Pembangkit Listrik Tenaga Air

Sosok: Asep Supriadi, Kembali Berdaya di Jatigede

·sekitar 4 menit baca

Oleh: Abdullah Fikri Ashri

Asep Supriadi (37) harus angkat kaki dari rumah keluarganya demi proyek pembangunan Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Sempat patah arang, ia kini bangkit dan berdaya lewat pariwisata bersama anak muda setempat.

Asep baru saja pulang dari merantau di Bali ketika menyaksikan rumahnya di Dusun Jatigede Kulon, Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, rata dengan tanah, 2008. Lahan seluas 100 meter persegi itu terdampak pembangunan Bendungan Jatigede.

Bersama lima anggota keluarganya, Asep akhirnya pindah ke Dusun Jatigede Wetan. ”Setelah pindah, saya sebulan enggak tidur di rumah. Perasaannya enggak betah,” katanya saat ditemui di Cijeungjing, Minggu (26/9/2021).

Ia tak dapat mengungkapkan perasaannya kala itu. ”Saya kecil dan besar di situ. Walaupun (rumah) jelek, ’surga’ kami di sana, tapi (pembangunan bendungan) itu hasil kesepakatan. Bendungan Jatigede untuk orang banyak,” kenangnya.

Bendungan yang mampu menampung 980 juta meter kubik air itu bisa mencegah banjir di daerah hilir Sungai Cimanuk seluas 14.000 hektar. Jatigede juga memasok air bersih 3.500 liter per detik, mengairi 90.000 hektar lahan pertanian, dan menghasilkan listrik 110 megawatt.

Asep tak menimbun amarah meski lahannya tenggelam oleh pembangunan bendungan. Ia tak paham berapa uang penggantian lahan. Jelasnya, pembayarannya secara tunai. Itu sebabnya lingkungannya disebut Gang Tunai.

Beruntung, ia diminta ikut mengerjakan proyek bendungan. ”Dulu, saya ikut survei pembuatan beton di bendungan. Ternyata yang disurvei itu bekas rumah saya. Kadang, saya melamun di sana,” ujar lulusan ujian kesetaraan Paket C (SMA) itu.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Asep Supriadi (37), pegiat wisata di Tegal Jarong, saat diwawancarai di Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (26/9/2021).

Setelah proyek rampung dan waduk digenangi pada 2015, ia kembali menganggur. Bersama tokoh masyarakat desa, Asep ingin mengembangkan pariwisata di sekitar waduk. Pemerintah setempat lalu menyiapkan tanah kas desa di daerah Tegal Jarong. Di sana banyak jarong, sejenis tanaman liar.

Lahan tandus ini lalu disulap jadi tujuan wisata pada 2016. Berjarak 16 kilometer dari perempatan Kadipaten, Majalengka, Tegal Jarong menyuguhkan hamparan Waduk Jatigede. Akses jalan dibuat. Batu besar yang menghalangi jalan dipecahkan dengan palu dan cangkul. Belum ada alat berat.

Bukan infrastruktur kendala utamanya, melainkan respons warga. ”Kadang saya dimarahi orang yang lebih tua. Katanya, kita ini enggak bisa dagang. Kita petani,” ujar anak petani ini.

Ada pula tudingan yang tidak berdasar kepadanya. ”Saya sadar tidak 100 persen orang suka dengan kita. Apalagi, ada yang menuduh soal uang. Padahal, di sini kami enggak digaji,” lanjut Asep.

Gagal menggaet orang tua, Ketua Kelompok Penggerak Pariwisata Tegal Jarong ini tak menyerah. Ia mengajak anak muda mengembangkan wisata. Apalagi, tak sedikit anak muda yang putus sekolah dan menganggur.

Dilarang mabuk

”Saya ajak kerja di sini. Kalau enggak, mereka mau jadi apa? Repot juga ngurusin anak-anak. Tahu-tahu saya dipanggil ke polsek karena ada yang berantem atau mabuk,” ujar Ketua Karang Taruna Desa Cijeungjing itu.

Perlahan, ia mengenalkan pariwisata ke para anak muda itu. Ia mengajarkan mereka melukis dengan harapan bisa dimanfaatkan di destinasi wisata kelak. Mereka juga membuat lubang sampah organik sedalam 2 meter untuk menyuburkan tanaman. ”Kami juga bikin aturan. Di tempat wisata, tidak boleh minum (minuman keras). Bikin malu kalau mabuk,” kata pria berambut gondrong itu.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Suasana destinasi wisata di Tegal Jarong, Desa Cijeunging, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (26/9/2021).

Pemuda yang berpartisipasi juga diberi upah Rp 50.000 per orang per hari. Meski tidak seberapa, katanya, jumlah itu diharapkan membantu mereka.

Bahkan, ketika sepi pengunjung seperti saat pandemi Covid-19, Asep bersama para pemuda hanya bakar singkong untuk makan siang. ”Dari 2016, sudah tiga generasi anak muda yang ikut. Ada yang sudah kerja dan berdagang sendiri. Sekarang, 10 orang masih aktif,” tuturnya.

Semangat Asep dan warga lainnya mengembangkan Tegal Jarong membuahkan hasil. Pada 2018, PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangkit Jawa Bagian Tengah menyalurkan pertanggungjawaban sosialnya (CSR).

Selain memasang listrik gratis, PLN dan pengelola wisata menyulap lahan kosong 250 meter persegi menjadi taman bermain, saung, dan kolam ikan. Ada pula landmark dengan huruf besar biru bertuliskan Tegal Jarong yang menjadi tempat berfoto.

Es kelapa, ikan bakar, dan produk usaha kecil menengah milik warga dapat dinikmati pengunjung. Ada 33 warung berdiri di sana. Toiletnya juga bersih. Begitu pun dengan mushala yang terbuat dari kontainer.

Tak mengherankan, mobil bernomor polisi daerah Cirebon, Bandung, dan Jakarta terparkir di sana. ”Sebelum pandemi, bisa 2.000 orang yang datang hari Minggu. Sekarang, paling 500 orang. Dulu yang enggak peduli sekarang pada minta dagang di sini,” katanya.

Meskipun belum sempurna, upayanya merintis destinasi wisata Tegal Jarong tak sia-sia. ”Kalau sadar wisata, bukan kita yang nyari duit ke luar. Di wilayah kita juga ada. Saya capek kerja di luar,” kata Asep yang pernah mengadu nasib di Bandung dan Bali.

Mahasiswa STKIP Yasika Majalengka ini berjanji bakal memberdayakan warga untuk membangun wisata Tegal Jarong. ”Sampai kapan pun saya pengin meninggalkan sesuatu yang bermanfaat,” ucapnya.

Rino Yogfa Prayascitta, pendamping CSR PLN Unit Pelaksana Proyek Jawa Bagian Tengah 2, mengenal Asep sebagai orang yang gigih mengembangkan wisata di Jatigede. ”Dengan warga juga dekat, apalagi kalangan muda. Dia merangkul anak muda putus sekolah,” katanya.

Asep Supriadi

Lahir: Sumedang, 21 Juni 1984

Pendidikan:

– SDN Cihideung, Kadujaya, Sumedang

– SMPN Cijeungjing

– Paket C Persamaan di Bandung

– STKIP Yasika Majalengka (2021)

Profesi: Ketua Kelompok Penggerak Pariwsata Tegal Jarong.

Artikel Lainnya