KOMPAS/EDDY HASBY

Pasar 16 Ilir yang terletak di tepian Sungai Musi, Kamis (25/2), terlihat dari atas menara Jembatan Ampera.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: Jantung Ekonomi di Tepi Musi

·sekitar 7 menit baca

“Pedagang Pasar 16 Ilir Palembang tak sekadar jualan. Dari dulu kami juga memodali pedagang kecil hingga transmigran,” kata Usman Arifin tanpa sedikit pun nada bangga. Dia melayani wawancara di tengah kesibukan menerima lusinan telepon pesanan minyak goreng.

Usman (69) adalah salah satu pedagang keturunan Tionghoa tertua di Pasar 16 Ilir. Tim Ekspedisi Sungai Musi 2010 menjumpai Usman di toko miliknya yang berdiri sejak tahun 1923. Deretan drum tua, langit-langit kayu, dan kerak minyak menguatkan kesan tua toko itu.

Usman duduk di kursi di balik meja kayu tua. Ia berkemeja lusuh dan berkacamata gagang tebal. Tinta berdebu, staples berkarat, dan buku tua daftar pesanan tergeletak di atas meja. Di toko itu, barang baru hanya telepon, kalkulator pengganti sempoa, dan kalender 2010.

Usman tak sekadar mengisahkan masa silam Pasar 16 Ilir; dari berdagang di rakit, lalu naik ke darat menempati toko buatan Hindia Belanda. Ia tak hanya memperlihatkan gudang-gudang tua, tetapi menjelaskan patronisasi pedagang 16 Ilir dengan pelanggannya.

“Dari mana modal warga di hulu, transmigran di hilir, kalau bukan dari tauke 16 Ilir? Ketika musim tanam dimulai atau butuh modal untuk bibit karet, mereka datang,” kata Usman. Biaya hidup keluarga petani pun disokong. Utang itu dibayar saat hasil bumi dibawa ke 16 Ilir.

Didi Kwartanada dalam tulisan di buku Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa karya Peter Carey menjelaskan posisi pedagang Tionghoa seperti Usman. Minoritas perantara adalah, “.mereka (yang) menduduki ceruk perantara dalam sistem ekonomi. selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang”.

Singkatnya, Pasar 16 Ilir dan para pedagangnya adalah “jantung ekonomi” Sumsel di tepi Musi. Pedagang Pasar 16 Ilir tak sekadar penjaga toko. Merekalah pengendali pertukaran barang dan pembunga uang. Tak penting menanyakan suku bunga yang dipatok, toh penetrasi kredit dari bank sangat minim.

Urat nadi

Sungai Musi, jalur utama transportasi barang dan penumpang di Sumsel, membuat Pasar 16 Ilir hidup berabad-abad. Apalagi 400 kilometer dari 640 km panjang Musi dapat dilayari. Walau mulai tahun 1970-an, kata Usman, jalan-jalan darat menuju pedalaman perlahan menggusur peran Sungai Musi, pasar itu tetap sentral.

Penyebabnya, Musi dan Pasar 16 Ilir tetap berperan bagi daerah transmigrasi seperti Makarti Jaya, Upang, dan Sungsang, serta banyak daerah transmigrasi lain yang terisolasi dari jalur darat. Melalui Sungai Musi dan anak-anak sungai, barang bergerak dengan perahu pedagang dan pembeli menuju permukiman penduduk di pedalaman. Musi menjadi urat nadi kehidupan dan pemasok segala macam barang hingga kini.

Ingin tahu gairah Pasar 16 Ilir? Berdirilah di Lorong Kebumen, maka terlihat kuli angkut hilir mudik ke jukung tanpa henti. “Pemerintah pernah berencana memindahkan Pasar 16 Ilir ke Jakabaring, Palembang. Namun, hal itu sulit direalisasikan karena 16 Ilir tak mungkin hidup tanpa Musi sebagai urat nadi distribusi barang,” kata juragan beras Pasar 16 Ilir, Ken Krismadi (55).

Namun, ada yang bergeser di Pasar 16 Ilir. Kata Ken, jika dulu mayoritas pedagang adalah keturunan Tionghoa, kini tinggal 40 persen. Dominasi diambil alih pedagang asal Padang. Anak-anak tauke 16 Ilir lebih senang tinggal di Jakarta atau di luar negeri.

