarga. Satu keluarga wajib mengutus minimal satu anggota untuk ikut dalam gemohing.

Anggota gemohing terdiri atas pria dan wanita, rata-rata berusia di atas 15 tahun. Jika ada yang mengutus anggota berusia di bawah 15 tahun, ia akan dikirim pulang oleh ketua gemohing.

“Ini tidak terkait dengan status anak-anak, tetapi lebih menyangkut kemampuan dan keterampilan dalam bekerja. Risiko kecelakaan bagi anak-anak di bawah 15 tahun juga besar karena mereka belum terampil bekerja,” kata Sili.

Gemohing dilakukan sambil berbalas pantun, bersyair, dan menebak sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata. Setiap peserta gemohing wajib terlibat dalam berpantun, bersyair, dan menebak.

Frans Duli, Ketua Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Kecamatan Wotanulumado, Flores Timur, menuturkan, dalam gemohing, orang dewasa biasanya suka dengan syair-syair tua yang bernilai mistis magis. Kalangan anak muda lebih memilih berbalas pantun berisi tentang cinta. Adapun kegiatan menebak dilakukan semua golongan usia.

Sambil berolah kata, pekerjaan jadi terasa ringan. Pekerjaan yang membutuhkan waktu lama, pukul 07.00-16.00 Wita, pun terasa singkat.

Sering kali adu syair dalam gemohing digunakan untuk menguji kemampuan ilmu gaib. Lawan yang tidak kuat bisa pusing mendadak, sakit perut, atau tidak sengaja melukai kaki tangan saat bekerja. Biasanya pria dewasa disuguhi minuman keras tradisional guna memacu semangat bekerja dan bersyair. Adapun wanita menginang.

Ajang cari jodoh

Gemohing juga menjadi ajang mencari jodoh bagi kaum muda. Mereka bekerja sambil berbalas pantun, mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenis di gemohing. Namun, semua peristiwa yang terjadi dalam gemohing tak boleh melahirkan rasa dendam, jengkel, atau cemburu. Jika ada yang dendam dengan lawan bicara, ia akan dikenai denda uang Rp 5.000-Rp 10.000 per orang atau dikeluarkan dari keanggotaan. Mereka percaya bahwa Dewi Bumi tidak akan memberi hasil ladang yang banyak kalau terjadi kebencian, kemarahan, dan dendam di antara para pekerja.

Umumnya peserta gemohing diberi makan oleh pemilik kebun, ladang, atau sawah. Namun, kadang peserta membawa makanan sendiri untuk meringankan beban pemilik ladang.

Dosen Sejarah Universitas Nusa Cendana, Kupang, Prof Dr Elias Kopong, mengatakan, gemohing sarat dengan makna kehidupan orang Lamaholot. Ada nilai gotong royong, persaudaraan, keadilan, hak asasi manusia, dan hukum adat.

“Belum ada literatur menyebutkan kapan gemohing mulai dikembangkan. Selain di kalangan suku Lamaholot, masyarakat Sikka juga memiliki bentuk gotong royong serupa yang disebut sakoseng,” kata Kopong.

Filosofi dasar gemohing adalah manusia tidak bisa hidup sendiri. Ia membutuhkan manusia lain untuk hidup. Agar keharmonisan di antara sesama tetap terjaga, ada hukum adat yang memberi batasan tentang hal yang boleh dan yang tak boleh dilakukan dalam gemohing.

Yang pasti, gemohing adalah sebuah kekuatan sosial yang bisa dioptimalkan untuk membangun NTT, yang membutuhkan keterlibatan banyak pihak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. (KOR)

Artikel Lainnya