KOMPAS/DANU KUSWORO

Suasana Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia.

Liputan Kompas Nasional

Asin dan Pulennya Keindonesiaan Kami… * Jelajah Tapal Batas

·sekitar 5 menit baca

Ernest Renan, pemikir Perancis, lebih dari seabad lalu, menggambarkan bangunan nasionalisme sebagai kepemilikan ”imaji” yang sama di dalam masyarakat terhadap masa lalu dan masa depan. Di Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, imaji sebagai bangsa Indonesia juga terefleksi dalam asinnya garam dan pulennya beras. Bagaimana bisa?

Krayan yang sebagian wilayahnya termasuk ke dalam Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) dikelilingi perbukitan dengan ketinggian sampai 3.000 meter di atas permukaan laut. Kecamatan itu berbatasan langsung dengan Ba’kelalan, desa terluar dari Negara Bagian Sarawak, Malaysia.

Warga asli Krayan yang berasal dari Suku Dayak Lundayeh banyak bergantung dari penjualan hasil bumi, utamanya beras. Warga menanam padi varietas lokal yang dinamai beras adan, dan menikmati panen setahun sekali. Rata-rata, produksi beras Krayan 5.900 ton.

Selain beras, pada sejumlah titik di Krayan ditemui sumur air asin yang dimanfaatkan warga untuk diolah menjadi garam. Sedikitnya ada dua lokasi pengolahan garam di Krayan, yakni di Desa Long Midang dan Desa Pa’Kebuan. Air sumur asin itu timbul karena air laut terjebak di dalam struktur lapisan tanah tertentu selama jutaan tahun. Sumur-sumur asin itu menyumbang sekitar 12 ton garam dalam setahun.

Baik beras adan maupun garam gunung sejak lama menjadi alat tukar bagi warga Krayan dalam sistem barter dengan pedagang dari Ba’kelalan.

”Dulu saya harus menggendong beras dari Long Bawan (Krayan) menuju Ba’kelalan untuk ditukar dengan bahan kebutuhan lainnya, seperti minyak, gula, dan bahan bangunan,” ujar Helmi Pudaaslikar (35), Camat Krayan, akhir Juli lalu.

Ia terkenang, saat itu, harus berjalan melalui hutan sejak pukul 03.00 dini hari dan tiba di Ba’kelalan sekitar pukul 09.00. Beras Krayan saat itu dihargai sangat rendah. ”Saya terluka sekali saat itu. Nilai tawar kami sangat rendah di depan mereka,” kata Helmi.

Kehilangan nilai tambah

Ketiadaan infrastruktur pendukung, seperti jalan dan pasar membuat beras adan dan garam gunung Krayan mau tidak mau hanya bisa dijual ke Malaysia. Akses yang tersedia di kawasan itu hanyalah jalur Krayan-Ba’kelalan-Lawas (Sarawak, Malaysia). Adapun jalur darat dari Krayan ke wilayah Indonesia terdekat, yakni Kabupaten Malinau, yang berjarak sekitar 130 kilometer, belum sempurna dibangun. Akses darat itu masih berupa jalan tembus yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki berhari-hari. Warga yang ingin menuju Krayan harus menggunakan jalur udara melalui pesawat perintis.

Keterbatasan akses itu merugikan petani beras dan pengolah garam, karena pengepul dari Malaysia lebih mudah datang ke Krayan. Mereka berkuasa menentukan harga. Pengepul menyadari beras adan yang dikelola secara organik di Krayan bernilai tinggi di Malaysia. Konon, beras itu juga digemari keluarga Kerajaan Brunei.

Heru Wihartopo, koordinator Penyuluh Pertanian Kabupaten Nunukan, menuturkan, beras adan diangkut pengepul Malaysia ke Sarawak. Di sana, beras-beras itu dikemas dengan merek Beras Bario. ”Beras Bario sangat terkenal dan laku di Malaysia dan Brunei, karena rasanya yang punel,” kata Heru.

