KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM

Potret kompleks Kelenteng dan Pagoda Hok Tjing Bio di Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan. Pengunjung Pulau Kemaro bukan hanya warga Palembang, tetapi juga daerah lain, seperti Jambi, bahkan Jakarta dan sekitarnya.

Liputan Kompas Sumbagsel

Jelajah Musi 2010: Kemaro Tak Kehilangan Pesona

·sekitar 3 menit baca

Pesona Pulau Kemaro, yang luasnya tak lebih dari luas tiga lapangan sepak bola itu, tak pernah redup. Setiap perayaan Cap Go Meh, pulau mungil di tengah Sungai Musi tersebut dipenuhi ratusan ribu orang yang berziarah di Kelenteng Hok Tjing Bio.

Suasana Pulau Kemaro, Jumat (26/2) malam sangat ramai melebihi pasar malam. Puluhan ribu orang dari etnis Tionghoa dan etnis lain tak henti-hentinya datang dan pergi.

Ratusan pedagang makanan, minuman, peralatan sembahyang, dan barang lainnya tumpah ruah di pelataran Pagoda.

Selama beberapa tahun terakhir, hanya acara Cap Go Meh di Pulau Kemaro, yang merupakan satu-satunya acara di Palembang, yang mampu mendatangkan begitu banyak orang.

Pengunjung Pulau Kemaro bukan hanya warga Palembang, tetapi juga daerah lain, seperti Jambi, bahkan Jakarta dan sekitarnya.

Urut-urutan sembahyang di Pulau Kemaro sama seperti di kelenteng lain. Dimulai dengan warga Tionghoa sembahyang di depan Thien Kung (Tuhan Yang Maha Esa), dilanjutkan berdoa di depan Dewa Bumi, makam Siti Fatimah, Dewi Kwan Im, Dewa Langit, dan Dewi Laut.

Sembahyang diakhiri dengan membakar uang emas di tempat pembakaran khusus yang dibangun di luar kelenteng.

Sebuah pagoda sembilan tingkat setinggi 40 meter di Pulau Kemaro menambah keindahan pulau.

Pagoda tertinggi di Palembang itu bisa disaksikan dari kejauhan sambil naik perahu menyusuri Sungai Musi. Pagoda itutelah menjadi penanda Pulau Kemaro.

Khusus pada saat perayaan Cap Go Meh, panitia mengadakan pesta kembang api tepat pukul 00.00. Letusan kembang api merupakan atraksi yang paling ditunggu pengunjung Pulau Kemaro.

Ribuan pengunjung Pulau Kemaro biasanya tidak langsung pulang setelah sembahyang. Mereka duduk-duduk di halaman kelenteng sambil menggelar tikar dan bercengkerama hingga fajar menyingsing.

Ritual rutin

Anton, warga Jambi, mengatakan, setiap tahun pada saat Cap Go Meh, dia dan keluarganya selalu datang ke Pulau Kemaro untuk berdoa. Anton menyewa mobil untuk datang di Palembang. Biasanya dia bersama keluarga tinggal di Palembang selama tiga hari.

“Setelah saya punya bisnis sendiri, saya selalu sempatkan sembahyang di Pulau Kemaro. Kalau tidak sembahyang di sini, rasanya ada yang kurang,” kata Anton yang ditemui seusai membakar uang emas. Ritual sembahyang di Pulau Kemaro sudah dijalaninya sejak kecil.

Panitia menyediakan sebidang tanah di Pulau Kemaro bagi pengunjung kelenteng yang ingin menyalakan hio besar yang panjangnya hampir dua meter. Nyala api dari ratusan hio menimbulkan pemandangan yang indah dengan latar belakang Sungai Musi.

Amin, warga Palembang, berjalan keluar dari kelenteng menuju tempat pembakaran hio sambil menenteng hio besar. Dia meminta bantuan panitia untuk menancapkan hio besar tersebut ke dalam tanah, kemudian menyalakannya.

“Harapan saya sederhana saja. Semoga tahun ini lebih baik daripada tahun lalu,” kata Amin singkat tentang harapan dan doanya pada tahun Macan Emas.

Berbagai etnis

Pesona Pulau Kemaro tidak hanya menarik bagi etnis Tionghoa. Warga etnis lain juga berdatangan ke Pulau Kemaro untuk berwisata dan mencoba mencari peruntungan.

Pada saat perayaan Cap Go Meh, kambing dipotong sebagai hewan kurban.

Cerita dari mulut ke mulut menyebutkan, darah kambing yang disembelih di Pulau Kemaro bisa mendatangkan rezeki. Caranya, uang kertas diolesi dengan darah kambing, lalu uang tersebut disimpan.

Bujang, warga 5 Ulu Palembang, tampak sedang antre di depan tempat penyembelihan kambing bersama puluhan orang lainnya. Dia menggenggam dua lembar Rp 5.000 yang sudah kumal. Uang itu akan diolesi dengan darah kambing supaya rezeki lancar.

“Kata teman saya, kalau ingin dagangan laris, harus ke Pulau Kemaro saat Cap Go Meh. Lalu, uangnya diolesi darah kambing,” kata Bujang yang bekerja sebagai penjual makanan keliling.

Menurut Bujang, temannya yang sudah mengolesi uangnya dengan darah kambing di Pulau Kemaro sukses dalam berdagang. Dia ingin mengikuti jejak sahabatnya itu.

Pulau Kemaro bagaikan sebuah magnet yang menarik siapa saja. Pesonanya membuat orang ingin datang dan orang yang pernah datang ingin datang kembali.

Artikel Lainnya