PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) dan Sungai Musi laksana sejoli yang saling membutuhkan agar bisa bertahan dalam putaran roda kehidupan. Sejak berdiri pada 24 Desember 1959, lebih dari setengah abad, perusahaan pupuk tersebut terus hidup berdampingan dengan Musi.
Kiprah Pusri menjaga produksi pangan Indonesia tak perlu diragukan lagi. Namun, saat ini perusahaan itu sedang menghadapi sejumlah tantangan serius, seperti pasokan gas yang tersendat, hambatan transportasi, revitalisasi, dan desakan transformasi produk organik.
Ketidakjelasan pasokan gas berulang kali terjadi, terutama saat kontrak akan berakhir. Karena itu, Direktur Pemasaran PT Pusri Bowo Kunto Hadi beberapa pekan lalu menyatakan, Pusri terancam kolaps pada awal 2012. “Belum ada kejelasan soal gas. Padahal, kontrak dengan Pertamina selesai akhir 2011,” katanya.
Meski khawatir, Direktur Utama PT Pusri Dadang Heru Kodri optimistis masalah ini selesai sebelum kontrak habis. Pusri pun bertekad tetap berperan penting menjaga keberlangsungan produksi pangan.
Berdasarkan data PT Pusri, perusahaan itu membutuhkan 225 juta kaki kubik gas per hari. Untuk keperluan operasional, Pusri membeli gas Pertamina dengan harga yang terus naik, mulai dari 2 dollar AS per MMBTU (million metric british thermal unit) pada 2005 hingga 3,6 dollar AS per MMBTU pada 2009.
Komisi IV DPR dan Komite Kebijakan Publik menanggapi serius masalah yang dihadapi Pusri itu. Ketua Komite Kebijakan Publik Fachry Ali mengatakan, kerja sama antara produsen pupuk dan gas harus berupa kontrak dengan jangka lebih dari lima tahun.
Mempertimbangkan persaingan penggunaan dan tren harga jual yang terus meningkat, mau tidak mau Pusri harus mencari bahan baku pengganti gas alam. Dadang menuturkan, salah satu alternatif adalah batu bara. “Pengolahan batu bara ke sintesis gas dengan investasi 250 juta dollar AS merupakan salah satu jawaban dengan syarat harga gas di atas 8 dollar AS per MMBTU,” katanya.
Alternatif lain yang dapat ditempuh adalah merelokasi pabrik mendekati sumur gas. Menurut Dadang, ada rencana merelokasi Pusri ke sumur gas Senoro yang dikelola PT Pertamina dan PT Medco. Jika negosiasi berhasil, tiga pabrik akan direlokasi, yaitu Pusri II, Pusri III, dan Pusri IV.
Kendala tak hanya muncul dalam proses produksi, tetapi juga di bidang pengangkutan. Saat ini pendangkalan Sungai Musi akibat cepatnya laju sedimentasi menghambat distribusi pupuk.
Menurut Kepala Bidang Sarana Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumsel Hendrian, hasil penelitian tahun 2009 menunjukkan, rata-rata volume endapan Sungai Musi mencapai 2-3 juta meter kubik per tahun. “Endapan berkurang jika (sungai) rutin dikeruk,” katanya.
Persoalan ini juga dikeluhkan Manajer Hukum dan Humas PT Pusri Zain Ismed. Pendangkalan sungai, katanya, menghambat aktivitas kapal angkut Pusri. Salah satu dampaknya adalah penurunan kapasitas angkut. “Kapasitas angkut ideal 7,5 ton urea per kapal. Namun, saat ini hanya 6 ton. Tentu ini merugikan.”
Terkait masalah itu, Pusri harus mengalokasikan Rp 5 miliar per tahun untuk mengeruk endapan di sekitar dermaganya.
Revitalisasi
Masalah lain yang tak dapat dihindari Pusri adalah revitalisasi, terkait faktor usia pabrik dan mesin. Wakil Menteri Perindustrian Alex W Retraubun mengatakan, program nasional revitalisasi pabrik pupuk butuh dana Rp 45 triliun. “Revitalisasi penting karena terkait efisiensi dan produktivitas. Dengan revitalisasi, produksi urea nasional bisa naik dari 8,05 juta ton menjadi 10,4 juta ton,” ujarnya.
Tentang ada desakan penggunaan pupuk organik akhir-akhir ini, Bowo menyatakan, Pusri sudah siap. “Tahun ini ditargetkan 180.000 ton pupuk organik bersubsidi, 36 kali dari produksi 2009 yang 5.000 ton,” ujarnya. (BONI PRAMUDYANTO)