KOMPAS/LASTI KURNIA

Besi Mercusuar Noordwachter di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (5/9), tampak berkarat di beberapa bagian. Mercusuar Noordwachter yang berarti Jaga Utara itu merupakan buatan Belanda pada tahun 1869.

Liputan Kompas Nasional

Mercusuar Pulau Sebira: Menara Cahaya di Pelupuk Cakrawala * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 5 menit baca

ONDER DE REGERING VAN

Z.M. WILLEM III,

KONING DER NEDERLANDER,

ENZ., ENZ., ENZ.,

OPGERICHT VOOR DRAAILICHT,

1869.

Demikian tertulis pada pelat baja hitam di atas pintu masuk Menara Suar Jaga Utara di Pulau Sebira (Sibira atau Sabira), Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Selasa (8/9), menjelang surya tenggelam.

Jika diterjemahkan, tulisan itu berarti ”Di bawah kekuasaan (Raja) ZM Willem III dari Belanda, dan lain lain (dll), dll, dll, didirikan untuk suar lampu pendar, 1869.”

Setahun terakhir, menara yang pada masa lalu disebut Noordwachter atau Jaga Utara ialah rumah bagi Joko Darmaji (56), seorang teknisi di mercusuar tersebut.

”Saya harap, ini adalah pos terakhir saya tugas sebelum pensiun dua tahun lagi,” kata lelaki yang meninggalkan keluarga di Bekasi, Jawa Barat, sebagai penjaga, perawat, dan penghuni menara cahaya di pulau terluar dan terpencil Ibu Kota.

Dengan nada kata ramah, Joko menuturkan, tidak banyak tahu tentang mercusuar tersebut. Papan informasi menyatakan, bangunan itu masuk Daftar Suar Indonesia Nomor 1690 dan dalam pengelolaan Distrik Navigasi Kelas I Tanjung Priok, Kementerian Perhubungan.

Kertas informasi pada dinding dalam rumah jaga teknisi menyebutkan, konstruksi bangunan baja tertutup dan terbuka, tinggi 48 meter, jenis lampu revolving dan VEGA Marine LED Beacon yang jarak tampak 18 nautical mile (NM) atau hampir 35 kilometer, durasi nyala suar 11 detik, dan letak koordinat menara 05° 12′ 00″ Lintang Selatan dan 102° 28′ 00″ Bujur Timur.

”Sejarah dan informasi lain saya tahu dari beberapa jurnalis yang pernah datang ke pulau dan meliput mercusuar ini,” kata Joko dengan ramah. Informasi itu antara lain mercusuar itu masuk daftar Amateur Radio Lighthouse Society World List of Lights dengan kode nama ARLHS IDO-062 pada 1 Juni 2006.

Menara tersebut dibuat di pabrik logam NV Koninklijke Nederlandsche Grofsmederij di Leiden, Belanda, 1867. Semua material konstruksi kemudian dibawa ke pulau dengan kapal uap Hertog Bernard yang bongkar muat pada 18 April 1869. Kapal itu dalam sejarah dikenal karena berperan menyebarkan penyakit beri-beri di Padang, Sumatera Barat, 1873.

Sebira merupakan pulau tunggal di Laut Jawa yang merupakan nusa terluar, terpencil, di teras paling utara Jakarta. Keberadaan mercusuar di pulau ujung utara tersebut mungkin yang kemudian memunculkan nama Noordwachter di kalangan pelaut.

Sampai 1974, Kompas masih menulis pulau seluas kurang dari 9 hektar itu Noordwachter. Dalam navigasi Indonesia, noordwachter (north watcher) disebut Djaga Oetara (Jaga Utara).

Kembali ke sejarah, Belanda di era Willem III membuat dan membangun banyak mercusuar di Nusantara. Mercusuar Sebira memiliki kembaran di Pulau Besar, Bangka Selatan (Bangka Belitung), dan di Pulau Biawak, Indramayu (Jawa Barat).

Mengagumkan

Mercusuar itu berstruktur rangka dodecagon atau 12 sisi. Kolom inti berupa cerobong dari baja yang kian ke atas diameter mengecil. Cerobong ditunjang 12 ”cakram jaring” ibarat cincin atau mur yang kian ke atas diameter mengecil. Dua struktur itu ditunjang lagi 12 batang rangka. Bagi penulis, struktur bangunan tersebut sangat rumit dan mencerminkan
kegeniusan perancang dan kemajuan prasarana navigasi masa silam.

Bagian bawah adalah ruang penyimpanan peralatan dan perlengkapan pendukung. Ruang itu ibarat lubang perlindungan (bunker) logam nyaris tiada jendela, kecuali pintu masuk. Pada dinding menara ada beberapa lubang dan ringsek karena keropos. Ada juga lubang dan ringsek yang menurut Joko diduga akibat dihantam peluru atau mortir saat masa perang kolonial.

