Dalam acara Indonesia’s Got Talent akhir November 2010, Jeremiah A Paah yang aktif memopulerkan sasando bermain bersama dua putranya, Djitron Paah dan Berto Paah, dan membuat para pemirsa terpesona.
Sasando, alat musik petik dari bambu dalam wadah terbuat dari daun lontar yang biasa digunakan warga Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, sejak abad ke-7, kini populer lagi. Artikel tentang alat musik itu mudah didapatkan di internet. Videonya pun banyak beredar dan mudah diakses di YouTube.
Selain sasando, masih banyak alat musik lain yang dimiliki NTT, misalnya sato, alat musik gesek di Flores. Alat musik ini ditemui tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT di desa kecil nan elok, Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende.
Semula sato dimainkan sebagai teman pelipur lara, ungkapan hati di kala sepi. Namun, kini alat musik tersebut berkembang menjadi hiburan musik panggung dan mengisi acara rohani.
Sato dibuat dari bila (semacam labu), dapat pula dibuat dari batok kelapa. Alat musik ini mirip biola. Dulu, dawai sato dibuat dari lema mori (serat daun lidah buaya yang dijalin dengan getah kenari). Saat ini, dawai sato kebanyakan menggunakan senar gitar nomor 1-3. Alat geseknya berbentuk busur kecil dengan tali dari bahan ijuk.
Di desa itu ada Marselinus Satu (58), seorang pemusik dan pemelihara musik sato di Waturaka. Juga ada sanggar musik tradisional bernama Mutu Lo’o (Kelimutu Kecil) tahun 2000. Sanggar musik itu beranggotakan 25 orang yang berusia 30 tahun ke atas, dipimpin oleh Robertus Nggele.
Sanggar musik ini memiliki koleksi perkusi langka, nggo dhengi atau nggo bhonga. Alat ini terdiri atas tujuh ruas kayu denu atau wae sebagai sumber nada, dirangkai dengan tali dan digantung di antara dua tiang. Ketujuh kayu itu dipukul dengan sepotong kayu kering sehingga menghasilkan bunyi.
Pada saat tim Kompas berkunjung, mereka dengan senang hati memainkannya. Untuk mengumpulkan mereka harus menunggu sekitar 30 menit karena mereka masih bekerja di kebun.
Penampilan mereka seadanya, atasan kaus dipadu sarung atau celana pendek, tanpa alas kaki. Namun, paduan musiknya terasa unik dan menenangkan perasaan. Selain sato, ada juga suling, gambus, ukulele, dan gendang.
Suling dan perkusi
Sekitar 150 kilometer ke arah barat dari Ende, di Kampung Woloroa, Desa Sarasedu, Kecamatan Golewa, dan di Desa Ratogesa, Golewa, Kabupaten Ngada, terdapat alat musik tiup dan perkusi bambu yang tak kalah unik.
Ada alat musik tiup berupa suling dua tabung yang disambung disebut foy doa. Suling ini memiliki tangga nada pentatonik. Ada juga foy pay, semacam suling sepanjang hampir 1 meter.
Perkusinya adalah tobho, musik bas dari bambu. Bentuknya seperti kentungan, bergagang sepanjang 1 meter, bagian bawahnya runcing. Ada dua jenis tobho, satu bernada dasar C (agak kecil), yang lain bernada dasar F (lebih besar). Alat musik ini dimainkan dengan cara ditumbukkan ke tanah sehingga menghasilkan bunyi dentuman bas. Ada lagi teko reko, semacam kulintang dengan tujuh tangga nada.
Di Sumba ada nggunggi, sejenis harmonika dari bambu. Nggunggi biasa dimainkan untuk mengundang arwah leluhur agar hadir pada seremoni menanam di ladang. Sampai tahun 1960-an, nggunggi juga digunakan pemuda untuk menyatakan cinta dan meminang gadis.
Alat musik lain yang hampir punah adalah jungga. Alat ini mirip biola dari kayu dilengkapi dua dawai dan dimainkan dengan cara dipetik seperti gitar. Dulu alat musik ini biasa dimainkan di pesta adat, pesta kelahiran, dan pesta panen.
Kini jungga masih ditemukan di desa-desa, tetapi sudah langka. Pada Sabtu (30/10) sekitar pukul 20.30, tim Kompas menyaksikan permainan jungga dirumah panggung di Kampung Pau, Desa Watu Hadangu, Kecamatan Melolo, Sumba Timur. Beberapa warga usia muda ikut hadir untuk mendengarkan Katuhi Baha Hamba Banju (66) memainkan jungga.
Sambil sesekali menenggak laru (tuak), Katuhi bernyanyi sambil memetik jungga dalam posisi bersila. Dawai ditekan dan dipetik, mengiringi nada suara yang meliuk tinggi diselingi nada rendah. Tidak berapa lama, seorang pemuda, Hambuku Rihidiawa (29), bergabung memainkan jungga bertali empat yang disebut jungga jawa. Bentuknya lebih mirip gitar berukuran kecil terbuat dari kayu.
Di kampung itu tinggal satu jungga. Dikhawatirkan tidak sampai satu dekade lagi alat-alat musik kekayaan Nusantara akan hilang karena tidak dipelihara dan tidak terdokumentasi. (SEM/RUL/KOR/JPE)