Liputan Kompas Nasional

Dinamika Masyarakat: Pola Migrasi Warga Perbatasan * Jelajah Tapal Batas

·sekitar 4 menit baca

Infrastruktur, lapangan kerja, serta budaya menjadi faktor pendorong dan penarik migrasi di tapal batas Indonesia. Keterbatasan akses dan infrastruktur mendorong warga Krayan, Kalimantan Utara, untuk pindah sementara atau permanen ke Sarawak, Malaysia, serta ke Malinau dan Tarakan.

Sebaliknya, ketersediaan sarana prasarana di Atambua dan Amfoang Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), serta Skouw, Jayapura, Papua, menjadi daya tarik bagi warga Timor-Leste dan Papua Niugini (PNG) untuk bermigrasi ke Indonesia meski hanya sementara.

Perpindahan penduduk yang melewati batas administrasi tersebut lekat dengan pengaruh faktor pendorong, penarik, dan penghambat. Faktor pendorong biasanya identik dengan motif ekonomi. Adapun faktor penarik ialah karena daerah tujuan dipandang punya kelengkapan infrastruktur serta bisa lebih mudah mendapatkan penghasilan yang lebih baik.

Fenomena ini juga terjadi di kawasan perbatasan Indonesia. Ketersediaan barang dagangan murah menarik minat warga perbatasan PNG ”menyeberang” ke Indonesia. Warga Wutung, PNG, saat hari pasar (Selasa, Kamis, Sabtu) berbelanja di Pasar Skouw.

Warga negara Indonesia (WNI) juga melakukan aktivitas yang sama, tapi untuk berwisata. Setelah Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw diresmikan dua bulan lalu, banyak WNI melakukan wisata di perbatasan yang menawarkan pemandangan laut dari atas bukit. Arus keluar masuk warga dua negara tersebut diizinkan tanpa paspor, dengan jangkauan radius satu kilometer.

Pola migrasi yang sama juga terbentuk di perbatasan Indonesia dan Timor-Leste. Banyak warga Timor-Leste berobat ke Amfoang Timur. Pelajarnya pun lebih memilih bersekolah ke Amfoang Timur, bahkan ke Kota Kupang untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik hingga ke perguruan tinggi.

Masyarakat di sekitar perbatasan Indonesia dan Timor-Leste juga memiliki hubungan budaya yang erat karena berasal dari suku yang sama (Tetun, Kemak, Mara). Meski dipisahkan batas negara, masih ada tradisi saling mengunjungi keluarga untuk urusan adat, seperti pernikahan, kematian, atau keperluan kekerabatan lainnya.

Migrasi keluar

Sebaliknya, di wilayah Krayan, Kalimantan Utara, keterbatasan infrastruktur dan kurangnya lapangan kerja membuat banyak warga keluar dari Krayan.

Migrasi keluar warga Dayak Lundayeh ini diindikasikan dengan semakin menurunnya laju pertumbuhan penduduk sejak 1980-an. Jumlah penduduknya pun cenderung statis. Penduduk pada 1984 sebanyak 8.920 jiwa. Sekitar 30 tahun berikutnya (2015), jumlah penduduk di Krayan yang telah menjadi Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan ini 8.780 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk tetap negatif. Pertumbuhan penduduk di Krayan pada 2010-2015: minus 1,14 persen, dan Krayan Selatan pada periode yang sama: minus 1,52 persen.

Pola migrasi keluar pada periode 1980-an tersebut dipertegas dengan hasil penelitian ”Desa-desa Perbatasan di Kalimantan Timur (Mubyarto dkk, 1990). Sesuai penelitian tersebut, penduduk Kecamatan Krayan melakukan migrasi nonpermanen ataupun permanen ke Serawak sebagai tenaga musiman. Tujuannya, mencari tambahan penghasilan untuk keperluan pendidikan anak dan membeli kebutuhan bahan pokok.

Belum ada catatan resmi jumlah penduduk Krayan yang hijrah ke Malaysia. Namun, sesuai penelitian ”Nasionalisme Anak Negeri di Perbatasan dalam Pertaruhan: Potret Puncak Gunung Es Kebangsaan di Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara (Syafuan, 2017), dari 16.000 warga Krayan, setengahnya telah bermigrasi ke Sarawak, Malaysia Timur, dan Brunei.

