KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Co Firing

”Co-firing” di Tengah Ketergantungan Batubara di NTB

·sekitar 6 menit baca

Sistem kelistrikan di NTB masih mengandalkan batubara sebagai sumber energi primer. Hal itu terlihat dari PLTU yang masih menjadi tulang punggung kelistrikan di provinsi tersebut.

Oleh Ismail Zakaria

Waktu menunjukkan pukul 11.30 WITA, Senin (11/10/2021), saat para operator terlihat sibuk menggerakkan alat berat seperti ekskavator dan dozer di area coal yard Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jeranjang di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, sekitar 11 kilometer barat daya Mataram, ibu kota NTB. Daya terpasang PLTU Jeranjang sebesar 3 x 25 megawatt. Alat-alat berat itu terlihat bergerak ke sana kemari. Menggali, mendorong, memindahkan timbunan batubara di bangunan menyerupai kubah setengah lingkaran tersebut.

Coal yard dengan daya tampung sekitar 60.000 ton itu berada di sisi barat PLTU Jeranjang. Fungsinya, menampung batubara untuk sementara waktu sebelum digunakan untuk pembakaran. Alat-alat berat yang ada secara bergiliran dioperasikan selama 24 jam mengingat PLTU Jeranjang juga beroperasi 24 jam.

Menurut General Manager PLN Unit Induk Wilayah NTB Lasiran, NTB memiliki dua sistem besar kelistrikan, yakni di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa-Bima. Pulau Lombok memiliki beban puncak 267,15 megawatt (MW), sementara beban puncak di Sumbawa-Bima sekitar 115,3 MW. Dengan demikian, total beban puncak NTB mencapai sekitar 380 MW. Ia mengatakan, baik Lombok maupun Sumbawa-Bima memiliki cadangan masing-masing 30 persen. Lombok sebesar 70-80 MW, sementara Sumbawa-Bima 20-25 MW.

PLTU Jeranjang, bersama PLTU LED Lombok Timur, kata Lasiran, saat ini menjadi tulang punggung yang menjaga keandalan listrik Pulau Lombok. Hal itu disebabkan kedua PLTU tersebut termasuk pembangkit pemikul beban dasar (base load) yang beroperasi 24 jam. PLTU Jeranjang sendiri menanggung 26 persen dari total kebutuhan listrik di Pulau Lombok.

Selain menjaga keandalan, tambah Lasiran, PLTU Jeranjang juga menjaga efisiensi. Saat ini, PLTU Jeranjang mengoperasikan tiga unit pembangkit dengan kebutuhan batubara sebanyak 500 ton per hari per unit. Dalam perjalanannya, PLN UIP NTB juga mulai mendorong substitusi batubara dengan mekanisme co-firing di PLTU Jeranjang.

”Pengembangan energi biomassa ini merupakan salah satu komitmen PLN untuk mengurangi emisi dan juga meningkatkan peran energi baru terbarukan. Salah satunya dengan memperbanyak mekanisme co-firing di PLTU,” ucap Lasiran.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Alat berat bekerja mempersiapkan batubara di coal yard Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (11/10/2021). Pasokan biomassa belum mampu memenuhi kebutuhan 3 persen (sekitar 45 ton) seluruh unit pembangkit PLTU Jeranjang yang berkapasitas 3×25 MW.

Supervisor Senior Pengelolaan Energi Primer PLTU Jeranjang Slamet Supriyanto menjelaskan, pengaplikasian co-firing di PLTU Jeranjang telah dimulai sejak Desember 2020. Ada tiga bahan biomassa yang semula digunakan, yakni sampah (SRF), serbuk kayu, dan sekam padi.

Menurut Slamet, meski dimulai Desember 2020, pengujian co-firing itu telah dimulai sejak 2019. Misalnya, untuk bahan sampah telah dilakukan sejumlah pengujian mulai Februari 2019, baik uji bakar, operasional (stabilitas), tes performa, maupun uji operasional pada Februari 2020.

Sebagai bentuk komitmen, PT Indonesia Power selaku pengelola PLTU Jeranjang juga menandatangani perjanjian kerja sama (MOU) dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB. Kerja sama itu terkait penelitian dan pengembangan pengelolaan sampah sebagai energi pelet Refuse Derived Fuel (RDF).

Produksi pelet berlangsung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok, Lombok Barat. TPA tersebut menjadi lokasi pembuangan terakhir sampah dari Lombok Barat dan Kota Mataram. Dalam pelaksanaannya, PT Indonesia Power menyediakan gedung, peralatan, dan pendampingan, sementara Pemerintah Provinsi NTB bertanggung jawab atas lahan, tempat, dan petugas.

Menurut Slamet, produksi pelet RDF sempat berjalan. Pelet didorong karena bentuknya menyerupai batubara. Namun, setelah dievaluasi, produksi pelet membutuhkan waktu lebih lama. ”Juga ada penurunan dari sisi kalor. Hal itu karena dalam proses pembuatan pelet, setelah dicacah ada penambahan air agar bisa terikat. Untuk menaikkan kalornya, harus dijemur lagi sehingga membutuhkan waktu lebih lama,” ujarnya.

Di samping itu, setelah dicampur dengan batubara, pelet juga akan melewati proses penghancuran dengan mesin crusher di PLTU. Dari sana diputuskan bahwa pasokan bahan co-firing sampah untuk PLTU Jeranjang berupa cacahan sampah organik.

Dalam pantauan Kompas, produksi co-firing biomassa sampah masih berjalan. Prosesnya dimulai dengan pemilihan sampah organik, terutama dedaunan yang datang ke TPA. Setelah itu, sampah-sampah tersebut dimasukkan ke dalam kotak-kotak penampung untuk dilakukan proses ”peuyeumisasi” (pencampuran bioaktivator) selama lima hari.

