KOMPAS/AGUS SUSANTO

Saadah mencuci seprai di depan rumahnya dengan memanfaatkan air bersih dari sumur di Pulau Lancang Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Minggu (18/10). Air sumur yang berasa asin biasa dipakai untuk mandi dan mencuci, sementara untuk masak dan minum, warga membeli air dari pengolahan air payau/asin dengan sistem reverse osmosis.

Liputan Kompas Nasional

Dampak Kemarau: Warga Pulau Kembali Pakai Air Asin untuk MCK * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Kemarau yang terjadi selama tujuh bulan terakhir sangat berdampak terhadap kehidupan warga yang bermukim di pulau-pulau di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Air sumur bor yang selama musim hujan terasa tawar, kini menjadi asin.

Jika selama ini warga menikmati air tawar dari sumur bor, kini mereka kembali menggunakan air asin untuk aktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK), serta mencuci pakaian.

Warga memenuhi kebutuhan untuk masak dan minum dengan air bersih yang menggunakan sistem pengolahan reverse osmosis (RO). Pengolahan air RO ini dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Untuk kebutuhan itu, mereka harus membeli air olahan RO mulai dari Rp 1.000 sampai Rp 5.000 per jeriken (kapasitas 8-10 liter per jeriken).

Demikian pantauan Kompas di Pulau Pari dan Pulau Lancang, Kelurahan Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kamis (15/10) hingga Minggu (18/10). Warga di kedua pulau tersebut membeli air RO yang diantar oleh petugas dari instalasi pengolahan air tersebut ke rumah masing-masing.

”Karena kemaraunya panjang, air sumur bor di sini menjadi terasa asin. Kalau asin begini, kami enggak bisa pakai untuk memasak dan minum. Beda kalau lagi hujan, air sumurnya terasa adem (tawar) dan masih bisa dipakai memasak,” ujar Saadah (42), warga wilayah timur Pulau Lancang, Minggu.

Sebelum kemarau, ibu empat anak tersebut tak membeli air RO untuk kebutuhan rumah tangga. Namun, setelah kemarau berkepanjangan yang berdampak air sumur mulai asin, dalam tiga bulan terakhir ia mulai membeli air RO untuk kebutuhan memasak dan air minum.

”Enggak enak rasanya kalau makan dan minum dengan air asin. Makanya, kami terpaksa membeli air RO,” ujar Saadah.

Saadah menggunakan lima jeriken yang masing-masing berisi 10 liter air untuk kebutuhan selama tiga hari. Untuk kebutuhan MCK dan cuci pakaian, mereka masih menggunakan air sumur bor yang sudah terasa asin.

”Kalau pakai air RO untuk mandi dan cuci pakaian, enggak terbeli. Soalnya berapa, sih, pendapatan dari suami sebagai nelayan?” kata Saadah.

Samsiah (58), warga bagian tengah Pulau Lancang, mengakui hal serupa. ”Enggak ada pilihan lain, ya, terpaksa mandi dengan air asin. Untuk minum dan memasak, terpaksa kami menggunakan air RO,” ujarnya.

Menurut Samsiah, awalnya ia juga menggunakan air sumur yang berasa asin untuk memasak dan minum. Langkah itu untuk menghemat. Akan tetapi, anaknya memaksa dia menggunakan air RO saja untuk memasak dan air minum.

Kompas merasakan sendiri air yang sudah asin tersebut di dua tempat penginapan di Pulau Pari dan Lancang. Untuk MCK, Kompas menggunakan air sumur yang sudah asin. Sementara untuk kebutuhan sikat gigi dan air minum menggunakan air kemasan dalam botol.

Mandi dengan air asin pun menyisakan rasa tidak nyaman karena terasa ada sesuatu yang melekat di kulit.

Marsani (53), pengelola pengolahan air RO di Pulau Pari, mengatakan, pada musim kemarau yang berkepanjangan ini, air sumur bor milik warga memang berubah rasa menjadi asin. Air itu akan kembali normal dengan rasa tawar jika musim hujan.

7.000 liter per hari

Untuk memenuhi kebutuhan tambahan dari 300 keluarga di Pulau Pari, kata Marsani, pihaknya setiap hari memproduksi air sebanyak 7.000 liter air bersih yang siap untuk digunakan untuk kebutuhan memasak dan air minum, termasuk air isi ulang yang siap dikonsumsi.

”Dalam kondisi kebutuhan air bersih yang meningkat akibat musim kemarau ini, kami tidak bisa berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhan warga. Hal tersebut karena kemampuan alat untuk produksi air bersih ini terbatas, yakni 7.000 liter per hari,” kata Marsani. (PIN/RTS)

Artikel Lainnya