Pembangkit Listrik Tenaga Air

Membesarkan Harapan Lewat Bendungan Jatigede

·sekitar 5 menit baca

Oleh: Abdullah Fikri Ashri

Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, telah menenggelamkan rumah dan tanah warga. Namun, semuanya tidak membenamkan harapan mereka. Lewat pariwisata dan kolaborasi berbagai pihak, warga berupaya bangkit di kawasan yang sama.

Asep Supriadi (37) tidak akan lupa saat rumahnya di Dusun Jatigede Kulon, Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, rata dengan tanah tahun 2008. Lahan seluas 100 meter persegi itu terdampak pembangunan Bendungan Jatigede. Ia bersama lima anggota keluarganya terpaksa pergi ke dusun lain dengan kenangan mereka.

“Setelah pindah, saya sebulan enggak tidur di rumah. Perasaannya enggak betah,” katanya, saat ditemui, Minggu (26/9/2021).

Asep tak paham berapa uang pembebasan lahan yang diterima orangtuanya. Jelasnya, keluarganya dan tetangga lainnya menerima penggantian secara tunai. Itu sebabnya, lingkungan rumahnya di Dusun Jatigede Wetan dikenal sebagai Gang Tunai.

Beruntung, Asep diberikan kesempatan mengerjakan konstruksi bendungan. Akan tetapi, tidak selamanya ia akan bertugas di sana. Apalagi, ketika bendungan mulai digenangi tahun 2015. Suka tak suka, ia dan warga lainnya harus punya mata pencaharian baru.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Waduk Jatigede yang berada di Kabupaten Sumedang, Minggu (26/9/2021). Selain memiliki fungsi pokok untuk irigasi juga dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga air.

Atas kesepakatan Pemdes dan warga Cijeungjing, tanah desa dijadikan destinasi wisata. Lahan yang tadinya kebun tandus dan dipenuhi jarong, sejenis tanaman liar, itu pun dibabat. Hingga 2016, tempat itu kenal sebagai Tegal Jarong.

Dari salah satu penghasil kayu jati andalan, Jatigede kini dikenal sebagai kawasan wisata di Sumedang. Saat akhir pekan, warga yang naik sepeda, motor, mobil, hingga kereta wisata berbondong-bondong ke waduk. Hampir seluruh jalan juga sudah diaspal, bahkan dibeton.

Akan tetapi, Asep mengakui, tidak mudah mengajak warga mengembangkan pariwisata. “Kata orang-orang yang lebih tua, kita enggak bisa dagang. Kita ini petani. Padahal, kalau sadar wisata, duit datang ke wilayah kita. Enggak mesti ke luar daerah lagi,” ujarnya.

Ditemani warga lainnya, Asep tetap menata destinasi yang berjarak sekitar 16 kilometer dari perempatan Kadipaten, Majalengka itu. Warung dan gazebo dibangun. Dari lokasi itu, pengunjung bisa menikmati hamparan Waduk Jatigede.

Tegal Jarong kian berkembang berkat lewat pertanggungjawaban sosial (CSR) PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangkit Jawa Bagian Tengah pada 2018. Selain memasang listrik gratis, PLN juga ikut mempercantik lahan kosong sekitar 250 meter persegi jadi taman bermain, saung, hingga kolam ikan.

Ada pula landmark dengan huruf besar biru bertuliskan Tegal Jarong yang jadi spot berfoto. Es kelapa, ikan bakar, hingga produk usaha kecil menengah warga dapat dinikmati pengunjung. Toiletnya juga bersih. Begitu pun dengan musala yang terbuat dari bekas kontainer.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Suasana destinasi wisata di Tegal Jarong, Desa Cijeunging, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (26/9/2021).

Tidak mengherankan, mobil bernomor polisi daerah Cirebon, Bandung, hingga Jakarta terparkir di sana. “Sebelum pandemi, bisa 2.000 orang yang datang hari Minggu. Sekarang, paling 500 orang,” kata Ketua Kelompok Penggerak Pariwisata Tegal Jarong ini.

Geliat ekonomi

Asep pun yakin, wisata perlahan menghidupi warga. Selain menyewakan perahu, mereka juga membangun 33 warung. “Dulu, banyak yang enggak mau jualan di sini. Sekarang, pada minta dagang. Beberapa anak muda yang menganggur juga kerja di sini,” paparnya.

