Istimewa

Perjalanan Pinisi Ammana Gappa

Perjalanan Menembus Waktu

·sekitar 7 menit baca

Pinisi Ammana Gappa

PERJALANAN MENEMBUS WAKTU

Pengantar Redaksi:

Tanggal 17 Agustus mendatang, rencananya akan berangkat menggunakan perahu pinisi, ekspedisi dari Ujungpandang ke Madagaskar. Pelayaran yang diperkirakan memakan waktu 45 hari ini akan menelusuri kembali jejak para pelaut tradisional Bugis-Makassar. Para pelaut ini diyakini sejak ratusan tahun silam sudah menjejakkan kaki di Madagaskar. Rencana pelayaran tersebut dipaparkan dalam tiga tulisan oleh wartawan Kompas HM Fahmy Myala dan Arya Gunawan.

JIKA tiada aral melintang, Sabtu sore tanggal 17 Agustus mendatang akan ada upacara meriah di pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan. Persis pada hari peringatan kemerdekaan Indonesia itu, akan ada pelepasan perahu pinisi “Ammana Gappa”. Perahu yang mengambil nama seorang tokoh pelaut Sulsel abad ke-17 yang sempat juga menulis tentang hukum laut ini, akan memulai ekspedisinya. “Ammana Gappa” akan berlayar dari Ujungpandang menuju Madagaskar, sebuah negara kepulauan yang terletak tak jauh dari benua Afrika dan hanya dipisahkan dari pantai timur Afrika oleh Terusan Mozambik.

Menurut rencana, Gubernur Sulsel Prof Dr Amiruddin P. sendiri yang akan melepas perahu ini, diiringi belasan perahu lainnya dari daerah setempat yang memang sedang merayakan pesta laut tahunan. Perahu-perahu pengiring tersebut akan berlayar menuju ke Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta) dengan membawa beras, sedangkan pinisi “Ammana Gappa” akan memisahkan diri dan menuju ke Pelabuhan Benoa (Bali). Beristirahat sekitar 1-2 hari di Bali, rombongan ekspedisi ini akan kembali menjejak ke samudera lepas, membawa 11 awak kapal dan perlengkapan lainnya, termasuk enam perahu-perahu kecil terbuat dari bahan baja untuk keadaan darurat.

Perjalanan menempuh jarak sejauh 4.200 mil hingga tiba di Pelabuhan Antseranana, di utara-timur laut Madagaskar, diperkirakan memakan waktu 45-60 hari, tanpa singgah-singgah di pelabuhan lainnya. Sebelumnya, tanggal 7 Agustus perahu pinisi ini sudah lebih dahulu memulai perjalanan dari Tanaberu, sebuah desa di Kabupaten Bulukumba yang dijadikan lokasi pembuatan perahu ini. Dari daerah yang memang tersohor sebagai tempat lahirnya para pelaut ulung Sulsel ini, sekitar tiga hari kemudian barulah perahu tadi merapat di pelabuhan Makassar.

Pelayaran dari Tanaberu ke Makassar ini hanya dilaksanakan oleh delapan orang awak kapal, yang kesemuanya penduduk asli Tanaberu. Tiba di pelabuhan Makassar, perahu akan beristirahat beberapa hari sekalian memeriksa berbagai kelengkapan, menjemput dua awak kapal lainnya yang menanti di Ujungpandang, baru kemudian memulai pelayaran panjang ke laut lepas dengan nakhoda Muhammad Yunus (68), seorang pelaut ulung yang disegani di daerah Tanaberu. Diperkirakan pertengahan Oktober rombongan ekspedisi ini akan tiba di Madagaskar.

Menembus waktu

Tidak terlampau berlebihan jika ekspedisi ini dianggap sebagai suatu pelayaran yang menembus waktu. Jika semuanya berlangsung dengan lancar dan mulus hingga mendarat di Madagaskar nantinya, seluruh catatan perjalanan ini niscaya akan menjadi sebuah kisah tersendiri yang melemparkan pikiran ke masa-masa ratusan tahun yang lampau. Sampai sekarang sangat diyakini, beberapa suku di Indonesia merupakan orang-orang yang pantang surut menjelajah samudera. Tujuannya bisa bermacam-macam. Belum ada catatan paling sahih yang bisa menerangkannya.

