KOMPAS/EDDY HASBY

Kapal motor tengah menarik kayu yang dirangkai seperti rakit yang hendak dibawa ke pabrik kayu di perairan Sungai Musi, di Desa Tanjung Raya, Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis (11/3).

Liputan Kompas Sumbagsel

Jelajah Musi 2010: Jalan Rusak di Tepi Musi

·sekitar 3 menit baca

Pedal rem diinjak dalam-dalam, ban-ban berdecit meninggalkan jejak hitam pekat di atas aspal. Fauzi (35), sopir kami, mengusap wajah, setengah lega. Di hadapan kami, jalan itu ambles. Amblesan itu tepat di tepi Sungai Musi-penghubung Tanjung Raya-Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang.

Di kanan amblesan sebenarnya telah ada jembatan darurat berpenopang batang pohon kelapa, tetapi sudah doyong sehingga tak lagi dapat dilewati. Akibatnya, kami harus melaju pelan-pelan melintasi cekungan-amblesan sedalam kira-kira 2,5 meter.

Dalamnya amblesan diperburuk pengerasan jalan berupa tanah dan kerikil, akhirnya membuat kendaraan harus antre melintasi ruas itu dengan bergantian. Pergerakan manusia dan barang pun terhambat.

Faktor penyebab

Raufi (35), warga Desa Air Kandis, Kecamatan Pendopo Lintang, Kabupaten Empat Lawang, mengatakan, “Masyarakat kesal dengan jalan rusak. Angkutan panen kopi tahun ini bisa terhambat.”

Sebagian penduduk Empat Lawang memang berkebun kopi, kerusakan jalan memperlama waktu tempuh dan meningkatkan biaya transportasi.

Di ruas Tanjung Raya-Tebing Tinggi, kerusakan jalan terjadi di beberapa lokasi. Sekitar tiga kilometer dari Tanjung Raya juga ada longsoran tebing yang membuat tiga perempat jalan hampir luruh ke jurang di kiri jalan. Tak ada penanganan, seolah tak ada yang memedulikannya.

Kerusakan parah kembali terlihat di jalan penghubung lintas tengah Sumatera dengan lintas timur Sumatera, terutama di ruas yang menghubungkan kota Sekayu dengan Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin. Ruas itu kira-kira 30 kilometer.

Ditemui di sebuah warung makan di Sekayu, M Wahyu (31), seorang sopir mobil pribadi, menuding truk-truk pengangkut hasil kebun telah menghancurkan jalan-jalan. “Pemerintah harus membuat peraturan sehingga truk-truk perkebunan tak boleh lewat jalan ini. Perkebunan harus membangun sendiri jalannya,” kata Wahyu.

Pelarangan bagi truk pengangkut hasil bumi dan juga hasil tambang untuk melewati jalan umum terlebih dahulu diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.

Tak serius?

Benarkah ruas jalan di Sumatera Selatan-terutama yang terpantau Tim Jelajah Musi 2010-dirusak truk perkebunan berbeban berlebih? Dibutuhkan penelusuran mendalam, misalnya dengan alat pengukur beban yang diaplikasikan di Jembatan Suramadu, Surabaya.

Namun yang terpenting, keseriusan Dinas Pekerjaan Umum mempreservasi jalan. Sebab dari Tanjung Raya hingga Sekayu tak terlihat keseriusan itu. Rumput dan tumbuhan di tepi jalan saja dibiarkan menutupi pandangan pengemudi di tiap kelokan.

Salah satu longsoran tebing tak jauh dari Tanjung Raya dapat dikenali sebagai longsoran rotasional. Seandainya Dinas PU setempat mengendalikan daerah milik jalan dengan penanaman vegetasi, penyelesaiannya tak harus proyek! Tak harus mahal-mahal dengan beronjong.

Sebagian besar ruas jalan dari Tanjung Raya (Empat Lawang) hingga Lais (Musi Banyuasin) juga tidak dilengkapi drainase. Padahal, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak sejak tahun 2009 menyerukan pembangunan dan preservasi harus dengan drainase.

Mengapa? Sebab air merusak aspal dan tanah dasar. Drainase berfungsi membuang air pada permukaan struktur jalan, menurunkan muka air tanah, mencegah erosi, dan mengurangi tekanan hidrostatis. Artinya, jalan tanpa drainase adalah kekonyolan sebab selalu butuh pelapisan dan penguatan tanah dasar, sebuah bentuk pemborosan.

Tentu saja, selalu ada kekurangan anggaran yang seharusnya dicermati Dinas PU. Terlebih, ruas Tanjung Raya hingga Lais (kecuali ruas Tebing Tinggi-Muara Kelingi), terpantau menyusuri Musi. Ada pengaruh besar Musi terhadap jalan dalam hal luapan banjir.

Dalam buku Pedoman Drainase Jalan Raya terbitan American Association of State Highway and Transportation Officials pun terungkap bahwa perencanaan lokasi jalan dan drainase tak boleh hanya mempertimbangkan banjir tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, tapi juga 50 tahunan. Ketika Musi banjir 50 tahunan, boleh jadi jalan-jalan yang hanya satu meter di tepinya hancur.

Musi jadi korban

Masalahnya, Musi memang makin rusak. Makin keruhnya sungai mengindikasikan erosi besar-besaran pada Musi dan anak-anak sungainya. Aktivitas penambangan pasir juga mengubah dasar sungai sehingga arus berpotensi berubah-ubah arah. Efek negatifnya dapat menghancurkan dinding sungai di mana terdapat jalan raya.

Padahal jalan telah menjadi urat nadi transportasi di Sumatera Selatan, menggantikan fungsi Musi. Pergerakan orang dan pengangkutan barang, sejak berpuluh tahun lalu, tidak lagi mengandalkan Musi. Sejak tahun 1960-an, ketika jalan aspal mengular hingga ke desa-desa, Musi dipandang sebelah mata.

Pesannya kini makin jelas. Dinas PU telah turut andil mematikan Musi dengan membangun jembatan-jembatan yang rendah sehingga perahu sulit melintasinya. Maka di sini Dinas PU wajib sekuat tenaga mereservasi jaringan jalan di Sumsel. Tanpa itu, kehidupan warga akan disengsarakan oleh terhambatnya transportasi.

Artikel Lainnya