Sebagai perbandingan, saat ini harga beras di Long Bawan Rp 22.000 per kilogram di tingkat petani. Setelah dikemas di Malaysia, beras itu dihargai 25 ringgit Malaysia (RM) setara dengan Rp 80.000 per kg. Pengepul untung sekitar Rp 58.000 dari harga itu.

”Sebenarnya nilai tawar petani Krayan tinggi. Beras adan dihargai berapa pun tetap laku, karena pengepul tidak akan mendapati pasokan dari luar. Stok beras adan hanya ada di Krayan,” kata Heru.

Dalam perdagangan garam, kondisi serupa juga ditemui. Kepala Desa Long Midang Jovi Supandi mengatakan, garam gunung Krayan dibeli murah dan diberi label garam Lawas (kota di Sarawak) atau Ba’kelalan. ”Orang-orang kenal garam gunung ini sebagai garam Lawas atau Ba’kelalan. Siapa pernah dengar Long Midang. Siapa kenal kami?” ujar Jovi.

Di desa penghasil garam lainnya, Pa’kebuan, garam dibeli dengan harga murah, dan bisa dijual 25 RM-40 RM per kg di Lawas, atau setara Rp 80.000-Rp 120.000. Harga jual di Lawas itu empat kali lebih tinggi daripada harga yang diterima pengolah garam Pa’kebuan.

Rendahnya daya tawar harga komoditas di negara tetangga itu juga dipotret di dalam penelitian yang dilakukan Syafuan Rozi Soebhan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2013. Menurut Rozi, selain karena akses yang terbatas, belum adanya standardisasi harga dan tata niaga yang tidak adil mengakibatkan komoditas andalan Krayan itu belum menjadi ”emas hijau” kebanggaan Indonesia. ”Bayangkan lemahnya harga beras adan, apakah pihak di Indonesia tahu dan mau tahu dengan nasib saudara sebangsanya di perbatasan,” ujar Rozi.

Padahal, beras adan yang dihasilkan warga Krayan murni organik dan rasanya enak. Dengan berbagai keuntungan itu, semestinya petani menikmati harga lebih tinggi.

Posisi tawar yang lemah atas harga komoditas Indonesia di Malaysia itu melukai harga diri warga. Dalam kondisi ideal, seharusnya komoditas unggulan dari Krayan itu menjadi duta kebanggaan Indonesia di wilayah perbatasan.

”Daerah perbatasan adalah wajah Indonesia. Komoditas ini menjadi harga diri kami, karena sebenarnya mereka (pedagang Malaysia) bergantung pada kami. Sayangnya, kami tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga,” ujar Helmi.

Selama bertahun-tahun, dalam perdagangan lintas batas negara ”tidak resmi” itu, warga Krayan kerap dirugikan. Dalam kondisi demikian, Yagung Bangau (74), mantan tetua adat Dayak Lundayeh, dengan getir mengatakan, ”Kalau negara tidak memperhatikan kami, kami juga tidak akan menganggap negara ada.”

Dalam konteks nasionalisme, beras adan dan garam gunung adalah simbol bagi orang Krayan. Dua komoditas itu merepresentasikan ”apa yang hilang di masa lalu,” dan ”apa yang akan diingat di masa depan” sebagai orang Indonesia, seperti digagas Renan tentang fondasi suatu ”nasion.” Pertanyaannya, apakah imaji yang sama itu dirasakan negara? (RINI KUSTIASIH/IRENE SARWINDANINGRUM)

KOMPAS/DANU KUSWORO

Petani menyiapkan bibit padi adan, satu-satunya jenis padi yang ditanam di Krayan.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Area persawahan di Long Bawan, Krayan, terlihat dari pesawat dari Malinau menuju Long Bawan.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Rumah pembuatan garam gunung di Long Midang, Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Proses pembuatan garam gunung. Selain dikonsumsi warga setempat, garam itu juga dijual ke Malaysia.

Artikel Lainnya