Waktu menunjukkan pukul 11.00. Asiti duduk di bawah pohon sukun, di belakang rumahnya di Pulau Payung. Satu keranjang berisi ikan diletakkan di dekatnya. Dengan sigap, tangannya mulai membersihkan dan membelah ikan-ikan itu. Ikan hasil memancing di laut itu diolah Asiti menjadi ikan asin.
Oleh AGNES RITA SULISTYAWATY
Setiap hari, rata-rata ada 2 kilogram ikan asin yang diproduksinya. ”Lumayanlah hasilnya bisa untuk tambah-tambah beli lauk,” ucap ibu tiga anak itu, pertengahan Mei 2015.
Membuat ikan asin menjadi mata pencarian sebagian warga Pulau Payung di Kabupaten Kepulauan Seribu. Pekerjaan ini umumnya dilakukan kaum ibu.
Untuk mendapatkan ikan segar yang akan diolah menjadi ikan asin, ibu-ibu ini harus meluangkan waktu dari pagi hingga siang untuk memancing. Hasil pancingan hari itu langsung dibersihkan dan digarami. Setelah itu, ikan disimpan semalaman dan baru dijemur esok hari.
Pada sore hari, ibu-ibu ini kembali ke tepi laut. Kali ini mereka mencari cacing di tepi laut. Berbekal kelapa basi, mereka memunguti cacing yang bersembunyi di pasir tepi laut. Cacing jadi umpan memancing untuk bahan ikan asin. Demikian rutinitas itu bergulir terus menerus.
Ikan asin yang telah jadi lantas dibawa ke Pulau Tidung dan dipasarkan di sana. Setiap 1 kg ikan asin, pembuatnya mendapatkan Rp 30.000.
Ketua RT 006 RW 004 Kelurahan Pulau Tidung, Mursalin, menjamin, ikan asin buatan Pulau Payung tanpa bahan pengawet berbahaya. Satu-satunya pengawet yang digunakan adalah garam. ”Kalau mau bukti, masih ada serangga yang menghampiri ikan asin saat tengah dijemur. Kalau ikan diawetkan dengan bahan berbahaya, lalat pun enggan datang,” ucapnya.
Menggarap ikan asin merupakan alternatif ekonomi warga Pulau Payung, yang bersumber dari laut. Sebagian besar pria di pulau ini menjadi nelayan. Sayangnya, hasil laut tidak lagi menjanjikan seperti waktu yang lampau. Sering kali, nelayan kembali dengan tangan hampa.
Keripik sukun
Banyaknya pohon sukun yang tumbuh di Pulau Payung menjadi modal bagi para ibu untuk membuat keripik sukun. Bila musim panen sukun tiba, ibu-ibu di pulau ini menghabiskan hampir seluruh hari untuk mengolah sukun.
”Kalau musim sukun, semua perempuan sibuk bikin keripik. Biasanya, kami mulai bikin pagi sampai menjelang maghrib,” kata Ratna, warga Pulau Payung.
Buah sukun dihargai sesuai ukurannya. Buah yang besar dihargai Rp 5.000 per butir, sementara yang kecil-kecil dibeli Rp 10.000 per tiga butir. Pembayaran atas buah sukun tetap dilakukan meskipun buah itu berasal dari pohon di pekarangan sendiri atau kerabat.
Buah sukun dipanen oleh kaum laki-laki. Pemetik buah sukun juga mendapatkan imbalan tertentu atas kerja mereka, meskipun pemetik ini merupakan kerabat sendiri.
Setelah terkumpul, buah sukun diolah. Buah yang sudah diiris tipis-tipis lantas digoreng dengan minyak yang berlimpah. Proses selanjutnya adalah pengepakan keripik. Satu plastik diisi sekitar 2 ons keripik. Harga jual keripik sukun Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per bungkus.
Sayangnya, pemasaran keripik sukun ini masih lebih banyak ke luar Pulau Payung, terutama ke Tidung. Sebab, Pulau Tidung jadi salah satu lokasi pusat kunjungan wisatawan di Kepulauan Seribu.
Pembuatan keripik sukun sangat bergantung pada berbuahnya puluhan pohon sukun yang tumbuh di pulau ini. Bila tidak ada pohon berbuah, aktivitas pembuatan keripik ini terhenti. Sebaliknya, bila masa berbuah, penghuni semua rumah di Payung sibuk membuat keripik.
Selama musim sukun yang bisa berlangsung selama 6 bulan, seorang ibu bisa mendapatkan untung bersih Rp 2,5 juta.
Kalau ada wisatawan datang ke Pulau Payung saat musim buah sukun tiba, maka sebagian buah digoreng dan disajikan sebagai salah satu kudapan bagi wisatawan. Satu buah sukun diiris menjadi 25 potong, dan dijual Rp 1.000 per potong.
Rasa buah sukun dari Pulau Payung ini manis-legit. Buah sukun goreng kering ini sangat nikmat.
Pengolahan keripik sukun menjadi pengganti aktivitas ekonomi sebagian besar perempuan di Payung. Sebelum tahun 2007, Pulau Payung pernah menjadi penghasil agar-agar karena rumput laut berlimpah. Seiring berjalannya waktu, limbah di laut membuat rumput laut makin jarang ditemui. Akhirnya, usaha agar-agar pun hilang.
Warung
Sektor pariwisata di pulau ini juga mendorong tumbuhnya warung meskipun jumlahnya terbatas. Saat ini, hanya dua warung yang menyediakan makanan bagi wisatawan yang datang atau bermalam di Pulau Payung.
”Dulu pernah sampai ada 10 warung di tepi pantai ini. Tetapi, sekarang tinggal dua. Itu saja tidak semua buka setiap hari. Hanya saya saja yang buka, ada atau tidak ada tamu yang menginap di sini,” kata Ayunah (53), salah satu pemilik warung.
Selain mendapatkan uang dari wisatawan, masakan yang diolahnya sekaligus dikonsumsi anggota keluarga sendiri.