Mahfud

TIBA - Perahu pinisi Ammana Gappa yang dinakodai M. yunus, tiba di pelabuhan Antsiranana, 5 Oktober lalu.

·sekitar 6 menit baca

AMMANA GAPPA

“APABILA orang naik di perahu, di daerah Makassar, di daerah Bugis, di Paser, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja sewanya tujuh rial dalam tiap-tiap seratus. Begitulah ditulis pada lontar dalam bahasa Bugis. Juga ditulis tarif perahu untuk tujuan-tujuan: Sumenep, Bali, Manggarai, Banda, Kei, Jakarta, Palembang, Johor, Malaka dan lain-lain.

Tarif untuk barang didasarkan atas luasnya ruangan yang dibutuhkan dengan prinsip “satu kali memungut sewa pergi pulang”. Maksudnya, kalau di tempat persinggahan orang menjual barang dagangannya, kemudian membeli barang di situ untuk dijual di tempat tujuan semula maka tidak ada ongkos tambahan. Jadi, hanya dibayar sewa untuk tujuan semula tersebut.

Perihal sewa muatan perahu di atas merupakan Pasal 1 dalam Hukum Pelayaran dan Perdagangan Ammana Gappa, yang diabadikan pada daun lontar pada abad ke-17, tepatnya pada 1676. Kemudian oleh Prof. Philip O.L. Tobing dan kawan-kawan dikeluarkan dalam bentuk buku. Judulnya seperti di atas, lengkap dengan terjemahan dari bahasa Bugis ke dalam bahasa Indonesia, ditambah dengan analisa sosio- kulturalnya, diterbitkan ulang oleh Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan-Tenggara pada tahun 1977 (cet. pertama 1961).

Siapakah Ammana Gappa? Dia adalah orang Bugis yang berasal dari Wajo. Orang Wajo terkenal sebagai orang yang gemar mengembara, berlayar dan berdagang dan tidak begitu tertarik kepada pertanian. Pada abad ke-17 sudah terdapat kelompok-kelompok orang Wajo di kota- ota Ambon, Banjarmasin, Palembang, Malaka, Johor dan lain-lain (hal, 23).

Ammana Gappa mengambil inisiatif membukukan (dalam lontar) peraturan-peraturan yang ada, dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya. Disebut di dalam lontar sebagai berikut. “Sepakatlah orang di Ujung Pandang pada serambi mesjid, menyepakati peraturan berperahu dalam hal berdagang. Maka itulah yang dinamai undang-undang. Karena takdir Tuhan yang Mahabesar dan Mahatinggi jualah, maka sepakatlah tiga jenis (suku): orang Wajo, orang Bone (dan) orang Makassar” (hal. 45). Dan disepakati Ammana Gappa menjadi Matoa (bah. Bugis) atau Ketua, suatu kedudukan penting yang amat terhormat.

Semuanya terdiri atas 21 pasal. Pasal 1 perihal sewa mengenai muatan perahu. Pasal 2 perihal perahu yang disuruh dinakhodai. Pasal 3 perihal dagangan yang kembali karena tidak laku. Pasal 4 perihal nakhoda yang mengubah haluannya. Pasal 5 mengenai keseluruhan alat- alat perahu. Pasal 6 mengenai syarat-syarat menakhodai perahu. Pasal 7 perihal berjualan. Pasal 8 perihal berutaqng di pasar dalam perjalanan. Pasal 9 perihal kewarisan. Pasal 10 perihal orang yang bertengkar dalam hal perdagangan. Pasal 11 perihal orang yang bertengkar dalam pelayaran. Dan seterusnya.

***

MENGENAI pertengkaran dalam pelayaran, ditegaskan dalam Pasal 11 bahwa sebelum mendarat, perselisihan harus diselesaikan terlebih dahulu. “Di mana saja ada api, di situ juga padam.” Janganlah persoalan dibawa-bawa ke negeri yang dituju, “sebab tiap-tiap negeri yang engkau singgah9i, mempunyai hakim” (hal. 59).

Peraturan-peraturan tersebut mempunyai fungsi yang penting dalam menertibkan pelayaran dan perdagangan berabad-abad lamanya. Bukankah untuk jangka waktu yang lama, perahu-perahu Bugis-Makssar merajai lautan nusantara?

Salah satu sumber informasi penting mengenai pelaut-pelaut tangguh Bugis-Makassar aadalah buku Dr. Campbell C. McKnight, The Voyage to Marege’: Macassan Trepangers in Northern Australia, Melabourne Univ. Press, 1976, yang dikembangkan dari disertasinya. Setahu apa daerah Australia yang didatangi tersebut dinamakan Marege’ oleh pelaut kita.

Dr. McKnight memperkirakan orang Bugis-Makassar sudah mencapai Australia Utara untuk keperluan industri teripang sebelum penghujung abad ke-17. Berlusin lokasi mereka jadikan tempat pengambilan teripang dan di darat mereka membuat tempat-tempat pengolahan. Tiap tahunnya yang datang lebih dari 1000 orang bersama 30 sampai 60 perahu dan tinggal di sana beberapa bulan lamanya.

Hubungan mereka dengan Australia Utara berlangsung lebih dua abad lamanya karena daerah ini (Northern Territory) baru dicaplok Australia Selatan (South Australia) pada tahun 1863. Sesudah pencaplokan itu hubungan tidak serta mereta terputus tetapi orang Bugis-Makassar yang datang menangkap teripang dikenakan pajak. Pemberian izin berakhir pada tahun 1906.

