KOMPAS/EDDY HASBY

Pekerja menyiangi rumput di sekitar bibit tanaman kelapa sawit di salah satu perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (22/2).

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kerusakan

·sekitar 4 menit baca

Sebagai urat nadi ekonomi masyarakat Sumsel, Sungai Musi berperan sebagai jalur transportasi yang sangat penting. Adapun daratan di tepi Sungai Musi juga subur sebagai areal perkebunan sawit.

Di sepanjang daerah aliran Sungai Musi, misalnya, terdapat areal perkebunan sawit luas yang tersebar di banyak lokasi.

Tanaman sawit terpantau mulai ditanam di daerah Tanjung Raya, Kabupaten Empat Lawang. Areal sawit terlihat lagi di sepanjang tepian Musi di Kabupaten Musi Rawas, Musi Banyuasin, sampai ke Kabupaten Banyuasin.

Novi (22), petani sawit asal Desa Bingin Jungut, Kecamatan Muara Kelingi, Musi Rawas, mengatakan, melihat keberhasilan petani lain menanam sawit, dua tahun ini ia dan suaminya, Tarmizi (30), tertarik ikut menanam sawit.

Di desa itu memang banyak petani sawit, dengan kepemilikan lahan bervariasi, minimal 2 hektar per satu petani. “Kami diberi ayah lahan, lalu kami tanami sawit,” ujar Novi.

Hanya saja, sawit ditanam tanpa memerhatikan aspek konservasi atau pelestarian tanah. Di bawah pohon sawit, tanah terlihat bersih tanpa tanaman penutup. Pohon-pohon besar dengan akarnya yang kukuh sudah ditebang untuk ditanami sawit. Akibatnya adalah erosi besar-besaran karena akar sawit tidak mampu menahan erosi.

Pengamat dari Balai Besar Sungai Wilayah Sumatera VIII, Mawardi, menyatakan, salah satu penyebab banjir adalah pembukaan perkebunan sawit semakin membuat sungai meluap pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Tanaman sawit menurut Mawardi tidak mampu menahan air.

Saat Musi meluap pada musim hujan seperti sekarang, selain membuat tanaman sawit terendam, juga banyak sampah dari perkebunan yang masuk dan ikut terbawa aliran sungai.

Sampah itu berupa pelepah sawit, bonggol atau batang sawit yang lapuk, kayu pohon yang tua, hingga tanah. Sampah itu terbawa aliran sungai mulai dari Empat Lawang sampai dengan muara Sungai Musi di Selat Bangka, dan amat berbahaya bagi pelayaran sungai.

Taufik (35), juru mudi perahu ketek di Sungai Musi di kawasan Banyuasin, mengatakan, akibat banyaknya sampah-sampah kayu, batang- batang pohon, dan pelepah-pelepah, ia harus sangat berhati-hati menjalankan ketek. Ia harus waspada dan memerhatikan sampah tersebut mengalir ke arah mana supaya ketek tidak terjebak atau tertabrak sampah.

Jalan rusak

Sementara di darat, keberadaan perkebunan sawit juga menyumbang kerusakan jalan yang cukup parah. Kerusakan terjadi di jalan penghubung lintas tengah dan lintas timur di wilayah Sekayu, Musi Banyuasin, hingga Betung di Banyuasin.

Jalanan yang sempit banyak dilalui truk tangki pengangkut minyak sawit dan truk besar pengangkut buah sawit. Jalan yang kondisinya labil karena dibangun melintas rawa-rawa cepat rusak.

Di ruas sepanjang 60 kilometer tersebut, lubang-lubang berdiameter lebih dari 1 meter dengan kedalaman 30 sentimeter menghiasi badan jalan. Para pemilik kebun atau pengusaha sawit sepertinya memilih cara tergampang, memanfaatkan jalur jalan yang sudah ada dan tidak mau direpotkan untuk membangun jalan baru. Saat jalan rusak, lalu lintas terganggu.

Wahyudi (31), sopir mobil pribadi yang ditemui di Sekayu saat hendak menuju Palembang, mengatakan, akhir-akhir ini perjalanan menjadi tidak nyaman karena banyaknya truk sawit yang melintas.

Menurut dia, pembangunan perkebunan sawit boleh saja dilakukan. Namun, pemerintah mengharuskan pemilik perkebunan membangun jalan khusus untuk mengangkut hasil perkebunan.

Dilema sawit

Petani sawit di Kabupaten Banyuasin mengaku keuntungan dari menanam sawit lebih kecil daripada karet. Persoalan itu berawal dari rendahnya mutu bibit sawit yang ditanam petani sehingga hasil panennya jelek. Bibit sawit bermutu dikuasai perusahaan, sedangkan petani tidak mampu membeli karena mahal.

Marsan, petani sawit di Desa Lubuk Karet, Kecamatan Betung, Banyuasin, menuturkan, petani hanya bisa mendapatkan bibit sawit kualitas kaki lima yang menghasilkan buah kecil-kecil.

“Saya heran, kenapa pemerintah tidak melarang penjualan bibit sawit kualitas kaki lima,” kata Marsan.

Marsan mengatakan, harga bibit sawit yang bagus mencapai Rp 30 juta per 100.000 bibit. Harga tersebut tentu tidak terjangkau petani. Padahal, denganbibit yang bagus petani bisa mendapatkan Rp 25 juta per tahun per 3 hektar. Namun, bibit sawit yang jelek hanya menghasilkan Rp 12 juta per tahun per 3 hektar.

Oleh sebab itu, di Desa Lubuk Karet tidak banyak petani yang mau menanam sawit. Rata-rata petani menanam karet karena harganya lebih terjamin. Sawit dan karet masih produktif sampai umur 25 tahun.

Petani yang memiliki 1 hektar kebun karet bisa mengantongi uang Rp 3 juta per bulan dari hasil menyadap karet. Petani sawit dengan luas yang sama belum tentu mendapatkan hasil Rp 1 juta per bulan, dengan patokan harga tandan buah segar sawit Rp 1.350 per kilogram.

Menurut Marsan, sempitnya lahan sawit petani juga menyebabkan menanam sawit kurang menguntungkan. Petani baru untung kalau punya kebun sawit minimal 20 hektar, padahal luas kebun sawit petani 2-4 hektar saja. Di Desa Lubuk Karet cuma ada empat petani yang masih bertahan menanam sawit dengan luas total hanya 20 hektar.

Meski demikian, ungkap Marsan, keberadaan pabrik crude palm oil (minyak kelapasawit mentah) yang menampung sawit rakyat cukup lumayan mengurangi pengangguran. Berkurangnya jumlah pengangguran menyebabkan keamanan meningkat karena banyak orang bisa bekerja.

Persoalan perkebunan kelapa sawit di Sumsel bukan hanya menambah luas lahan seluas-luasnya. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumsel, pada 2010 ditargetkan luas kebun kelapa sawit di Sumsel mencapai 750.000 hektar. Luas kebun kelapa sawit pada 2009 sudah 715.784 hektar.

Namun, perluasan perkebunan kelapa sawit mesti memperhitungkan aspek lingkungan, terutama dampaknya pada daerah yang dilewati aliran Sungai Musi.

Banjir di sejumlah kabupaten yang dilewati aliran Sungai Musi menunjukkan bahwa maraknya perkebunan kelapa sawit telah ikut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. (HLN/RYO/MZW/BOY/JAN/MUL)

Artikel Lainnya