Ken, dengan tawanya yang khas, tetap optimistis dengan masa depan Pasar 16 Ilir meski jaringan pasar swalayan modern sudah bercokol di Palembang. “Harusnya Musi sering dikeruk. Jika sungai dalam, perdagangan pasti lebih baik. Baiknya perdagangan menguntungkan petani dan rakyat,” katanya.

Hidup mati Musi adalah hidup mati Pasar 16 Ilir. Wajar jika Ken ingin yang terbaik bagi Musi supaya ekonomi Sumsel terus berdenyut. (HARYO DAMARDONO/M ZAID WAHYUDI/HELENA F NABABAN)

GIS: SLAMET JP, GRAFIK: SEPTA

Sumber: Litbang Kompas

Jelajah Musi 2010: Sungsang Krisis Air Bersih dan Listrik

Warga lima desa di Sungsang, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, hingga kini krisis air bersih dan listrik. Sungsang adalah pulau kecil di muara Sungai Musi.

Sabtu (65), Ketua RT 08 Lingkungan 49, Desa Sungsang III, Minggu (14/3), mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga memilih menampung air hujan saat musim hujan. Air yang tertampung dimanfaatkan untuk air masak dan mencuci. Sementara untuk mandi, warga memanfaatkan air sungai.

Camat Banyuasin II Roni Utama dan Kepala Desa Sungsang IV Husni Nisam membenarkan masalah krisis air bersih warga mereka. Bahkan, akibat sulitnya air bersih, setiap kali ada warga yang meninggal, pihak keluarga selalu kesulitan memandikan jenazah.

“Kami yang masih hidup gampang untuk mandi, tinggal kesungai. Untuk memandikan jenazah kan perlu air bersih,” kata Husni.

Berdasarkan penelusuran tim Jelajah Musi 2010 harian Kompas yang mengakhiri ekspedisi selama tujuh hari di Sungsang, Minggu, di lima desa berpenduduk lebih dari 20.000 jiwa itu sebenarnya Pemerintah Provinsi Sumsel sudah membangun instalasi air bersih. Instalasi itu untuk mengolah air sungai menjadi air bersih siap pakai.

Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Banyuasin II Sofyan Permana mengatakan, instalasi tersebut dibangun lima tahun lalu. Namun, bangunan instalasi tersebut tidak bisa dioperasikan menyusul minimnya ketersediaan listrik di Sungsang.

Alat di instalasi pengolah air tersebut membutuhkan listrik dalam jumlah besar untuk bisa beroperasi. Untuk mengatasi kebutuhan listrik, beberapa warga terpaksa membeli genset agar bisa mendapatkan pasokan listrik, khususnya pada siang hari.

Malam hari

“Listrik di daerah kami hanya mengalir pada malam hari selama 12 jam setiap hari. Keterbatasan pasokan listrik inilah yang menyebabkan instalasi pengolah air tidak bisa beroperasi. Sebenarnya bisa menggunakan pembangkit dari solar, tetapi biayanya mahal,” katanya.

Selain instalasi pengolah air yang tidak bisa digunakan, di Sungsang juga ada beberapa proyek Pemprov Sumsel yang sama sekali tidak berfungsi, antara lain pabrik es, tempat pelelangan ikan, dan Pelabuhan Perikanan Sungsang.

Pabrik es yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan es batangan bagi nelayan Sungsang sampai saat ini tidak memproduksi apa pun. Nelayan Sungsang tetap harus membeli es batangan dari pedagang es. Biasanya nelayanmembeli es batangan dari Palembang lalu dibawa ke Sungsang untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan.

Tempat pelelangan ikan dan Pelabuhan Perikanan Sungsang yang dibangun Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan juga terbengkalai.

Menurut Eman Waludi, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Sungsang IV, proyek yang menghabiskan dana miliaran rupiah itu dibangun tahun 2004.

Mamat, nelayan setempat, menyebutkan, keterbatasan listrik menyebabkan pabrik es yang berlokasi di samping tempat pelelangan tidak bisa berproduksi.