Penelitian Mubyarto juga menyebutkan, selain pindah ke Malaysia, sejumlah warga bermigrasi ke Tarakan dan Tanjung Selor untuk mencari kesempatan kerja atau mencari kehidupan yang lebih baik.

Pola perpindahan itu terus berlangsung sampai sekarang. Daerah tujuannya masih relatif sama, dengan alasan kedekatan geografis ataupun kultur, seperti Malinau, Samarinda, Tarakan, Nunukan, dan Tanjung Selor.

Namun, jauh sebelum itu, sebagian warga sudah mulai melakukan perpindahan. Merunut cerita lisan dari Otniel Foret (50), Kepala Desa Pulau Sapi, Mentarang, Kabupaten Malinau, pergerakan warga keluar dari Krayan sebenarnya sudah terlebih dulu dilakukan warga Desa Long Sepawang. Sekitar 1950-an, enam orang meninggalkan Desa Long Sepawang. Tujuannya, mencari lahan pertanian yang layak untuk ditanami. Ini karena Long Sepawang yang diapit perbukitan sulit untuk ditanami.

Perjalanan selama seminggu menyusuri Sungai Mentarang berakhir di lokasi pertemuan Sungai Malinau dan Mentarang. Enam warga tersebut menetap dan bertani di tempat baru tersebut. Jejak mereka diikuti warga-warga lain dan berkembang jadi permukiman baru. Kawasan itu sekarang bernama Desa Pulau Sapi yang jumlah penduduknya pada 2015 jadi 1.811 jiwa.

Faktor pendidikan

Migrasi keluar Krayan tak hanya untuk urusan ekonomi, tapi juga untuk kebutuhan pendidikan. Penelusuran arsip Kompas (28/1/2002), ketiadaan SMA di Krayan membuat seorang warga Dusun Pa’Padi, sekitar 1970-an, meneruskan pendidikan SMA di Tarakan. Perjalanan menuju Tarakan harus melalui hutan dan menyeberangi sungai karena belum ada penerbangan. Selepas SMA, warga tersebut melanjutkan pendidikan kedokteran di Jakarta.

Tahun 2015 di Krayan dan Krayan Selatan telah ada 26 SD, 12 SMP, dan 7 SMA/SMK. Namun, pelajar masih berupaya melanjutkan pendidikan tinggi di luar Krayan. Sejumlah warga yang ditemui di Krayan akhir Juli lalu mengatakan telah menempuh pendidikan sarjana di Yogyakarta, Malang, Malinau, Tarakan, Bandung, dan Samarinda. Bahkan, awal September nanti ada 10 lulusan SMA Krayan yang mendapat beasiswa untuk kuliah di China. Sampai 2016, Kecamatan Krayan mendata, ada 892 warga (8,6 persen) yang menempuh pendidikan tinggi.

Pendatang di Krayan

Migrasi keluar Krayan tetap terjadi setiap tahun. Namun, lima tahun terakhir ini sejumlah pendatang dari Jawa, Bugis, dan NTT mulai masuk Krayan. Tujuannya, ikut mengadu nasib di Krayan, khususnya setelah Krayan mulai ada proyek pembangunan jalan. Sejumlah warga Krayan, yang telah merantau keluar, kembali lagi untuk bekerja, khususnya di sektor pemerintahan, serta menikmati hari tua.

Meski jumlahnya belum signifikan, ada peningkatan jumlah pendatang. Catatan Kecamatan Krayan, Desember 2016 ada 167 penduduk yang pindah ke Krayan dan Maret 2017 meningkat menjadi 183 orang. Etnis yang mendiami Krayan pun mulai beragam, sudah mulai diisi 2 persen Jawa, 0,8 persen Bugis, 0,73 persen Timur, serta etnis-etnis lain (Lombok, Batak, Madura, dan Buton). (M PUTERI ROSALINA, GIANIE, ARITA NUGRAHENI/LITBANG KOMPAS)

Artikel Lainnya