KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Co Firing

Mengurangi Batubara dengan Cangkang Kelapa Sawit

·sekitar 5 menit baca

Sebagai penghasil sawit, Kalimantan Barat memiliki potensi besar bahan baku energi baru dan terbarukan dari cangkang kelapa sawit untuk pembangkit listrik tenaga uap metode co-firing.

Oleh Emanuel Edi Saputra

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) co-firing merupakan PLTU yang mencampurkan bahan bakar batubara dan biomassa (cangkang sawit). Kadar pencampuran cangkang sawit untuk PLTU berkisar 5-10 persen. Di Kalbar terdapat dua PLTU co-firing, yaitu di Kabupaten Sintang dan Sanggau.

Manajer Unit Pelaksana Pengendali Pembangkitan (UPDK) Singkawang Ince Anjas, Selasa (12/10/2021), menuturkan, potensi bahan baku cangkang kelapa sawit untuk PLTU co-firing sangat besar di Kalbar. Pasokan cangkang sawit untuk PLTU co-firing bisa dibilang relatif aman.

Sumber energi baru dan terbarukan dari cangkang kelapa sawit bisa menjadi solusi keandalan pasokan bahan bakar PLTU Sintang dengan kapasitas 3 x 7 megawatt (MW). Di Sintang, hampir setiap tahun terjadi kemarau sekitar tiga bulan lamanya. Saat kemarau, pasokan batubara dari Jambi terkendala karena kondisi jalur pengangkutan sungai yang tak bisa dilalui kapal pengangkut batubara. Dalam kondisi seperti itu, penggunaan cangkang sawit menjadi solusi.

Berdasarkan data Kalbar Dalam Angka 2021 terkait luas dan produksi perkebunan besar menurut kabupaten/kota, luas tanaman kelapa sawit perkebunan besar Kalbar tahun 2020 sekitar 1 juta hektar (ha) dan produksi sekitar 2 juta ton. Luas tanam terluas di Kabupaten Ketapang 374.460 ha dengan produksi 952.480 ton. Selain itu, Kabupaten Sintang 128.150 ha dengan produksi 220.783 ton. Kemudian, Kabupaten Sanggau 114.404 ha dengan produksi 302.316 ton.

Berdasarkan perkiraan sementara, misalnya penggunaan cangkang kelapa sawit 5 persen dan produksi kelapa sawit di Kalbar menggunakan produksi sekitar 2 juta ton, potensi energi dari cangkang sawit diperkirakan sekitar 83,33 juta kilowatt jam (kWh) per tahun atau setara 83 gigawatt jam (GWh) per tahun. ”Hanya saja, pasar cangkang sawit tidak hanya untuk PLN,” ujar Ince.

Potensi cangkang kelapa sawit untuk energi jangka panjang di Kalbar besar. PLN perlu meyakinkan masyarakat bahwa PLN merupakan pasar terbaik cangkang sawit. Terkait pengadaan cangkang sawit, masih ada kendala dari sisi regulasi di internal PLN, yaitu Peraturan Direksi PLN No 001.P/DIR/2020 tentang harga pengadaan cangkang sawit yang ditetapkan maksimum 85 persen dari harga pengadaan batubara.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Minggu (10/10/2021). PLTU Sintang adalah salah satu lokasi yang menggunakan bahan bakar co-firing cangkang sawit.

Peraturan tersebut diusulkan direvisi. Ketika direvisi, setidaknya harga pengadaan cangkang kelapa sawit diharapkan bisa 100 persen dari harga pengadaan batubara.

Revisi tersebut diperlukan untuk keberlangsungan PLTU co-firing berbahan baku cangkang kelapa sawit dalam jangka panjang. Hal itu penting berkaca dari PLTU Sanggau yang sempat terkendala dalam pengadaan cangkang sawit. Penggunaan cangkang sawit di PLTU co-firing Sanggau sempat terhenti saat harga pengadaan cangkang sawit naik di atas 85 persen dari harga pengadaan batubara.

Namun, dalam minggu ini penggunaan cangkang kelapa sawit diprediksi beroperasi lagi karena dalam proses pengadaan cangkang kelapa sawit 440 ton yang dinegosiasikan dengan pemasok. Harganya bisa masuk dalam batas maksimum 85 persen dari harga batubara.

”Sekarang sedang dalam proses lelang cangkang sawit, maksimal dua bulan lagi sudah memulai kontrak jangka panjang, paling tidak untuk satu tahun. Untuk kontinuitas di tahun 2022, kami berharap revisi peraturan tersebut bisa segera diselesaikan,” paparnya.

Setelah kontrak jangka pendek pembelian cangkang kelapa sawit, pihaknya akan melanjutkan dengan kontrak 1 tahun agar lebih memberikan kepastian. Setelah itu, ada opsi perpanjangan. Kontrak jangka panjang dibutuhkan karena terkait kepastian harga dan pasokan. Dengan demikian, masyarakat dan petani juga mendapatkan kepastian.