Kompas/Ismail Zakaria

Campuran batubara dengan sampah (SRF) ditunjukkan di area coal yard Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (11/10/2021).

Salman selaku koordinator kegiatan tersebut mengatakan, setelah lima hari, sampah organik tersebut diangkat dan dicacah menggunakan mesin pencacah hingga berukuran sekitar 1 milimeter. Pengiriman ke PLTU dilakukan setiap bulan sekali.

Terkendala pasokan

Selain sampah, pada Desember 2020, PLTU Jeranjang juga mengaplikasikan co-firing biomassa dari sekam padi dan serbuk kayu. Sekam padi merupakan lapisan paling luar dari padi atau sering disebut kulit padi. Sekam yang digunakan dalam proses co-firing di PLTU Jeranjang diambil dari salah satu pabrik penggilingan padi yang berada di Kediri, Lombok Barat. Sementara serbuk kayu berasal dari penggergajian kayu di sejumlah lokasi, terutama di Lombok Barat. Setelah melalui tahap pengeringan, serbuk kayu dikirim ke PLTU Jeranjang.

Setelah berjalan sekitar dua bulan, PLTU Jeranjang menghentikan penggunaan sekam padi. Menurut Slamet, pasokan sekam terbatas karena musiman atau menunggu musim panen padi.

Kendala utamanya, nilai kalor sekam padi juga rendah, bahkan sempat berada di bawah 2.000 kilokalori per kilogram (kkal/kg), jauh dari nilai kalor batubara yang berkisar 4.000-4.200 kkal/kg. Adapun serbuk kayu dan sekam jauh lebih baik. Serbuk kayu memiliki nilai kalor 2.000-2.700 kkal/kg. Sementara biomassa sampah hampir mendekati batubara, yakni 3.700 kkal/kg.

Menurut Slamet, berdasarkan pengujian yang dilakukan PLN Pusat Penelitian dan Pengembangan (Pustlibang) selama setahun lebih, kandungan biomassa yang bisa ditoleransi di PLTU Jeranjang berkisar 3-5 persen. Namun, setelah berjalan hampir satu tahun, pasokan biomassa, baik sampah maupun serbuk kayu, masih terbatas, bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan 3 persen, yakni sekitar 15 ton per unit pembangkit. Jika ditotal kebutuhan tiga pembangkit di PLTU Jeranjang, bahan biomassa yang harus tersedia sekitar 45 ton per hari.

Terbatasnya produksi membuat pengiriman ke PLTU Jeranjang juga tidak bisa dilakukan secara harian, melainkan per bulan. Pada September lalu, total bahan biomassa sampah yang dikirim sebanyak 5,4 ton. Produksi serbuk kayu juga terbatas. Menurut Barwan selaku pengepul serbuk kayu untuk PLTU Jeranjang, ia mampu menyediakan sekitar 300 ton serbuk kayu per bulan.

Proses pengumpulan serbuk kayu dilakukan di sekitar 100 titik pengolahan kayu. Dari lokasi, serbuk kayu kemudian dibawa ke penampungan sementara untuk proses pengeringan. Setelah pengeringan sekitar sebulan, baru dikirim ke PLTU Jeranjang.

Terkait hal itu, Lasiran mengatakan, saat ini pasokan bahan co-firing biomassa memang belum memenuhi kebutuhan 3 persen dari seluruh bahan bakar PLTU Jeranjang. Meski demikian, upaya untuk menjamin keberlanjutan pasokan terus dilakukan.

”Saat ini untuk SRF memang belum ada bisnis ke bisnis. Masih kerja sama. Namun, ke depan, sudah ada kerja sama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kerja sama itu terkait pengadaan mesin produksi SRF berkapasitas 120 ton per hari,” kata Lasiran.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Kegiatan pengolahan kayu di daerah Lembah Sempage, Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (11/10/2021). Produksi biomassa serbuk kayu dari kegiatan itu kemudian didistribuskan ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang.

Efisiensi

Slamet menjelaskan, proses co-firing biomassa di PLTU Jeranjang tetap melalui kontrol kualitas. Hal itu untuk memastikan nilai kalori biomassa cukup untuk dimasukkan ke unit pembangkit.

Pola feeding atau pengoperasiannya adalah dengan langsung mencampur batubara dengan biomassa di area coal yard dengan takaran yang telah ditentukan. Tidak ada penambahan fasilitas khusus untuk feeding biomassa tersebut. ”Sejauh ini, berdasarkan penelitian, parameter PLTU tidak terpengaruh,” kata Slamet.

Sejak mulai digunakan hingga September 2021, realisasi co-firing untuk serbuk kayu dan SRF telah mencapai 1.634,8 ton dan telah menghasilkan 1.130,166 megawatt jam (MWh). Berdasarkan catatan PLTU Jeranjang, realisasi mekanisme co-firing biomassa sampah mendorong efisiensi atau penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp 72 juta setiap bulan.

Efisiensi itu diperoleh dari perbandingan antara penggunaan 100 persen batubara dan co-firing biomassa. Di mana total biaya 100 persen batubara (harga batubara Rp 670 per kilogram berdasarkan kontrak) mencapai Rp 10,05 miliar per bulan, sedangkan total biaya co-firing dan batubara Rp 9,978 miliar. Selain efisiensi, PLTU Jeranjang juga mencatat penurunan emisi selama co-firing. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 15 Tahun 2019 tentang baku mutu emisi pembangkit listrik tenaga termal.

Artikel Lainnya