“Jika tidak ada es, pengelola tempat pelelangan tidak bisa mengawetkan ikan-ikan sehingga ikan akan cepat busuk. Selain itu, ketiadaan listrik juga membuat aktivitas di areal perkantoran tidak berjalan,” katanya. (HLN/ONI/MZW/WAD/JAN/MUL)

Jelajah Musi 2010: Mari Melepas Lelah di Kafe Anugerah

Perjalanan dengan taksi air dari Palembang ke Sungsang, pulau kecil di muara Sungai Musi, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (22/2), baru berjalan satu jam. Tiba-tiba pengemudi taksi air memelankan laju kapal kayu dan berhenti tepat di depan warung dermaga.

Dua gadis dengan cekatan menarik tambang kapal kayu yang dilemparkan oleh anak buah kapal dan mengikatnya di tunggul kayu dermaga. Pengemudi taksi air segera meloncat keluar diikuti sejumlah penumpangnya. “Kopi satu, yuk,” kata Andy (40), nakhoda perahu, kepada pelayan perempuan lain di warung persinggahan itu.

Warung itu bernama Kafe Anugerah. Sesuai namanya, letak warung itu betul-betul anugerah saking strategisnya. Warung yang berada di tepi Sungai Musi di Desa Upang, Kecamatan Makarti Jaya, Banyuasin, itu terletak persis di tengah-tengah antara Palembang dan Sungsang. Dari Palembang ke warung itu jaraknya sekitar 40 kilometer, sebaliknya dari Sungsang ke warung juga sekitar 40 km. Kafe itu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal barang dan kapal penumpang dari Palembang menuju wilayah muara. Demikian juga sebaliknya. Apabila kapal penumpang atau barang berjalan dengan kecepatan 50 km per jam, warung terapung itu bisa dicapai dalam waktu sekitar 50 menit.

Andy mengatakan, pengelola kafe itu betul-betul menangkap peluang usaha. Pengelola juga sangat paham kebutuhan orang yang tengah melakukan perjalanan. Selain menyediakan makanan berat seperti nasi uduk, kafe juga menyuguhkan makanan ringan, seperti gorengan hingga pempek, serta minuman.

Bahan bakar minyak yang dibutuhkan para pemilik perahu barang, perahu penumpang, dan perahu nelayan juga tersedia di kafe itu. Di warung itu ada kamar kecil, sarana yang amat dibutuhkan penumpang kapal saat mampir. “Setiap kali mengantar penumpang ke Sungsang dari Palembang atau sebaliknya, saya pasti mampir ke warung ini sekadar minum kopi atau istirahat,” kata Andy sambil mengunyah nasi uduknya. Menurut Andy, sebetulnya di perkampungan tepi air itu ada beberapa warung persinggahan. Namun, yang berkembang hanya dua. Salah satunya Kafe Anugerah.

Nurhayati (20), salah satu pelayan di warung itu, menuturkan, ada tiga karyawan perempuan yang bertugas memasak dan empat karyawan perempuan lain bertugas melayani kapal yang hendak mengisi minyak atau penumpang yang makan-minum.

Untuk menjaga kualitas dan keamanan masakan atau minuman, mereka menggunakan air galon. “Di sini tidak ada pipa PDAM sehingga memasak pakai air galon,” kata Nurhayati.

Untuk memenuhi persediaan solar, bensin, dan minyak tanah, pemilik warung berbelanja di Palembang. “Kadang bisa dalam satu hari dua drum minyak habis,” kata Nurhayati.

Sebagai bentuk pelayanan kepada konsumen, Nurhayati dan tiga kawannya siap menyambut kapal dan penumpang kapal dari pukul 05.30- 17.30. Dalam satu hari, sedikitnya 20 kapal barang dan penumpang singgah di warung tersebut.

Dengan kesibukan yang padat, pendapatan warung juga seimbang. “Kalau dihitung dengan pembelian minyak, pendapatan kotor warung bisa mencapai Rp 5 juta per hari,” kata Hikmah (19), pelayan lainnya.

Bagi pengguna jalur air, meski hanya sebagai tempat persinggahan, warung itu sekaligus menjadi tempat bertukar informasi apa pun, mulai dari harga barang, harga bahan pokok, hingga cuaca. Di warung itu sambil mengunyah makanan atau minum, kapal-kapal barang atau penumpang yang wira-wiri melintas di jalur sungai bisa menjadi tontonan yang menghibur. Karena itu, mari melepas lelah di Kafe Anugerah. (HELENA F NABABAN)

Artikel Lainnya