Sony menuturkan, dalam pengoperasian PLTU Sintang, perbandingannya 90 persen menggunakan batubara dan 10 persen menggunakan cangkang sawit. Penggunaan batubara 13.500 ton per bulan dan cangkang sawit 1.500 ton per bulan.

Salah satu mitra pemasok merupakan pengepul yang lokasinya 7-8 km dari PLTU Sintang. Karena salah satu perusahaan pemasok tersebut tidak memiliki perkebunan, perusahaan tersebut memaksimalkan penyerapan hasil kebun warga sekitar.

”Jadi, 100 persen dari masyarakat, dengan harga jual cangkang sawit ke PLTU Sintang sebesar Rp 750 per kg,” ujar Manajer Unit Layanan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Diesel Sintang Muhamad Sony Bintang Pradana.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Petani menunjukkan cangkang sawit (bulatan hitam) di Desa Anggah Jaya, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021). Limbah cangkang sawit tersebut digunakan untuk campuran bahan bakar batu bara di PLTU Sintang.

Untuk di Sintang, harga cangkang kelapa sawit di sekitar PLTU Sintang tergolong murah dan masih di bawah batas harga pembelian bahan bakar terbarukan, yaitu 85 persen dari harga pengadaan batubara sesuai Peraturan Direksi PLN Nomor 001.P/DIR/2020. Mengacu pada peraturan tersebut, harga pengadaan cangkang kelapa sawit PLTU Sintang masih sesuai.

Saat ini kebutuhan PLTU Sintang terhadap cangkang sawit 1.500 ton per bulan. Untuk kemampuan produksi cangkang kelapa sawit hingga sekarang yang terdata berasal dari dua pabrik sebesar 5.000 ton per bulan.

PLTU Sintang ada kepastian pasokan bahan baku karena melimpah. Namun, hendaknya dipastikan pembatasan ekspor cangkang kelapa sawit jangan sampai semua dijual ke luar negeri. Kemudian, kepastian harga standar untuk jangka panjang.

Tiap-tiap pihak telah berperan selama ini. Pemerintah Kabupaten Sintang memastikan kerja sama antarpabrik cangkang kelapa sawit, pemasok, dan PLTU. Sementara pemasok berperan sebagai koordinator dari beberapa pabrik cangkang kelapa sawit di Kabupaten Sintang. Selain itu, ada jasa angkutan dari pabrik ke PLTU. Warga pemilik perkebunan menjual buah sawit kepada pabrik.

Menggantikan batubara

Metode co-firing menjamin ketahanan pasokan listrik karena pasokan cangkang kelapa sawit berada di sekitar PLTU Sintang. Hal itu meminimalkan kendala transportasi bahan bakar yang selama ini batubara didatangkan dari Jambi melalui Sungai Kapuas.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Truk membawa cangkang sawit yang digunakan untuk campuran bahan bakar batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021). Penggunaan cangkang sawit membantu meningkatkan bauran energi terbarukan.

Tahun 2018 pernah terjadi kemarau tiga bulan. Sungai Kapuas tidak bisa dilintasi sehingga pengangkutan batubara terkendala. Dengan situasi seperti itu, batubara harus ditumpuk untuk kebutuhan tiga bulan ke depan.

Namun, risikonya adalah kualitas batubara tidak bisa dijaga jika terlalu lama ditumpuk. Hal itu bisa berdampak pada daya yang dihasilkan bisa turun. Oleh karena itu, jika ada potensi sumber energi lain, yakni cangkang kelapa sawit yang dekat dengan PLTU, sangat baik sebagai pengganti batubara.

Dengan menggunakan metode co-firing ada penghematan dari sisi pengadaan. Biaya penyediaan bahan bakar dapat dihemat 26 persen atau Rp 265 per kg. Adapun bahan bakar batubara dapat dihemat hingga 10 persen.

Gubernur Kalbar Sutarmidji, secara terpisah, menuturkan, energi baru terbarukan dari sawit potensinya besar, salah satunya dari cangkang kelapa sawit. Namun, harga cangkang kelapa sawit di luar negeri pasarannya juga bagus. ”Ini tantangan,” ujarnya.

Limbah sawit seharusnya tidak terbuang, bisa dipergunakan untuk energi baru dan terbarukan. Potensinya sangat besar, tinggal bagaimana kemauan memanfaatkannya. Potensi energi baru terbarukan bisa juga dipikirkan oleh PLN untuk menerangi desa-desa lain yang belum terjangkau jaringan listrik karena kondisi alamnya, tetapi memiliki potensi perkebunan sawit.

Artikel Lainnya