Jalan aspal itu lurus dan mulus. Tak ada guncangan ketika mobil melaju kencang di atasnya. Ini berbeda dengan jalan trans-Kalimantan dari Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang penuh lubang dan bergelombang.
Warga setempat mengenal jalan itu sebagai Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Namun, Gardea Samsudin (70) mengenangnya sebagai Jalan Rusia.
Samsudin, lelaki asal Bandung, Jawa Barat, adalah sedikit saksi yang tersisa dari sepotong jalan sepanjang 34 kilometer dengan lebar 6 meter yang dibangun oleh para insinyur dari Rusia dulu The Union of Soviet Socialist Republics. Bersama puluhan warga Dayak, Samsudin dan ratusan orang Jawa lain bekerja di bawah arahan belasan insinyur Rusia. “Saya ikut menyusun batu-batu yang menjadi fondasi jalan ini,” kata Samsudin yang kini menetap di Palangkaraya.
Tak gampang mencari saksi lain pembangunan Jalan Rusia yang mau bicara. Sabran Achmad (80), tokoh masyarakat Kalteng, menuturkan, banyak pekerja yang ikut membangun Jalan Rusia itu menyembunyikan diri. Ini tidak lepas dari politik Orde Baru yang memberi stigma hitam kepada sesuatu yang berbau Orde Lama. Dan, jalan yang dibangun oleh insinyur Rusia itu memang berasal dari era Soekarno, yang dekat dengan negara Blok Timur itu tahun 1950 hingga 1960-an.
“Jalan itu dibangun menandai pembangunan Kota Palangkaraya. Sebelumnya, jalan itu berupa hutan lebat. Pohon-pohonnya besarnya segini,” kata Sabran sambil melingkarkan kedua lengannya.
Mimpi Soekarno
Pada mulanya adalah ayunan kapak Presiden Soekarno pada sebilah kayu di Pahandut, Kampung Dayak, di jantung Kalimantan, 17 Juli 1957. Sebilah kayu yang dibelah itu menandai pembangunan kota baru yang diimpikan Soekarno. Kota baru ini kemudian diberi nama Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung, yang didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.
Namun, mimpi Soekarno tak pernah jadi kenyataan. Palangkaraya saat ini hanyalah sebuah ibu kota Provinsi Kalteng yang gelap dan tak bergairah karena kekurangan pasokan listrik.
Dirancang sebagai ibu kota negara, awalnya Palangkaraya dibangun dengan konsep yang jelas. Ada pengelompokan fungsi bangunan yang memisahkan fungsi pemerintahan, komersial, dan permukiman. Tata kotanya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungai.
Sungai Kahayan menjadi pusat orientasi di sebelah utara kota. Sebuah jalan darat dibangun di pusat kota menuju arah Sampit. Jalan itulah yang kini dikenal sebagai Jalan Rusia, ruas jalan nasional terbaik sepanjang jalan trans-Kalimantan yang dilalui Tim Jelajah Kalimantan Kompas bersama Departemen Pekerjaan Umum (PU). “Kita tak pernah lagi membangun jalan sebaik Jalan Rusia yang masih mulus walau sudah puluhan tahun. Lihatlah, jalan-jalan lain di Kalimantan yang baru dibangun cepat sekali rusak,” kata Wibowo, staf Departemen PU anggota Regional Betterment Office VII Banjarmasin.
Menggali gambut
Sepotong jalan itu menjadi saksi kemahiran insinyur-insinyur Rusia membangun jalan di tanah yang sangat berbeda kondisinya dengan negara asal mereka. Sabran mengisahkan, semua gambut di tapak jalan dikeruk. “Setelah gambut dikeruk, terciptalah alur seperti sungai. Lalu, alur itu diisi batu, pasir, dan tanah padat,” kata Sabran.
Pada 17 Desember 1962, pembangunan fondasi Jalan Rusia selesai. Pada tahun-tahun berikutnya, tinggal pembuatan drainase, pengerasan, dan pengaspalan. Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya prima.
Namun, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 kilometer melewati Parenggean lalu ke Sampit dan Pangkalan Bun kemudian menghubungkan Palangkaraya dengan pelabuhan-pelabuhan sungai menuju ke Jawa ini dihentikan awal tahun 1966. Ketika itu jalan yang terbangun baru 34 km.
Pergantian kekuasaan pasca-Gerakan 30 September 1965 membuat orang-orang Rusia bergegas meninggalkan Indonesia. Semua pekerja proyek menyembunyikan diri karena tak ingin disangkutpautkan dengan Rusia, Partai Komunis Indonesia, atau bahkan Soekarno.
Cerita pembangunan Jalan Rusia itu pun tamat. Segala yang berbau Rusia dihapus, termasuk ilmu pembangunan jalan yang diajarkan insinyur mereka di ruas Palangkaraya-Tangkiling. Pembangunan jalan di Kalimantan tidak pernah lagi dimulai dengan mengeruk gambut. Namun, cukup dengan fondasi berupa kayu galam yang ditancapkan di lahan gambut itu (fondasi ini dikenal sebagai cerucuk). Pembangunan jalan menjadi lebih murah dan cepat, tetapi konstruksi jalan tidak awet.
Kepala Bidang Bina Marga Dinas PU Provinsi Kalteng Ridwan Manurung menuturkan, secara teori, ruas Palangkaraya-Tangkiling yang dibangun Rusia itu yang benar. “Saat membuka trase jalan, harus diperhatikan struktur tanah dasar, fondasi, dan lapisan penutupnya. Jika ada tanah humus, harus diganti dengan pasir, tanah padat, atau granit. Sedalam apa pun gambutnya, harus dibuang,” katanya.
Menurut Wibowo, pembangunan jalan dengan teknik Rusia itu membutuhkan biaya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik yang dilakukan dengan cerucuk, seperti yang sekarang kita buat. “Namun, umur jalan dengan teknik Rusia itu bisa lima kali lipat dari jalan kita,” katanya.
Bangsa ini sepertinya memang suka yang instan. Cepat selesai, cepat pula hancur.(RYO/FUL)