Mata tua Mak Rusnaini (55) menatap langit mendung kelabu di tepi Sungai Musi. Jika mayoritas warga berharap hujan usai agar banjir surut, Mak Rusnaini berdoa sebaliknya. Banjir mendatangkan berkah baginya dari ikan-ikan yang terperangkap di “corong”, alat dari kayu dan bambu penjebak ikan.
Mak Rusnaini tak sendirian. Tim Jelajah Musi 2010 yang menyusuri ruas jalan dari Sekayu hingga Babat Toman di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, juga menemukan puluhan corong dipasang sejumlah warga lainnya di saluran-saluran air.
Umumnya, pembuatan corong dipercayakan kepada tukang kayu. Rangka utamanya dari kayu gelam, sedangkan dasar dan dindingnya dari jalinan bilah-bilah bambu.
Corong dipasang tepat di depan gorong-gorong atau box culvert dibangun dinas pekerjaan umum di bawah ruas jalan Sekayu-Babat Toman, yang lantas mengalirkan banjir luapan Sungai Musi. Masa banjir tak tentu. Tahun ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga dua bulan ke depan.
Corong sepanjang 25 meter milik Mak Rusnaini di Desa Karanganyar, Babat Toman, dibangun dengan biaya Rp 7 juta. Namun, dari corong itu dapat dihasilkan 20 kilogram ikan asin per hari. Dengan begitu, belum sebulan pun modal sudah kembali. Apalagi jika ada penghasilan tambahan, seperti ikan cublang yang tergolong ikan hias, terperangkap corong.
Karena corong begitu menjanjikan, Mak Rusnaini pun mengerahkan anak, menantu, dan keponakannya untuk membantu mengelola usahanya itu. Bila malam tiba, Mak Rusnaini beserta anak dan menantu lelakinya menjaga corong agar tidak diambil pencuri. Mereka rela bermalam di bak truk yang diparkir berbulan-bulan di depan corong.
“Panen” ikan biasanya dilakukan siang hari. Hari itu, misalnya, meski mentari terasa menyengat, seorang remaja laki-laki nyaris tanpa henti menyeroki ikan berukuran 6-10 sentimeter di ujung corong. Ikan-ikan kecil itu dikenal sebagai ikan seluang.
Di sisi lain, dua remaja laki-laki lain menyayati tubuh ikan, kemudian membuang bagian perutnya.
Setelah ikan bersih, empat remaja putri berparas ayu keturunan Mak Rusnaini dengan cekatan menggaraminya. Seusai digarami, ikan dijemur di atas bilah-bilah bambu di bawah terik matahari. Bila sinar matahari cukup keras, pengeringan ikan asin hanya membutuhkan waktu sehari.
Hanya Rp 100.000
Tak semua corong harus dibangun dengan dana besar. Corong milik Arrahman, warga Desa Sukamenanti, Sekayu, misalnya, dibangun hanya dengan biaya Rp 100.000 untuk pembelian jala, 2 kilogram paku seharga Rp 20.000, dan kayu yang dipungut dari hutan.
Corong itu rata-rata menghasilkan 10 kilogram ikan kecil, yang dihargai Rp 3.000 per kilogram, per hari.
Tak seperti Mak Rusnaini, Arrahman tidak berupaya menciptakan nilai tambah pada ikan-ikan tangkapannya. Ikan kecil Arrahman hanya menjadi teman nasi, seperti wader di Jawa Tengah atau beunteur di Jawa Barat.
Pembangunan corong di Musi Banyuasin banyak pula yang dilakukan di lebak lebung, lebak dalam penghasil ikan. Lebak adalah rawa dari pasang surut air sungai atau air hujan. Umumnya lebak lebung berkedalaman lebih dari 1 meter dan menggenang hingga enam bulan.
“Penangkapan ikan sudah lama dan mentradisi. Namun, untuk menghindari konflik horizontal, dilakukan lelang lebak lebung,” kata Bupati Musi Banyuasin Pahri Azhari mengisahkan budidaya ikan di daerahnya.
Obyek lelang adalah semua ikan dan biota air di lebak lebung yang dipanen dalam periode tertentu. Pemenang lelang pun berhak memanen di lebak lebung, termasuk membangun corong.
Dari proses lelang, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin meraup pendapatan asli daerah lebih dari Rp 2 miliar. “Jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan kabupaten lain, yang obyek lelang lebak lebungnya lebih banyak,” kata Pahri Azhari.
Pasal 9 Peraturan Daerah Musi Banyuasin Nomor 18 Tahun 2005 tentang lelang lebak lebung mengatur hasil lelang seluruhnya disetor ke kas pemerintah. Lalu, 70 persen di antaranya dialokasikan kembali ke pemerintahan desa, yaitu kepala desa (10 persen), Badan Perwakilan Desa (20 persen), kas desa (30 persen), serta perangkat desa dan petugas keamanan (10 persen). (HARYO DAMARDONO/HELENA F NABABAN/M ZAID WAHYUDI)
Jelajah Musi 2010 : Musi Masih Jadi Sarana Pengangkutan Kayu
Sebagian daerah aliran Sungai Musi hingga kini masih dimanfaatkan sebagai sarana pengangkutan hasil hutan, terutama kayu gelondongan. Kayu-kayu tersebut digunakan untuk membangun rumah panggung warga atau dijual ke Lampung.
Demikian salah satu pemantauan tim ekspedisi Jelajah Musi 2010 Harian Kompas ketika melalui rute Desa Ngulak I, Kecamatan Sangadesa, Kabupaten Musi Rawas, saat menuju ke Sekayu, ibu kota Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis (11/3). Pada hari keempat, tim menempuh perjalanan air sepanjang 88 kilometer.
Ada dua tempat pengepulan kayu gelondongan di Sangadesa, yakni di Desa Muara Rawas dan Desa Tanjung Raya. Di kedua lokasi itu tidak terlihat aktivitas pemotongan kayu. Namun, di tepi jalan yang berdekatan dengan lokasi pengepulan terlihat aktivitas pengangkutan papan-papan kayu.
Selain itu, tim juga melihat ada dua kapal motor yang memandu dan menarik kayu gelondongan sepanjang puluhan meter, kemarin.
Kayu-kayu tersebut panjangnya sekitar 4 meter dengan diameter 30- 80 sentimeter. Rangkaian kayu disatukan dengan tali kawat baja seukuran jari di bagian tengahnya dan dipaku pada kayu yang dipasang melintang di sisi tepi.
Menurut beberapa warga, kayu tersebut ada yang dimanfaatkan untuk pembangunan rumah dan ada juga yang dijual.
Saat dikonfirmasi melalui telepon seluler, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Sigit Wibowo mengatakan, ada mekanisme izin khusus yang dikeluarkan dinas kehutanan kabupaten/kota untuk pemanfaatan hasil hutan. “Aturan itu namanya izin pemanfaatan kayu tanah milik. Ini diberikan di lahan milik warga,” katanya. (ONI/MZW/HLN/JAN/MUL)