KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Polisi hutan di Seksi I Taman Nasional Kepulauan Seribu, memergoki dan mengusir perahu nelayan pengguna jaring muroami yang masuk ke kawasan zona inti taman nasional di sekitar perairan Pulau Kayu Angin Bira, Kepulauan Seribu, Jakarta, saat melakukan patroli laut, Rabu (12/8). Meski jumlah pelanggaran mulai turun, masih sering dijumpai nelayan yang lupa atau sengaja melanggar memasuki kawasan zona inti taman nasional.

Liputan Kompas Nasional

Pelestarian Lingkungan: “Menutup” Laut, Menyelamatkan Kehidupan * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 5 menit baca

Sebuah perahu berhenti tak jauh dari zona inti Taman Nasional Kepulauan Seribu, Rabu (12/8) siang. Belasan orang berada di atas perahu yang diombang-ambingkan gelombang. Ujung jaring menyembul di atas permukaan laut yang jernih. Aktivitas penangkapan ikan ilegal sedang terjadi!

Oleh SAIFUL RIJAL YUNUS

Meski perahu tersebut tidak bergerak, raungan mesinnya terdengar dari kejauhan. Mesin pompa udara atau kompresor tengah diaktifkan untuk memasok oksigen bagi para nelayan yang sedang menyelam. Selain melanggar larangan penangkapan ikan di zona inti 3 taman nasional di sekitar Pulau Kayu Angin Bira, para nelayan itu juga tak menggubris larangan mencari ikan dengan menyelam.

Tim patroli Seksi II Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) yang kami ikuti melihat aktivitas ilegal tersebut. Muhammad Satibi, dari Seksi II Pulau Harapan TNKpS yang memimpin rombongan, langsung mengarahkan kapal ke lokasi penangkapan ikan itu.

Setelah berjarak sekitar 20 meter dari perahu nelayan tersebut, Satibi menggerak-gerakkan tangan seperti petani menghalau burung yang sedang memakan padi di sawah. ”Tak boleh mengambil ikan di sini,” seru Satibi. ”Ini daerah terlarang, bahkan sebenarnya untuk melintas pun dilarang!”

Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata para nelayan itu melakukan pelanggaran yang lebih berat lagi, yakni mencari ikan dengan menggunakan jaring yang disebut muroami.

Jenis jaring peninggalan zaman Jepang ini telah dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 02 Tahun 2011. Sesuai dengan Pasal 29 Ayat (11) peraturan menteri itu, jaring muroami dilarang di jalur perikanan di Indonesia.

Teknik mencari ikan dengan cara ini dilarang karena jaring tersebut menangkap semua jenis ikan beragam ukuran. Alat tangkap ini memiliki mata jaring kecil yang tak bisa dilalui ikan-ikan kecil. Padahal, para nelayan menggunakan jaring ini untuk mencari ikan ekor kuning yang berukuran sekitar satu telapak tangan orang dewasa.

Dalam prosesnya, jaring muroami diturunkan ke dasar laut dengan pemberat. Pemberat berukuran 3-5 kilogram itu akan menimpa karang di dasar laut. Jaring muroami memang biasa digunakan nelayan di daerah tubir karang, yang menjadi habitat ikan ekor kuning.

Setelah beberapa lama, sejumlah penyelam, biasanya 7 hingga 10 orang, turun ke dasar laut. Setiap penyelam membawa kerincingan dari tembaga. Fungsinya untuk menakuti ikan agar berenang ke arah jaring yang telah ditebar sebelumnya. Kerincingan tersebut dibunyikan sambil penyelam berjalan perlahan di dasar laut.

”Tentunya (metode muroami) itu akan merusak karang. Belum lagi terkait kesehatan para penyelam yang menggunakan kompresor. Karena itu, kalau ada nelayan dengan jaring muroami, pasti kami tindak. Paling tidak kami usir,” ujar Satibi.

Akan tetapi, lanjutnya, saat diproses, nelayan selalu beralasan terpaksa menggunakan jaring ini karena tak punya alternatif lain. Selain itu, belum ada solusi dari pemerintah untuk mengalihkan nelayan muroami ke alat tangkap lain.

Banyak tantangan

Menghalau nelayan muroami hanya salah satu tugas para polisi hutan dan staf TNKpS dalam upaya menjaga kawasan. Dalam menjalankan tugas itu, mereka sudah sering terdampar di pulau karena kapal rusak, menghadapi gelombang tinggi, atau bersitegang dengan perusak alam.

