KOMPAS/EDDY HASBY

Bocah warga Desa Air Balui, Kecamatan Sanga Desa, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu (10/3), menunggu anggota tim ekspedisi Jelajah Musi 2010 yang singgah di desa mereka. Perjalanan tim ekspedisi pada etape ketiga kemarin berlangsung sekitar 80 kilometer, mulai dari Muara Kelingi, Musi Rawas, hingga Sanga Desa di Kabupaten Musi Banyuasin.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010 : Sekayu, Modernitas yang Tak Perhatikan Alam

·sekitar 5 menit baca

Sebagai ibu kota Kabupaten Musi Banyuasin, Sekayu berkembang menjadi kota yang dipenuhi sejumlah fasilitas berstandar internasional. Infrastruktur kelas dunia itu umumnya berupa fasilitas olahraga. Namun, kota ini juga masih terjebak persoalan klasik, yaitu banjir akibat meluapnya Sungai Musi.

Sekayu terletak persis di tepi Sungai Musi di Sumatera Selatan. Awal tahun ini air sungai meluap membanjiri sejumlah lahan di perkotaan. Memang, banjir belum menggenangi kawasan perkantoran ataupun sarana pendidikan dan olahraga. Itu disebabkan tempat-tempat seperti itu jauh ke arah darat dan dibangun dalam posisi ketinggian tanah yang sama dengan jalan raya.

Banjir umumnya menggenangi rumah-rumah warga dan pusat ekonomi yang posisinya tepat di tepi atau mendekati sungai. Banjir merupakan persoalan rutin pada musim hujan, terutama di sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Musi.

“Drainase yang mengalirkan luapan air sungai buruk sehingga menimbulkan banjir,” kata pemuka masyarakat Kelurahan Serasan Jaya, Sekayu, Abdul Hamid Bakar, Minggu (21/2).

Sekayu dan wilayah lain di Musi Banyuasin umumnya merupakan daerah rawa. Jumlah rawa di kabupaten itu pada 2009 mencapai 33.304 hektar untuk rawa lebak dan 39.038 untuk rawa pasang surut yang berada di daerah-daerah yang berbatasan dengan laut.

Karena merupakan rawa, daerah itu sejak dulu menjadi wilayah tampungan luapan air. Jika sebagian rawa ditutup untuk berbagai pembangunan, harus dibuat penampungan air lainnya sebagai pengganti sehingga fungsi penampungan air di wilayah tersebut tidak hilang.

Korban banjir

Menurut Hamid, masyarakat tepian sungai yang paling sering menjadi korban luapan sungai. Tidak hanya rumah mereka yang terendam, jalan juga sering kali tergenang. Kondisi ini membuat aktivitas masyarakat terganggu.

Kepala Dinas Cipta Karya dan Pengairan Musi Banyuasin Sulaiman Zakaria mengatakan, pengalihan rawa menjadi perkantoran, permukiman, atau pusat perekonomian di daerahnya terbatas akibat proses pembangunan kota yang tidak pesat. Perubahan fungsi rawa dalam jumlah besar justru terjadi dalam pembuatan sawah-sawah baru berupa sawah lebak atau sawah tadah hujan.

Sekayu merupakan daerah dengan kepadatan penduduk paling tinggi, mencapai 134,33 jiwa per kilometer persegi tahun 2009. Luas wilayah Sekayu hanya 4,92 persen dari luas wilayah Musi Banyuasin yang mencapai 14.265,96 hektar. Saat ini penduduk Sekayu tercatat 15,3 persen dari penduduk Musi Banyuasin yang 615.878 jiwa.

Pertumbuhan pusat kegiatan ekonomi di daerah kalah cepat dengan perkembangan fasilitas pendidikan dan olahraga. Posisi daerah yang cukup dekat dengan Palembang membuat Sekayu sulit berkembang sebagai pusat ekonomi baru.

Kondisi itu salah satunya terlihat dari pasar tradisional yang ada di Jalan Kapten A Rivai. Keramaian dan penataan pasar tradisional itu jauh berbeda dengan pasar tradisional di daerah-daerah yang menjadi basis produksi atau konsumsi.

Peristiwa tahunan

Untuk mengatasi banjir tahunan, menurut Sulaiman, pemerintah berencana membangun tiga kolam retensi di daerah itu. Kolam tersebut akan berfungsi mengambil alih peran rawa yang hilang dengan menjadi tempat penampungan air, baik air limbah rumah tangga maupun air hujan dan luapan Sungai Musi. Pembangunan fisik kolam retensi pertama rencananya dimulai tahun depan.

Banjir bukan persoalan baru karena sejak tahun 1960-an Musi selalu meluap saat musim hujan dan selalu dangkal saat musim kemarau.

