Liputan Kompas Nasional

Infrastruktur Saja Tak Cukup * Pembangunan Sumber Daya Manusia Dibutuhkan di Perbatasan – Jelajah Tapal Batas

·sekitar 4 menit baca

JAYAPURA, KOMPAS – Pembenahan kawasan perbatasan yang gencar dilakukan beberapa tahun terakhir memberi harapan pada perbaikan kehidupan warga setempat. Namun, jika kebijakan ini tidak segera diikuti pembangunan sumber daya manusia, warga setempat akan tetap tertinggal dan hanya menjadi penonton pertumbuhan ekonomi.

Anggaran untuk kawasan perbatasan terus naik dalam tiga tahun terakhir, yakni dari Rp 9,6 triliun pada 2015 menjadi Rp 16,5 triliun pada 2017. Namun, berdasarkan penelusuran Kompas, Senin (14/8), anggaran itu didominasi untuk pembangunan infrastruktur dan pertahanan keamanan (hankam). Pada 2015 anggaran infrastruktur dan hankam mencapai 82 persen, sedangkan sisanya terbagi untuk sosial dan ekonomi. Pada 2017, persentase itu hanya turun sedikit menjadi 79 persen.

Padahal, berdasarkan pantauan Kompas di tiga perbatasan darat Indonesia, yaitu di Skouw, Kota Jayapura (Papua); Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Malaka (Nusa Tenggara Timur); serta Krayan, Nunukan (Kalimantan Utara), menunjukkan, selain membutuhkan perbaikan infrastruktur, warga juga sangat memerlukan perbaikan sumber daya manusia untuk mengatasi ketertinggalan sosial ekonomi.

Ketertinggalan ini terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di 74 persen dari 134 kabupaten/kota di perbatasan yang lebih rendah dari rata-rata IPM nasional 2015 sebesar 69,55 (Kompas, 14/8).

Sulit bersaing

Ketertinggalan, terutama di bidang sumber daya manusia, membuat warga perbatasan sulit bersaing dengan pendatang. Hal ini, antara lain, terlihat di Skouw dan Motaain serta dalam konteks berbeda di Krayan.

Di Pasar Skouw yang berjarak 1 kilometer dari perbatasan RI-Papua Niugini (PNG) sejak tahun 2012 dibangun 200 kios yang dibagi 50 persen untuk penduduk lokal Papua dan 50 persen pedagang Nusantara. Belum sampai setahun, hampir semua kios warga lokal dibeli atau disewa pendatang.

Di Motaain, NTT, pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain yang diikuti pelebaran jalan menuju PLBN itu membuat para pemodal dari luar Belu memborong tanah-tanah warga di tepi jalan. ”Akan ada kesenjangan di masyarakat karena banyak lahan di sepanjang perbatasan dimiliki orang luar,” kata Paul Manehat, Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Daerah NTT.

Sementara itu, pedagang dari luar Belu mendominasi Pasar Turiskain di Desa Maumutin, Kabupaten Belu. Pasar yang berjarak sekitar 500 meter dari wilayah Timor-Leste ini ramai dikunjungi warga dari kedua negara di setiap hari pasar.

Fenomena warga perbatasan yang ”tergeser” pemilik modal dari luar daerah belum terlihat di Krayan. Hal ini disebabkan akses infrastruktur darat dari kawasan lain di Indonesia menuju Krayan belum tersambung. Namun, warga Krayan sangat bergantung secara ekonomi pada Malaysia akibat satu-satunya akses darat wilayah itu hanya terhubung dengan wilayah Sarawak, Malaysia.

Peneliti perbatasan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syafuan Rozi, kemarin, menuturkan, jika pemerintah terlalu berorientasi pada pembangunan infrastruktur, warga perbatasan bisa-bisa hanya akan menjadi penonton. Sementara pendatang, baik dari wilayah Indonesia maupun dari negara tetangga, bisa menjadi pemain utama karena punya modal dan sumber daya manusia yang cukup. Jika sudah begitu, sulit mengharapkan semangat nasionalisme bisa tumbuh di kalangan warga perbatasan.

Di tengah berbagai keterbatasan yang dihadapi, warga perbatasan juga masih sulit mengakses program kesejahteraan sosial, seperti Indonesia Pintar, Indonesia Sehat, beras untuk keluarga sejahtera, dan Kelompok Usaha Bersama.

Hal itu tecermin dari kesimpulan riset Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial pada 2016 di enam kecamatan perbatasan di Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, NTT, dan Papua. Minimnya aksesibilitas warga perbatasan itu, antara lain, disebabkan minimnya manajemen data, keterbatasan pengetahuan untuk mengakses program kesejahteraan sosial, minimnya infrastruktur, dan kompleksitas prosedur mengakses program itu.

Sekolah

Semangat masyarakat memperbaiki kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan kini terlihat di Krayan. Di daerah itu, sebagian lulusan sekolah menengah atas merantau ke Samarinda (Kalimantan Timur), Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya untuk kuliah. Namun, minat untuk maju lewat sektor pendidikan ini belum mampu maksimal difasilitasi negara.

Gedung SMA Negeri I Krayan, satu-satunya SMA yang mencakup Kecamatan Krayan Induk, Selatan, Timur, dan Barat, tak memadai. Belum ada aliran listrik dan air ke sekolah itu.

Perpustakaan untuk sekitar 400 siswa hanya terdiri atas empat rak kecil dengan sedikit buku usang. Guru Fisika SMA Negeri I Krayan, Beri Agung Wahyudi (29), mengatakan, karena sulitnya mendatangkan buku, sekolah menggunakan buku-buku kurikulum 2004, padahal saat ini sudah berlaku kurikulum 2013. ”Semangat guru-guru di sini luar biasa. Namun, fasilitas sangat tidak menunjang,” katanya.

Sekretaris Kecamatan Krayan Induk Dior Frames yang menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta menuturkan, minimnya fasilitas itu membuat anak-anak Krayan yang berkuliah di kota lain harus beradaptasi keras. Mereka harus bersaing dengan mahasiswa dari daerah lain yang fasilitas pendidikannya lebih baik.

Sementara itu, internet yang bisa membantu warga mengakses pengetahuan di Krayan masih terbatas. Hanya ada satu sinyal telekomunikasi yang bisa diakses warga, yakni Telkomsel. Namun, sinyal internet di area ini masih timbul-hilang. Sementara di Skouw dan Motaain, sinyal sedikit lebih baik, tetapi tetap masih ada daerah yang tak mendapat sinyal.

Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah mengatakan, pihaknya terus berupaya membantu pemenuhan komunikasi warga perbatasan lewat pembangunan base transceiver station (BTS) Merah Putih di perbatasan. ”Kami berharap hal ini bisa mendorong perbaikan di berbagai sektor,” katanya.

Direktur Eksekutif Papua Resource Center Amiruddin Alrahab mengatakan, membuka isolasi daerah perbatasan adalah penting. Namun, lebih penting lagi memastikan masyarakat lokal bisa memanfaatkan akses itu untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Warga pendatang cenderung lebih mampu memanfaatkan pembangunan infrastruktur di perbatasan guna meningkatkan kesejahteraan. Kondisi semacam itu, menurut Amir, rawan mengakibatkan kesenjangan sosial yang bisa berlanjut ke kecemburuan sosial.

Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Boy Tenjuri mengatakan, pemerintah sudah berupaya memakai pendekatan kesejahteraan, tetapi berhadapan dengan keterbatasan anggaran. (AGE/JOG/IRE/REK/JAL/GAL)

Artikel Lainnya