Warung terapung Anugerah dan empat pelayan perempuannya jujur saja menjadi magnet terkuat untuk singgah di satu desa di tepi Musi saat Tim Ekspedisi Kompas Musi 2010 menyusuri hulu sungai itu. Setelah kapal cepat sandar, kami baru tahu nama desa itu: Upang.
Ternyata, Desa Upang di Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, itu terindikasi bersejarah panjang. Berdasarkan catatan ahli epigrafi M Boechari, Desa Upang pernah dikunjungi Dapunta Hyang Sri Jayanasa saat menghulu Musi. Kisah dan rute ekspedisi Dapunta Hyang Sri Jayanasa-yang akhirnya mendirikan Palembang-tertera dalam Prasasti Kedukan Bukit yang dipahat pada 16 Juni 682 Masehi.
Dalam prasasti yang ditemukan tahun 1920 oleh seorang Belanda di Desa Kedukan Bukit di barat Kota Palembang disebutkan, sebanyak 20.000 orang bala tentara Dapunta Hyang naik perahu menyusuri Musi dari Minanga menuju Palembang, singgah terlebih dahulu di suatu tempat bernama Mukha Upang.
Kompas pun menyinggahi Desa Upang. Walau kaki sudah melangkah ke darat, kami tidak pernah benar-benar menginjak darat. Di desa ini, daratan berupa jembatan kayu penghubung ratusan rumah panggung.
Tak semua jembatan baik, ada lubang di sana-sini. Banyak pula jembatan yang goyang, padahal di bawahnya mengalir air Musi yang cukup tinggi.
Tiang jembatan itu dari pohon nibung. Kayu itu bisa bertahan lama di daerah air dan rawa.
Umar (35), yang tampak lebih tua daripada usianya, tengah memperbaiki jaring di depan rumahnya. “Jaring ini untuk menangkap ikan di belad-belad,” katanya.
Belad adalah nama setempat untuk alat perangkap ikan. Bentuknya mencolok mata. Tonggak-tonggak kayu setinggi dua meter dipancangkan di dasar sungai, lalu di tengahnya dibentangkan jaring.
Menjala ikan tak seperti memancing ikan-suatu rekreasi-meditatif. Menjala ikan adalah hidup-mati Umar. Terlebih, ditengah penurunan tangkapan ikan. “Dulu rata-rata dijala 50 kilogram ikan per hari. Tetapi, sejak tahun 2006 hanya 25 kilogram per hari,” kata Umar.
Di pantai utara Jawa dan pesisir timur Sumatera, desa-desa nelayan kini didera anjloknya tangkapan. Setidaknya, ada dua penyebab, yakni bertambahnya nelayan serta rusaknya habitat ikan dan udang. Bertambahnya lalu lintas kapal di Musi mungkin juga mengganggu ikan.
Selain itu, nelayan seperti Umar tak memperoleh hasil kerja secara bersih. Dia dan empat temannya harus berbagi hasil dengan pemilik kapal dan alat tangkap. “Kapal 12 PK itu bukan punya saya. Belad itu juga bukan punya saya. Jadi, hasil tangkapan dibagi enam, untuk lima nelayan dan satu pemilik kapal,” kata Umar.
Seperti lubuk lebung dan corong di Kabupaten Musi Banyuasin, yang pemanfaatannya didahului lelang, belad juga dilelang dengan nilai jutaan rupiah. Pemenang lelang biasanya pemilik kapal sekaligus pengepul.
Dia menunjuk rumah panggung bagus di ujung sana. “Rumah yang punya kapal,” ujar Umar singkat. Rumah panggung itu dua tingkat, kayunya dicat, dan terasnya rimbun oleh tanaman dalam pot. Dekat rumah itu, ada banyak kotak-kotak warna oranye, yang biasanya berisi ikan dan es balok. Adapun rumah Umar hanya gubuk yang bahkan tak teraliri listrik.
Bertani
Untuk meringankan beban hidupnya, Umar menanam padi. Hari-hari ini, ketika Musi meluap adalah saat terbaik menanam padi pasang surut. Setiap hektar menghasilkan lima ton. Gabahnya Rp 2.500 per kilogram.
Berdiri di batas Desa Upang, memandang ke persawahan warga, terbayang sulitnya membuka lahan. Rawa-rawa itu begitu lebat. Desa Upang memang tak seberuntung desa transmigran Sumber Rejeki yang berjarak dua kilometer. Sumber Rejeki telah dibangunkan jaringan tata air pasang surut, lengkap dengan jaringan irigasi primer, sekunder, dan tersier. (HLN/MUL/JAN)