Namun, Sulaiman mengakui, akhir-akhir ini memang terjadipeningkatan debit air yang tinggi saat musim hujan dan kekeringan yang parah saat kemarau. Dulu, saat kemarau, air sungai masih dapat dilalui perahu motor kecil. Kini, bila kemarau tiba, Sungai Musi dapat diseberangi karena ketinggian air di Sekayu hanya selutut orang dewasa.

Hamid menambahkan, jika musim hujan, lebar sungai bisa mencapai empat kali lipat dari lebar sungai saat musim kemarau. Luapan air bisa menggenangi daerah itu hingga tiga bulan atau selama musim hujan.

Jika pemerintah akhirnya memilih pembuatan kolam retensi untuk mengatasi banjir di Sekayu, menurut Sulaiman, karena metode itu dianggap paling sesuai ketimbang membangun pintu air. “Pintu air hanya dapat dibangun di mulut-mulut anak sungai dan gorong-gorong yang mengalir ke Musi. Tetapi, saat debit air Musi melimpah, air akan naik di atas pintu air sehingga percumalah keberadaan pintu air itu,” katanya.

Parahnya luapan Musi, menurut Hamid, juga disebabkan oleh semakin berkurangnya sempadan sungai.

Apa pun, Musi telah memberi kehidupan, khususnya bagi warga Musi Banyuasin. Dari Musilah daerah tersebut tumbuh dan banyak mendapat berkah.

Sumber daya air yang besar dan melimpah pada saat musim hujan seharusnya mampu dikelola agar selalu membawa kesejahteraan warga. (MZW/BOY/WAD)

Jelajah Musi 2010: Situs Candi Bingin Telantar

Situs Candi Bingin yang terletak di Desa Bingin Jungut, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, telantar. Di lokasi candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu hanya tersisa satu batu dan puing-puing batu bata yang berserakan.

Untuk mencapai lokasi tersebut, tim ekspedisi Jelajah Musi 2010, Rabu (10/3), harus melalui jalan setapak dan membelah semak belukar sepanjang lebih kurang 500 meter dari tebing Sungai Musi. Lokasi Candi Bingin itu tertutup belukar dan akar pohon.

Satu batu yang masih berada di situs itu berwarna abu-abu kehitaman dengan ukuran panjang lebih kurang 80 sentimeter, lebar 40 sentimeter, dan tinggi 40 sentimeter. Di sekeliling situs tidak dibangun pagar pembatas ataupun penanda.

Menurut Umjoni (42), warga Desa Bingin Jungut yang mendampingi tim Jelajah Musi 2010 ke lokasi itu, sekitar lima tahun lalu ada delapan arkeolog asal Belanda yang melakukan penelitian dan penggalian di sana. “Tapi, saya tak tahu apa yang dilakukan karena tidak melibatkan warga,” katanya.

Penggalian 1990

Menurut Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang, pihaknya pernah melakukan penggalian di situs itu tahun 1990. Mengenai penggalian yang dilakukan warga asing, ia sama sekali tidak mengetahui hal itu.

“Pada penggalian tahun 1990, kami menemukan satu patung arca Buddha dengan pahatan yang belum selesai. Benda itu (sekarang) disimpan di Museum Balaputradewa, Palembang, beserta sejumlah pecahan batu bata,” katanya.

Balai Arkeologi Palembang, lanjut Rangkuti, ketika itu juga menemukan fondasi batu bata. Candi Bingin diperkirakan dibangun pada abad IX-X Masehi. Kemungkinan besar, candi itu digunakan sebagai tempat pemujaan umat Buddha.

Saat ditanya kenapa situs candi tidak diberi penanda, Rangkuti mengatakan, lembaganya hanya memiliki kewenangan untuk penelitian. Pihak yang bertugas memelihara dan melestarikan situs adalah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi.

Pada perjalanan hari ketiga, tim Jelajah Musi 2010 menyaksikan sebagian besar daerah aliran Sungai (DAS) Musi sepanjang 80 kilometer dari Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, hinggaDesa Ngulak I, Kecamatan Sangadesa, Kabupaten Musi Banyuasin, didominasi perkebunan karet. Di kawasan DAS yang ditanami karet tersebut tidak terlihat terjadi erosi tebing sungai.

Kondisi itu berbeda dengan kawasan DAS yang ditanami kelapa sawit (sehari sebelumnya) yang tepi sungainya tergerus dan longsor. (ONI/HLN/MZW/MUL/JAN)

GIS: SLAMET JP, GRAFIK: SEPTA

Sumber: Litbang Kompas

Artikel Lainnya