Berbagai aspek industri teripang diuraikan secara terinci dalam buku tersebit, termasuk bahaya-bahaya pelayaran, aspek ekonominya, bagaimana industri tersebut berakhir dan tidak lupa suka duka hubungan orang Bugis-Makassar dengan penduduk setempat (aborijin). Kono, seorang Makassar mempunyai kira-kira 10 anak yang beribukan penduduk setempat di bagian Timur Arnhem Land i Australia Utara. Salah seorang anaknya tersebut bernama Kunano datang berkunjung ke Makassar.

Namun demikian pengaruh Bugis-Makassar terhadap aborijin tidaklah berarti, walaupun hubungan berkelanjutan untuk jangka waktu yang begitu lama. Dari sudut bahasa memang agak banyak kata-kata Bugis-Makassar yang dipakai orang aborijin, motif lukisan juga terpengaruh dan orang aborijin membuat perahu dengan cara baru. Puluhan orahg aborijin telah dibawa berkunjung ke Makassar dan beberapa makam Bugis-Makassar terdapat di pantai Australia Utara. Namun proses akulturasi secara berarti tidak terjadi.

***

AKHR-akhir ini jiwa bahari orang Bugis-Makassar dan ketangguhan pinisi-pinisinya ditampilkan pada beberapa kesempatan yang bersejarah.

Pada tahun 1986 sebuah pinisi tradisional bernama Phinisi Indonesia — berbobot mati 339 ton, panjang 37,5 meter, lebar 8,5 meter — berlayar ke Expo ’86 di Vancouver, Kanada, dengan rute Ujungpandang, Surabaya, Jakarta, Biak, Honolulu dan Vancouver. Ini merupakan bagian dari Expo internasional, yang diselenggarakan dari 2 Mei sampai 13 Oktober 1986.

Pada mulanya ada masalah tenis karena kerusakan pada generator pembangkit listriknya, namun hal itu dapat diatasi. Pelayaran jauh selama 59 hari (dari Jakarta) itu mengalami sukses dan pinis tiba di Vancouver pada tanggal 15 September 1986, disongsong oleh dentuman meriam.

Phinisi Inonesia ini dibuat dan diberangkatkan untuk dijual. Universitas California tertarik untuk menjadikannya kapal latih, yang akan dihibahkan oleh perusahaan-perusahaan minyak Amerika. Namun kemudian ada masalah layak layar (berdasarkan kriteria US Coast Guard) dan masalah dana untuk menjadikannya memenuhi syarat. Pinisi kebanggaan ini dipulangkan.

Pada tanggal 17 Desember 1987 dilepas pinisi Hati Marege meninggalkan pangkalan perahu Hasanuddin, Ujungpandang, dan dengan sukses tiba di Kora Groova, Australia Utara pada tanggal 17 Januari. Tujuan akhir adalah Darwin dan pinisi tiba di kota tersebut pada tanggal 13 Februari. Perahu ini berbobot 14 ton, panjang 14,5 meter, lebar 4,5 meter. Nakhodanya Mappigau, mantan nakhoda Phinisi Indonesia ke Vancouver.

Pelayaran tersebut merupakan rekonstruksi sejarah kedatangan pelaut-pelaut Bugis-Makassar ke Australia untuk menangkap teripang. Mereka datang dari waktu ke waktu dan — seperti dikatakan di atas — telah menginjakkan kakinya di benua tersebut tiga abad yang lalu. Gagasan melakukan pelayaran ulang ini dicetuskan oleh Peter Spillet, seorang sejarawan Australia. Setelah upacara-upacara selesai, Hati Marege dimasukkan ke Museum Darwin.

Tahun ini nama Ammana Gappa muncul lagi ke permukaan. Pada jam 16.00 tanggal 17 Agustus yang lalu, sebagai salah satu puncak kemeriahan ulang tahun kemerdekaan ke-46, pinisi Ammana Gappa angkat jangkar di Pantai Losari, Ujungpandang, untuk memulai pelayaran menapak tilas pelayaran Bugis-Makassar di masa jauh silam.

Michael Carr dan istrinya telah menjual semua harta bendanya untuk memenuhi sebuah ambisi, yakni mengarungi Samudara Indonesia dengan pinisi tradisional, dari Ujungpandang menuju Madagaskar. Mantan pelaut profesional Inggris tersebut memesan sebuah perahu pinisi yang diperlukannya di Tanaberu, dan diberinya nama Ammana Gappa. Untung pula kekurangan dana dapat ditambal oleh perusahaan kapal Glohm + Voss. Semua awak perahunya orang Tanaberu, termasuk nakhoda kawakan Muhammad Yunus (68). Rencananya selanjutnya adalah membawa pulang Ammana Gappa ke Indonesia dengan kapal besar dan mendirikan museum bahari di Indonesia.

Hubungan kebudayaan antara Indonesia dan Madagaskar (sekarang Republik Malagasi) memang sudah lama diketahui. Berbeda dengan di Australia Utara, di mana kedatangan orang Indonesia selama berabad- abad tidak meningglkan bekas yang berarti, unsur kebudayaan dan keturunan Indonesia cukup penting di Malagasi. Masyarakat Malagasi mendapat pengaruh yang kuat dari Indonesia, di samping pengaruh Prancis dan India.

Semoga pelayaran pinisi Ammana Gappa ini merangsang ilmuwan kita untuk lebih mendalami aspek-aspek komponen Indonesia pada masyarakat Malagasi.

Akhirnya, setelah mengalami berbagai masalah dalam perjalanan, perahu layar Ammana Gappa telah berhasil mencapai Pulau Madagaskar dan menurunkan jangka pada tanggal 5 Oktober lalu di pelabuhan Antsiranama. Selamat kepada Michael Carr suami istri, kepada nakhoda Muhammad Yunus dan para awak kapal dari Tanaberu. Selamat juga kepada Ammana Gappa. (Masri Singarimbun)

Artikel Lainnya