KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Rumah-rumah panggung menjadi ciri khas rumah warga yang bermukim di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (15/8). Sebagian besar warga pulau itu adalah masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan yang masih mempertahankan bentuk-bentuk budaya asli Bugis, seperti rumah panggung ini.

Liputan Kompas Nasional

Masyarakat Kepulauan: Yang Bertahan dari Rakitiang * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 4 menit baca

Rumah panggung berbagai ukuran berderet rapi menghadap ruas jalan yang membelah pulau itu. Pohon yang rimbun meneduhi jalan itu, membuat anak-anak betah bermain dengan riang. ”Atutuo na’, meddukko matu,” seru seorang ibu kepada anaknya, suatu sore, di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Oleh SAIFUL RIJAL YUNUS

Hati-hati, Nak, nanti kamu terjatuh,” begitu arti dari kalimat bahasa Bugis yang diucapkan ibu tersebut. Tak heran bahasa salah satu suku asli di Sulawesi Selatan (Sulsel), ini, masih digunakan di Kelapa Dua, mengingat sekitar 90 persen dari 154 keluarga yang mendiami pulau itu adalah orang Bugis.

Mereka umumnya bekerja sebagai nelayan, nelayan ikan bawal utamanya. Warga lainnya, selain berdagang, juga tercatat sebagai buruh. ”Nelayan adalah mata pencarian utama. Saya sejak kecil telah menjadi nelayan. Pindah ke sini pun juga tetap menjadi nelayan,” ucap Haji Amir (62), seorang warga yang dituakan di pulau ini.

Selasa (11/8) sore itu, Amir tengah bersantai di rumahnya yang berbentuk rumah panggung, bentuk khas rumah Bugis. ”Saya sudah 32 tahun hidup di pulau ini. Saya nelayan, meski sekarang lebih fokus jadi pengusaha. Orang memanggil saya Haji Bawal,” tuturnya.

Sebelum menetap di pulau seluas 18,7 hektar ini, dia lebih dulu tinggal di Pulau Genteng, yang berjarak sekitar 1,8 kilometer di sebelah timur laut Kelapa Dua. Penduduk awal Pulau Kelapa Dua memang pindahan dari Pulau Genteng itu.

Menurut Amir, dia datang ke Pulau Genteng atas ajakan pamannya pada 1974. Istri dan mertuanya dari Bone, Sulsel, dibawa serta. Dia pindah karena menuruti nasihat orang-orang tua zaman dulu. ”Kalau mau sekadar hidup, tak usah (pergi) jauh-jauh. Tetapi kalau mau mencari uang, pindahlah ke tanah Jawa,” ujarnya menirukan isi pesan tersebut.

Akan tetapi, pada 1983, warga yang berjumlah sekitar 100 keluarga diminta pindah dari Pulau Genteng. Alasannya, status mereka waktu itu menumpang di tanah milik warga pulau lain.

Setelah berdiskusi intens, pemerintah kemudian menyediakan sebuah pulau yang disebut Pulau Rakitiang. Rakitiang inilah yang hingga hari ini menjadi tempat bermukim para nelayan perantau asal Bugis tersebut.

Sekitar tahun 2.000, nama pulau ini diubah menjadi Pulau Kelapa Dua, mengikuti nama pulau terdekatnya di selatan, Pulau Kelapa, yang jauh lebih dulu dihuni penduduk. Sejak saat itu juga, Pulau Kelapa Dua masuk dalam administrasi Kelurahan Pulau Kelapa, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.

Hamzahtun (57), warga lain Pulau Kelapa Dua, mengisahkan, saat itu kepindahan warga dari Pulau Genteng berlangsung besar-besaran. Rumah-rumah panggung dibongkar satu per satu. Bagian-bagian rumah, seperti tiang, kusen, lantai, hingga dinding, lalu ditarik dengan kapal menyeberangi laut.

Setelah tiba di pulau yang telah dibersihkan dari semak belukar, rumah-rumah tersebut dibangun ulang. Semua dilakukan secara gotong royong.

”Rumah saya sekarang ini masih asli, belum ada yang saya ganti,” ucap Hamzahtun. Rumah bercat warna oranye di bagian depannya itu memang terlihat termakan usia. Beberapa bagian lantainya berlubang dan menimbulkan bunyi berdecit keras saat diinjak.

Dia menjelaskan, sebagian besar warga sudah mengganti beberapa bagian rumah asli mereka. Bahkan, ada juga yang menggantinya total dengan rumah tembok permanen.

”Lama-lama semua rumah jadi rumah batu, padahal sebagai nelayan, tentu lebih baik punya rumah panggung. Jadi bisa menyimpan peralatan di bawah rumah,” katanya.

Saat ini sekitar 30 persen rumah di Kelapa Dua merupakan rumah permanen. Padahal, dengan kondisi pulau yang kecil, pasang air laut sering menyapa. Belum lagi dengan pekerjaan nelayan yang membutuhkan tempat menaruh jala, boks ikan, dan peralatan lain.

Tak ingin hilang

Bahrudin (39), Ketua RW 005, yang merupakan satu-satunya rukun warga di pulau sepanjang 93,5 meter, ini, mengatakan, ada upaya mengembalikan lagi bentuk asli rumah-rumah panggung di Kelapa Dua.

Sebab, hal itu bisa menjadi ciri khas, sekaligus menjadi aset pariwisata berbasis masyarakat. ”Sebenarnya sudah ada program memberikan bantuan 50 rumah panggung tahun ini. Akan tetapi, karena terbatas waktu, belum bisa diadakan. Direncanakan, tahun depan akan ada bantuan lagi. Apalagi, pulau ini akan dijadikan desa wisata,” ucap Bahrudin yang rumahnya juga sudah jadi rumah permanen ini.

Diharapkan, upaya ini menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat suku Bugis di Kepulauan Seribu. Selama ini, banyak bagian kebudayaan Bugis itu yang telah terkikis.

Sebagian besar anak-anak dan di Kelapa Dua kini sudah tak lagi bisa berbahasa Bugis.

Seperti dituturkan Hamzahtun, tiga anaknya yang telah dewasa sudah tak bisa berbicara dalam bahasa Bugis. Akan tetapi, mereka masih mengerti saat orang lain berkomunikasi dengan bahasa itu.

Amir menambahkan, salah satu adat asli Bugis yang masih terjaga adalah adat perkawinan. Namun, dia khawatir ciri khas dan nilai-nilai Bugis lainnya perlahan-lahan hilang.

Padahal, lanjut dia, pelestarian berbagai adat istiadat asli itu yang bisa mempertahankan kesejarahan suku Bugis di Kepulauan Seribu. Selain itu, lingkungan yang masih kental suasana Bugis sedikit mengobati rasa rindunya akan kampung halaman.

”Orang-orang di kampung selalu bilang saya sudah melupakan kampung halaman. Padahal, saya hanya tak ingat kampung saat saya tidur saja,” ucapnya sambil tersenyum.

Artikel Lainnya