Merry (41), misalnya, mampu meraup sekitar Rp 250.000 per hari saat akhir pekan dari jualan makanan dan minuman. Bahkan, sebelum pandemi, warga Cijeungjing ini bisa mengantongi Rp 500.000 saat tanggal merah.

“Dari pada di rumah enggak ada kerjaan. Mendingan di sini,” kata ibu tiga anak ini.

Akhir Mei 2020, PLN UIP JBT kembali menyalurkan CSR dengan memberikan kulkas, mesin pemasak nasi, dan blender kepada beberapa penjual. “Sebelum ada bantuan kulkas, saya jalan kaki menenteng es dari rumah sekitar 15 menit,” ungkap Ika Desiyanti (37), pedagang lainnya.

Ibu satu anak ini bercucuran keringat membawa es dengan medan jalan yang menanjak. Itu ia lakukan saban pagi selama hampir tiga tahun. Itu sebabnya, ketika ada bantuan kulkas, Ika gembira. Ia juga tak lagi harus mengangkut blender dari rumah.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Warga menunjukkan kulkas bantuan dari pertanggungjawaban sosial (CSR) PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangkit Jawa Bagian Tengah di Tegal Jarong, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (26/9/2021).

PLN turut mengembangkan produk warga setempat sebagai oleh-oleh wisatawan. Kios khusus UMKM di Tegal Jarong menyediakan aneka penganan, mulai dari stik pisang, keripik petir, opak, hingga bonggol pisang khas Jatigede.

PLN juga membantu pengemasan hingga promosi produk. Bahkan, beberapa di antaranya sudah mengantongi izin produk industri rumah tangga hingga halal. Tak ada lagi kemasan yang menggunakan stapler serta label fotokopi.

“Kami ingin ini terus berlanjut untuk memberdayakan ibu-ibu. Jadi, jangan cuma ngumpul dan gosip. Dari jualan ini, bisalah dipakai bayar listrik,” ujar Cucu Mulyati, ketua UMKM Bringka Sejahtera. Setidaknya tujuh ibu-ibu bergabung dalam UMKM itu.

Berbanding terbalik

Pemandangan berbeda tampak di Cibungur, Darmaraja, sekitar 25 kilometer dari Tegal Jarong. Jangankan wadah produk UMKM, toilet pun belum tersedia di salah satu spot wisata di sekitar Bendungan Jatigede itu. Sampah kemasan penganan bertebaran di beberapa titik.

Warga yang berdagang pun tertatih. Mereka harus berpindah-pindah mengikuti posisi air waduk. Jika surut seperti tiga pekan terakhir, mereka mendekati air. Apabila elevasi waduk meninggi, mereka pindah ke tempat lebih tinggi.

Bahkan, bangunan dari bambu beratap terpal dan spanduk bekas itu kadang diangkat ke tempat lain. Itu sebabnya, warganya menyebutnya warung ungkrah-angkrih (berpindah-pindah).

“Kalau air naik lagi, ya enggak jualan,” kata Yayah (42), pedagang setempat.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Suasana destinasi wisata di Tegal Jarong, Desa Cijeunging, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (26/9/2021).

Ibu tiga anak ini pun kehilangan penghasilan minimal Rp 100.000 per hari. Padahal, uang tersebut tidak hanya membantu suaminya yang bekerja sebagai buruh pabrik tahu, tetapi juga untuk membangun rumahnya yang ditenggelamkan air waduk.

Yayah dan keluarganya angkat kaki dari tempat tinggalnya di Desa Sukamena, Darmaraja 2015 silam. Lemari dan perabotan rumah tangga tak sempat terselamatkan karena air meninggi hanya dalam hitungan minggu. Warga mengais batu bata sisa bangunan rumah kala waduk surut. Saat ini, hanya tersisa pondasi, sisa rumah warga.

Kini, Yayah tinggal di Situraja, sekitar 30 menit dari rumahnya yang dulu. Ia bersama puluhan warga lainnya berupaya bangkit melalui wisata waduk. Akan tetapi, mereka harus berjuang sendiri. Tidak ada bantuan kulkas, apalagi aliran listrik. Blender yang ia gunakan hanya secara manual.

Potret wisata di Tegal Jarong dan Cibungur menunjukkan semangat warga memanfaatkan berkah waduk. Akan tetapi, mereka juga butuh pendampingan dan dukungan berbagai pihak. Apalagi, warga sudah berkorban meninggalkan tanahnya demi Waduk Jatigede yang mengairi sawah hingga menghasilkan listrik untuk sebagian orang Indonesia.

Artikel Lainnya