KOMPAS/DANU KUSWORO

Petunjuk layanan internet kecamatan terpasang di Long Bawan, Ibu Kota Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di Krayan, sinyal yang ada hanya untuk layanan pesan singkat dan telepon, tanpa ada kemampuan untuk mengakses layanan internet.

Liputan Kompas Nasional

Nasionalisme Ruang Digital Jadi Potensi Terpendam * Jelajah Tapal Batas

·sekitar 4 menit baca

Di perbatasan, internet sejatinya bisa dimanfaatkan untuk mendekatkan jarak, menembus keterisolasian fisik, sekaligus merawat narasi kebangsaan. Namun, potensi itu belum tergarap maksimal karena dua hal; infrastruktur internet yang belum merata dan ketiadaan strategi kebangsaan digital.

Tiara Mariska (20) tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto bersama saudara-saudaranya di bawah lambang Garuda Pancasila, pertengahan Juli lalu. Mereka berpose di sisi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw, Kota Jayapura, Papua, yang menghadap ke negeri seberang, Papua Niugini (PNG). Foto di titik itu salah satu yang terkenal di media sosial. ”Sejak sebelum Lebaran mulai banyak yang posting di media sosial foto-foto di Skouw. Bagus-bagus,” kata Mariska.

Karyawati swasta yang tinggal di Kelurahan Waena, Distrik Heram, Jayapura, tersebut datang untuk pertama kalinya ke PLBN Skouw, mengobati rasa penasaran setelah melihat foto teman-temannya yang terpampang di Instagram dan Facebook.

Orang-orang yang sudah berfoto ria di PLBN Skouw bisa langsung mengunggah gambar-gambar yang mereka hasilkan ke media sosial, asalkan menggunakan layanan Telkomsel. Itu lantaran terdapat satu menara pemancar dan penerima sinyal (BTS) Telkomsel di dekat PLBN, yang cakupannya juga bisa mencapai Pasar Skouw.

Memicu perubahan

Tentu saja, dampak internet tidak sekadar untuk melancarkan hasrat bersosial media di tapal batas. Sebagai alat internet memang punya dua sisi. Ada sisi negatif, tetapi juga ada sisi positifnya. Di berbagai belahan dunia, bahkan termasuk di Indonesia, internet sudah sering menciptakan perubahan sosial.

Tanpa mengesampingkan sisi negatifnya, internet bisa mendorong transformasi sosial, ekonomi, dan politik dengan sifatnya yang multiarah, relatif murah, dan meluruhkan sekat ruang dan waktu. Internet tidak sekadar menciptakan ruang interaksi di dunia maya, tetapi juga menyediakan informasi dan pengetahuan, tetapi juga sarana untuk berbagi teknik, praktik, sekaligus membangun nilai dan ”imajinasi”.

Berbagai sifat dan kemampuan internet itu akan sangat berguna di perbatasan yang kerap berhadapan dengan kendala jarak serta keterisolasian karena minimnya infrastruktur jalan dan sarana transportasi. Internet bisa memudahkan promosi produk unggulan di perbatasan.

Internet juga memungkinkan, dalam skala tertentu, menjebol tembok-tembok keterisolasian. Dalam konteks berbangsa, internet bisa digunakan untuk merawat rasa bangga sebagai bangsa Indonesia. Tentu dengan dua syarat; infrastruktur internet terbangun merata dan narasi kebangsaan itu tersedia dan didiseminasikan secara luas. Pertanyaannya, apakah hal itu sudah tersedia?

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, dari 79.191 desa dan kelurahan di Indonesia, masih ada 8.831 desa yang belum bersinyal. Sebagian dari desa itu berada di wilayah perbatasan.

Pelaksana Tugas Direktur Pengembangan Pita Lebar Kominfo Marvel Situmorang mengatakan, pemerintah berupaya melakukan berbagai cara untuk mengatasi hal itu, di antaranya dengan membangun infrastruktur di wilayah tanpa sinyal maupun program Palapa Ring yang menghubungkan kabupaten/kota dengan jaringan serat optik.

Di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, tidak hanya keterbatasan akses jalan yang dialami oleh warga. Warga di wilayah perbatasan dengan Malaysia itu juga kesulitan akses internet. Sambungan internet terbaik di wilayah itu bisa diperoleh saat dini hari, sekitar pukul 02.00-04.00. Di luar waktu itu, hanya telepon seluler tertentu dengan daya tangkap sinyal baik yang beruntung bisa memperoleh jaringan internet.

Johsoa Christian Agung (23) yang pulang kampung ke Krayan dari tempatnya kuliah di Yogyakarta selama liburan kuliah Agustus ini, misalnya, harus tidur larut malam demi mendapatkan kabar terbaru dari media sosial dan kampusnya.

”Buka Instagram dan Facebook hanya bisa pagi hari. Nanti waktu ada sinyal internet, pesan-pesan di Whatsapp dan BBM baru masuk semua bersamaan,” kata pemuda yang pulang kampung demi meramaikan 17 Agustus itu.

Sambungan internet yang tersedia pun hanya dari satu penyedia (provider), yakni Telkomsel. Namun, kualitas sinyal pun belum maksimal. Baru dini hari, sambungan sinyal internet terbilang lumayan. Jika beruntung, sambungan internet terbaik berada di bukit sekitar Long Umung dan Pa’kebuan, Kecamatan Krayan Timur, yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan dengan sepeda motor di jalan tanah yang rusak berat. Akibatnya, warga Krayan pun sulit memanfaatkan internet bahkan untuk hal-hal mendasar, seperti mencari informasi pekerjaan, mengirim dokumen daring untuk keperluan kantor, hingga mencari informasi pendidikan.

Strategi digital

Selain akses yang belum merata, peneliti politik kelas menengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati juga menilai pemerintah belum serius memanfaatkan potensi internet sebagai wadah merawat nasionalisme di perbatasan. Menurut dia, pemerintah belum punya desain strategi untuk membangkitkan rasa nasionalisme di dunia maya.

Lebih celaka lagi, menurut peneliti perbatasan sekaligus Wakil Dekan Fisip Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Aria Aditya Setiawan, medsos jadi lahan subur penyebarluasan kampanye disintegrasi Papua. Kelompok yang patut diwaspadai bukan sekadar Organisasi Papua Merdeka (OPM). ”OPM itu identik dengan di hutan dan pegang senjata, tidak ada apa-apanya. Sudah banyak kelompok yang muda, yang bergerak di jalan dan aktif di media sosial. Itu yang lebih berbahaya,” ujarnya.

Selain internet, televisi dan radio, juga punya peran membangkitkan nasionalisme. Warga di garis batas terluar RI dan Timor-Leste acapkali memilih menonton program dari televisi dari negara tetangga. Alasannya, konten yang ditayangkan lebih relevan dengan budaya dan bahasa orang Timor.

”Program di perbatasan harus berbeda, sesuai dengan budaya dan kebutuhannya. Jangan berikan film dengan budaya Sunda atau Betawi, tetapi dorong program lokal yang mendukung kearifan lokal,” kata Paul Manehat, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) NTT.

Usulan itu sudah berulang kali disampaikan BPPD ke pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Namun, pemerintah sebagai pembuat regulasi kerap harus berhadapan dengan kepentingan bisnis perusahaan media.

Jadi, sampai kapan potensi besar memupuk rasa kebangsaan di dunia maya itu akan dibiarkan terpendam? (REK/IRE/JOG/GAL/JAL/AGE/MKN)

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Anak-anak bermain telepon genggam di Skouw, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (15/7).

Artikel Lainnya