KOMPAS/EDDY HASBY

Kota Makarti Jaya, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Minggu (14/3) yang dikelilingi perkebunan kelapa. Warga di sini masih memanfaatkan transportasi air.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: “Pasang Surut” di Muara Musi…

·sekitar 4 menit baca

Hidup di muara Sungai Musi tak pernah mudah. Mati pun repot. Penguburan jenazah, misalnya, bergantung pasang surut air laut. Namun, penduduk setempat memahami pasang surut di muara Musi itu, termasuk “pasang surut” kehidupan.

Panas matahari begitu menyiksa di Desa Sungsang I,Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Aroma ikan asin dan asap dari proses pengawetan ikan menusuk indera penciuman. Memusingkan bagi yang tak terbiasa. Namun, itulah kehidupan nelayan. “Masyarakat asli Sungsang dari dulu cari ikan,” kata H Nafian (51), tokoh masyarakat Sungsang, yang ditemui akhir Februari lalu.

Ratusan perahu yang ditambatkan di tiang ribuan rumah panggung membenarkan Nafian. Ratusan perahu lainnya beserta lelaki desa itu sedang berjibaku di laut memburu ikan. Siang hari desa ini seolah hanya dihuni perempuan dan anak-anak. Sore hari, ketika nelayan pulang melaut, desa kembali ramai. Ikan-ikan segar memenuhi kotak-kotak yang diisi es.

Namun, di mata Ujang (57), Sungsang makin surut. “Penduduk Sungsang tambah ramai, rezeki dibagi-bagi,” katanya.

Penangkapan ikan berlebih adalah kata kunci seretnya pendapatan, apalagi nelayan Sungsang tak ekspansif. Daerah tangkapan terjauh hanya Selat Bangka dan Selat Karimata.

“Waktu muda, kami menangkap ikan hingga Selat Sunda. Ikan dijual di Muara Baru, Jakarta. Sekarang, mana pernah nelayan Sungsang ke Muara Baru,” kata Ujang.

Empat dari tujuh anaknya laki-laki dan dengan kapal kayu mereka melaut. Mereka pun hanya menggunakan peralatan sederhana.

Modernisasi perikanan di Sungsang hanyalah mesin tempel. Navigasi canggih belum ada, bintang di langit tetap jadi patokan.

Padahal, sejarah Sungsang sangat panjang. Sudah eksis pada abad XVII, konon desa ini mulanya permukiman pencari udang sejak zaman Sriwijaya. Sungsang pun membesar oleh pengembara Jawa yang terdampar.

Sungsang pernah jadi magnet. Orang Bugis sejak tahun 1967 sudah ikut mencari ikan. Orang Jawa membanjir sejak tahun 1970-an. Mereka berdagang es balok dan bertani, sedangkan orang Padang berjualan nasi. Tahun 1951, penduduk Sungsang 7.531 orang, naik menjadi 17.663 orang (1971) lantas menembus 100.000 orang (2009).

Namun, jumlah penduduk Sungsang tak pernah sama. Orang datang, orang merantau, walau tak sedikit yang gagal. Nelson, misalnya, telah merantau hingga Jakarta, tetapi kemudian terjerembab lagi di Sungsang.

Nafian, salah seorang nelayan, mengakui, nelayan Sungsang terbuai uang. Anak-anak mereka, kalau sudah melaut dan pegang uang, tak lagi mau sekolah. Pemuda Sungsang juga tak luput dari sisi kelam desa nelayan, seperti perjudian, minuman keras, dan ingar-bingar warung karaoke.

Makarti Jaya

Masih di perairan Sungai Musi, sekitar 30 menit perjalanan dengan perahu motor cepat dari hulu sebelum Sungsang, terdapat delta yang terdiri atas delapan desa. Bersama beberapa desa lain, delapan desa itu termasuk dalam wilayah Kecamatan Makarti Jaya. Jika Sungsang sedang “surut”, Makarti Jaya makin “pasang”. Hasil bumi di Pasar 16 Ilir, Palembang, dilayarkan dari desa ini pada malam hari. “Kelapa dari Makarti Jaya tak hanya ke Palembang, tetapi juga dipasok ke Jakarta, Bandung, dan kota lain di Jawa,” kata Sekretaris Kecamatan Makarti Jaya Adam Ibrahim.

Luas kebun kelapa di kecamatan itu tercatat 23.441 hektar, dengan produktivitas 250 butir kelapa per hektar. Setiap hari sekitar 150.000 butir kelapa kering juga dikapalkan dari Makarti Jaya. Kecamatan itu juga punya 24.622 hektar lahan padi pasang surut, produktivitasnya 3 ton per hektar. Makarti Jaya turut menyokong Sumsel sebagai lumbung pangan Indonesia.

Wayan Sani (36), warga asal Nusa Penida, Bali, mengaku sejahtera di Makarti Jaya. Ukurannya, ia sering pulang ke Bali.

Lembaran hidup di Makarti Jaya dimulai tahun 1971 ketika kanal-kanal dibuat di Delta Musi, untuk transmigran asal Jawa, Bali, dan Sulawesi. Damir (65), transmigran perintis dari Indramayu, Jawa Barat, ingat betulhari-hari itu. “Saat itu kanal masih sempit. Bila kapal masuk ke kanal-kanal, sulit juga keluar.”

Hidup pun masih sulit akibat masih terisolasinya desa itu.

Tahun 1980-an, transmigran membanjir, pemerintah memperlebar dan memperdalam kanal. Akhirnya, pedagang terapung dari Palembang dapat masuk desa itu menggunakan kapal dan transaksi perdagangan meningkat.

Jika berdiri di tepi Kanal Makarti Jaya, kini Anda akan takjub. Mulai perahu ketek, speedboat, hingga jukung hilir-mudik di sana. Pembakaran kopra berderet-deret di tepi kanal, juga para pembuat kapal.

Seberapa pun makmurnya Makarti Jaya, atau andai kata ada penduduk Sungsang yang berhasil, takkan ada mobil di dua desa itu. Mengapa? Sebab, Sungsang dan Makarti Jaya”terputus” dari jaringan jalan darat dengan “dunia luar”. Sungai Musi adalah satu-satunya jalan.

Sepeda motor dan becak sebenarnya ada, tetapi, ya, hanya ngebut di desa itu, dari ujung satu ke ujung yang lain.

Makarti Jaya dan Sungsang tak terlalu membutuhkan jalan aspal, jembatan panjang, atau mobil. Dua kawasan tanpa jalan beraspal itu butuh pasokan listrik 24 jam, tidak seperti sekarang yang hanya menyala pukul 18.00-06.00. Listrik dibutuhkan pabrik es untuk menjaga kualitas ikan, pabrik pengolahan kelapa menjadi baterai, kosmetik, serta industri pengolahan ikan.

Pemerintah ditantang merealisasikannya, tak hanya mengulangi janji dari bibir para pejabat yang silih berganti mendatangi dua desa itu. (JANNES E WAWA/HELENA F NABABAN/AGUS MULYADI)

Artikel Lainnya