KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sampah plastik dikumpulkan untuk didaur ulang kembali di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Jumat (16/10).

Liputan Kompas Nasional

Menjaga Lingkungan: Geliat Warga Pulau Pari Mengelola Sampah * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 4 menit baca

Dulu, sewaktu ikan masih melimpah, tak terpikir oleh warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, untuk menekuni usaha bank sampah. Seiring merosotnya tangkapan ikan lantaran kerusakan habitat laut, bank sampah kini menjadi alternatif untuk mencari nafkah.

Beberapa warga pulau itu mencoba menjadi pengepul, termasuk Masjuk (52). Di tengah keterpurukan ekonomi warga pulau ini, Pusat Penelitian Oceanografi LIPI memberdayakan para perempuan, mantan petani rumput laut. Lewat tangan mereka, terbentuklah bank sampah. Pada Juni 2015, bank sampah genap berumur setahun. Sejauh ini, 60 perempuan menjadi nasabah bank sampah. Sementara jumlah penduduk di Pulau Pari mencapai 1.025 jiwa dengan 300 keluarga.

Tentu tak mudah mengajak warga yang sudah terbiasa membuang sampah sembarangan untuk ikut peduli kebersihan dari tempat asalnya, rumah sendiri. ”Akan tetapi, alhamdulillah, dengan nasabah 60 orang saja paling tidak pulau ini terlihat lebih bersih ketimbang setahun sebelumnya,” ujar Wilah (42), Ketua Bank Sampah Pari Bersih, Jumat (16/10).

Memang benar, Oktober lalu, ketika Kompas menelusuri pulau seluas 41,3 kilometer persegi ini selama tiga hari, wajah pulau tampak resik. Tak terlihat sampah plastik, kaleng, atau jenis lain di bibir pantai. Hanya sampah dedaunan kering yang gugur berserakan tak jauh dari pohonnya.

Wilah, ibu rumah tangga, awalnya tak terpikir ikut terlibat dalam mengelola sampah di pulau tempat tinggalnya. Apalagi sampai menghimpun kaum perempuan ikut mengolah sampah. Sebagai mantan petani budidaya ramput laut (saat rumput laut sempat berjaya tiga-lima tahun lalu), Wilah dan para istri nelayan di pulau itu kehilangan pekerjaan.

Saat LIPI melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pengelolaan sampai di pulau pariwisata, Wilah bersama empat ibu lain tersadarkan bahwa Pulau Pari harus bersih. Selanjutnya, ia bersedia menggerakkan kaum perempuan pulau itu untuk mengelola sampah.

”Menjadi penggerak dan pengelola bank sampah hanya sukarela. Hanya berbekal ketulusan, kesadaran diri, dan rasa cinta akan masa depan pulau, saya akhirnya bersedia ditunjuk sebagai ketua bank sampah,” ujarnya.

Nurani mereka terpanggil untuk mengupayakan agar sampah bebas dari sumbernya. Bagaimana caranya tempat tinggal mereka bersih dari sampah.

Anggota bank sampah selalu menimbang sampah yang dikumpulkan setiap Selasa. Setiap minggu, rata-rata sampah yang dihasilkan bank sampah ini 200 kg. Sampah plastik dan kaleng dijual Rp 2.000-Rp 4.000 per kilogram. Harga sampah itu berfluktuasi, bergantung pada harga di daratan (istilah orang pulau untuk Tangerang).

Setelah ditimbang, sampah diangkut ke tempat Masjuk dengan sepeda motor bak. Selanjutnya, uang hasil sampah dari anggota ditabung. Minimal uang yang bisa ditabung Rp 50.000 dan maksimal Rp 200.000 per bulan per anggota. Uang tabungan itu belum disimpan dalam bentuk rekening seperti bank sampah lain karena di pulau tersebut tidak ada bank. Bahkan, bank sampah ini juga belum melayani transaksi jual- beli sampah dengan bahan pokok, apalagi bayar listrik.

”Semua uang dipegang bendahara. Kalau ada anggota yang mau mengambil uang tabungan untuk kebutuhan mendesak, mereka harus menyisakan uang di tabungannya Rp 50.000,” ujar Wilah.

Sampah dari bank sampah (sudah dipilah) ditampung di tempat pengepul. Sebulan sekali, atau setiap kali sudah terkumpul 800 kg sampah, Masjuk mengirimnya ke pengepul di Tangerang, Banten.

”Kalau sampah yang dikirim sedikit, berat diongkos sewa kapal. Sekali angkut, sewa kapal bisa mencapai Rp 600.000,” ujar Masjuk. Besarnya biaya transportasi ke darat membuat Masjuk memberi harga jual kepada pelanggannya lebih rendah daripada harga jual sampah di darat. Misalnya, sampah yang dibeli dari masyarakat (bank sampah) Rp 2.000 per kg. Dia jual ke pengepul di darat Rp 4.000 per kg. ”Kalau harga sampah di darat tinggi, saya juga beli sampah dari warga dengan harga tinggi. Pokoknya separuh dari harga darat,” ujar Masjuk. Khusus sampah sayuran dan daun, LIPI mendorong warga mengolahnya jadi kompos. Pengolahan kompos melibatkan kaum lelaki.

Menurut Wilah, di Kepulauan Seribu baru ada dua bank sampah yang terbentuk, yakni di Pulau Pari dan Pulau Pramuka.

Memang, membangun dan mengembangkan bank sampah di pulau-pulau bukan perkara mudah. Kesulitan lain adalah minimnya peralatan, seperti tong dan gerobak sampah, tiadanya mesin pencacah, alat penimbangan, dan lokasi penampungan sampah.

”Kami meminjam dan menyewa gerobak milik warga untuk membawa sampah dari rumah warga ke tempat penimbangan dan ke tempat pengepul,” ujar Wilah.

Sejauh ini, bank sampah yang dikelola warga belum pernah mendapat bantuan apa pun dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Ada, sih, perahu sampah khusus Kepulauan Pari milik Dinas Kebersihan dan Pertamanan DKI. Tetapi, perahu itu hanya khusus mengangkut sampah di pinggir laut,” kata Wilah.

Ketua Bank Sampah Indonesia Bambang Suwerda mengatakan, konsep bank sampah adalah bagaimana mengedukasi masyarakat secara arif dan bijaksana dalam mengelola sampah. Hadirnya bank sampah memberikan nilai positif karena bisa mengurangi sampah di bak sampah, termasuk bak sampah di rumah warga dan tempat pembuangan akhir. (RATIH PRAHESTI/PINGKAN ELITA DUNDU)

Artikel Lainnya