Koordinator Polisi Hutan Seksi I TNKpS Hamzah menuturkan, dia pernah diteror karena menyita penyu milik warga. Penyu itu akan diperjualbelikan di Jakarta atau tempat lain. Selama beberapa hari, telepon selulernya terus berdering dan ia mendapat ancaman.

”Dalam beberapa kesempatan, kami harus mengeluarkan tembakan peringatan. Seperti saat menangkap nelayan muroami tahun lalu,” kata Hamzah. Anggota polhut memang dibekali senjata api dalam bertugas. Di Seksi I TNKpS, ada tiga pucuk senjata api yang digunakan bergantian oleh polhut dan Satuan Polhut Reaksi Cepat (Sporc).

Hamzah menambahkan, upaya menjaga kawasan TNKpS memang masih jauh dari ideal. Namun, mereka tetap harus menjalankan tugas di tengah keterbatasan tersebut. ”Butuh usaha dan tenaga yang lebih karena mengawasi laut yang begitu luas bukan perkara gampang. Laut itu tidak punya pintu yang bisa ditutup,” ujarnya.

Untuk patroli, misalnya, seharusnya minimal digelar empat kali patroli dalam satu bulan. Namun, karena beragam keterbatasan, saat ini patroli baru bisa digelar dua kali sebulan. ”Tenaga kami kurang, juga biaya bahan bakar yang mahal di pulau. Jadi, kami harus taktis dalam mengurus hal ini,” lanjut Hamzah.

Jumlah tenaga polhut yang ada di Seksi I TNKpS, misalnya, hanya berjumlah lima orang. Bersama enam anggota Sporc, yang waktu kerjanya di kepulauan itu terbatas, mereka menjaga wilayah seluas 39.932 hektar, atau 37,15 persen dari total luas wilayah taman nasional. Total luas wilayah TNKpS adalah 107.489 hektar.

Wilayah TNKpS memiliki dua zona inti yang harus dijaga ketat. Zona inti ini harus bebas dari semua aktivitas masyarakat, baik itu penangkapan ikan, pemanfaatan pariwisata, maupun perlintasan kapal.

Luas zona inti itu adalah 1.389 hektar untuk zona inti I, dan 2.490 hektar untuk zona inti II. Kedua zona berada di wilayah utara Kepulauan Seribu, sekitar lima jam pelayaran kapal dari Jakarta.

Sementara itu, satu zona inti lain, yaitu zona inti III, memiliki luas 570 hektar di sekitar Pulau Belanda dan Pulau Kayu Angin Bira. Fokus utama di zona ini adalah pelestarian penyu sisik dan terumbu karang.

Data statistik TNKpS juga menunjukkan, penanganan pelanggar di Kepulauan Seribu belum maksimal. Sejak taman nasional diresmikan dan pembagian zona ditentukan 2004 lalu, pelanggar yang diproses hukum hanya sebelas kasus. Kasus terakhir ditangani pada 2012.

Sebagian besar kasus yang ditangani adalah perdagangan satwa langka, pengambilan karang, serta perambahan kawasan taman nasional. Sementara pelanggar yang mengambil ikan di kawasan zona inti belum ada yang diproses hukum.

”Sekitar dua tahun terakhir, kami temukan tiga pelanggar yang mengambil ikan di zona inti dengan menggunakan muroami. Tentu kami proses, buat laporan tidak akan mengulangi perbuatan. Jika tiga kali melanggar, mereka akan diproses hukum,” tutur Kepala Seksi I TNKpS Erryst Mart.

Menurut Erryst, pihaknya berusaha agar semua pelaku dan pelanggar kawasan taman nasional bisa dihukum sesuai aturan yang berlaku. Pengawasan, pemantauan, dan patroli selalu dilakukan setiap bulan. Meski begitu, hal ini memerlukan sinergi dengan instansi dan pemangku kepentingan lain.

Apalagi, sejumlah pelanggaran yang dilakukan masyarakat sudah terjadi belasan hingga puluhan tahun lamanya. Diperlukan sebuah tekad dan upaya yang kuat untuk menjaga agar laut tetap menjadi rumah yang lestari dan indah.

Artikel Lainnya