Bagian atas berupa kubah cerobong dengan jendela kaca tebal. Jendela mungkin berfungsi ganda, yakni untuk sirkulasi udara agar ruang dalam menara tidak lembab, pengap, dan baja tidak cepat berkarat, serta tempat untuk pengawasan ke semua arah.

Di bagian atas ada teras melingkar untuk pengawasan ke semua penjuru yang notabene perairan. Di pagar teras ada rangka yang, menurut Joko, mungkin berfungsi sebagai tempat lonceng atau katrol guna mengangkat barang. Di atap kubah ada palang besi anak panah sebagai penunjuk arah mata angin.

Di sekitar mercusuar berdiri beberapa rumah untuk tempat tinggal penjaga. Pada masa lalu, penjaga mercusuar ada lima orang. Saat Joko ditugaskan ke Sebira, ada teman lain. Namun, rekan kerja Joko ada yang dipindah atau pensiun, sedangkan belum ada penambahan teknisi atau penjaga baru.

Deretan bangunan di sekitar mercusuar bukan dibangun pada masa kolonial atau saat menara tersebut didirikan. Rumah-rumah dibangun pada masa mercusuar dalam penguasaan Indonesia.

Struktur peninggalan kolonial selain menara adalah dinding dan lantai sekeliling bangunan dari bata persegi panjang yang penulis rasakan sangat kukuh. Selain itu, gerbang depan dan belakang dari baja yang tebal dan berat.

Berkarat

Yang disayangkan, sekujur menara itu berkarat. Joko sendiri tidak tahu kapan terakhir kali menara tersebut dicat atau diperbaiki. Joko sempat mengecat dinding luar bagian bawah mercusuar.

”Kompleks saya sapu, tanaman dirawat, menara dibersihkan dan dicek, untuk rutinitas sekaligus membunuh sepi dan bosan,” kata Joko.

Untuk mencapai bagian atas, pengunjung harus melewati 210 anak tangga. Anak tangga dan pegangan dari baja sudah berkarat dan banyak yang keropos. Ada beberapa anak tangga yang hilang akibat rusak sehingga terpaksa diganti dengan papan yang diikat atau seadanya. Anak tangga dari papan bisa patah jika diinjak.

Mencapai bagian atas menara merupakan perjuangan cukup berat dan menciutkan nyali, terutama bagi yang takut tinggi dan ruang gelap. Namun, jika sudah berada di teras atas, melihat ke segala penjuru mungkin akan menjadi salah satu pemandangan terbaik yang pernah dirasakan dalam hidup.

Ketua Rukun Warga 003 (Pulau Sebira) Hartuti mengatakan, penjaga mercusuar adalah penghuni pertama pulau. Saat ini pulau itu dihuni kurang dari 600 jiwa dan terdiri atas empat rukun tetangga.

Warga adalah pendatang, mayoritas keturunan Bugis Bone yang pada awalnya menetap di pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Mereka kemudian pindah karena tanah mereka dijual ke pengusaha resor.

”Dulu, kami minta izin tinggal sementara di pulau ini ke penjaga mercusuar,” kata Hartuti. Migrasi warga ke Sebira, menurut Hartuti, terjadi sejak 1976, secara bertahap.

Merintis kehidupan di Sebira bagi warga merupakan perjuangan berat. Begitu pula tentu yang dirasakan para penjaga menara. Pada 27 Mei 1971, Kompas menerbitkan berita kisah berjudul ”Pendjaga Menara P. Noordwachter Mem-bidan-i Isterinja Sendiri” karya DJ Pamudji. Tulisan itu merupakan salah satu hasil liputan ekspedisi bersama wartawan koran dan majalah di Ibu Kota dengan menumpang KM Angklung.

Joko mengamini bahwa menjaga sendiri menara adalah perjuangan berat memenuhi amanah tugas. Pada masa lalu, mendirikan menara juga tentu bukan tugas mudah demi memperlancar lalu lintas kapal-kapal dari dan ke Jakarta lewat Sebira. Pendar cahaya putih menara tersebut saat malam bukan sekadar memandu kapal, melainkan juga sinyal ada kehidupan di nusa juga utara nun jauh di pelupuk cakrawala.

Jika sempat, datanglah dan sapalah kehidupan di sana. Nikmatilah dan kagumi menara renta itu sebelum struktur bersejarah tersebut roboh karena diabaikan. (AMBROSIUS HARTO)

Mercusuar Noordwachter buatan Belanda tahun 1869 di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta, Selasa (8/9). Kondisi Noordwachter atau yang berarti Jaga Utara ini kurang terawat. Besinya tampak berkarat di sana-sini. (KOMPAS/LASTI KURNIA)
Artikel Lainnya