Para pelaut tradisional negeri ini tidak segan-segan menjelajah ribuan mil dari tempat asalnya, dengan tujuan berdagang, mencari daerah baru, ataukah lantaran terdesak oleh bentuk-bentuk kekuasaan tertentu di daerah asalnya. Mereka pun berpencar, dan salah satu daerah baru yang berhasil mereka temukan adalah Madagaskar. Beberapa suku bangsa pelaut Indonesia, seperti Madura (Jawa), Bugis-Makassar (Sulsel), dan Melayu (Sumatera), disebut-sebut sebagai pelaut yang pernah tiba di Madagaskar (baca juga Ke Madagaskar, Menelusuri Jejak Masa Silam).

Bukan hanya Madagaskar yang sampai kini dipercaya pernah disinggahi dan kemudian didiami oleh para pelaut tradisional Indonesia. Dari berbagai kepustakaan tentang dunia kelautan, nenek moyang bangsa Indonesia bahkan secara teratur sering mengunjungi daratan Tiongkok, Birma, Srilanka, dan Australia, hanya dengan menggunakan perahu-perahu tradisional berukuran kecil. Beberapa ahli bahkan meyakini keperkasaan nenek moyang bangsa Indonesia jauh lebih dulu dibandingkan dengan para pelaut Eropa yang tersohor namanya karena banyak disebut-sebut dalam sejarah dunia.

Ini juga yang diyakini William Michael Carr (46), seorang mantan pelaut profesional berkebangsaan Inggris yang akhirnya mencetuskan gagasan untuk melakukan ekspedisi Indonesia-Madagaskar dengan pinisi “Ammana Gappa” ini. Mantan pelaut bertubuh tinggi besar ini berkeyakinan yang sama dengan Peter Spillet, seorang ahli sejarah Australia yang pernah berlayar dari Ujungpandang ke Darwin. Menurut Michael, bukan bangsanya yang menemukan Benua Australia, seperti anutan banyak orang hingga kini, melainkan para pelaut Makassar.

“Kapten James Cook yang dipercaya sebagai penemu Australia itu, sebenarnya masih jauh keperkasaannya bila dibandingkan para pelaut Makassar di masa dilam. Sayang sekali, sejarah pelayaran Indonesia masa purba tidak pernah tercatat,” ujar Michael ketika ditemui wartawan Kompas di Sulsel beberapa waktu silam, saat menanti usainya pembuatan perahu pinisi “Ammana Gappa”.

Tentang hubungan Indonesia-Madagaskar sendiri, Michael yang merujuk kepada beberapa buku dan keterangan yang pernah diterimanya, mempercayai para pelaut tradisional dari Sulsel sudah melakukan pelayaran lewat Samudera Hindia dan mengikuti arus air yang menuju ke arah barat pada saat sedang musim angin barat. Meraka hanya menggunakan perahu-perahu tradisional berukuran kecil, tanpa mesin, dan hanya mengandalkan pada angin yang meniup layar.

Dikatakannya juga, paling sedikit ada dua kali migrasi besar- besaran penduduk dari Sulsel menuju ke Madagaskar, yakni sekitar 1,5 abad yang silam dan 900 tahun yang silam. Buktinya antara lain bisa terlihat dari persamaan arsitektur bangunan pada beberapa daerah di Madagaskar, serta adanya kesamaan dialek bahasa pada salah satu suku di Madagaskar dengan dialek Konjo. Yang terakhir ini adalah dialek asli dari salah satu suku di Tanaberu, Bulukumba (Sulsel).

Perkiraaan-perkiraan inilah nantinya yang akan dibuktikan setibanya ekspedisi di Madagaskar. “Mungkin kami akan melakukan riset antropologi sekitar 2-3 minggu di sana,” kata Michael. Jika riset ini telah tuntas, rombongan ekspedisi akan kembali ke Tanah Air dengan menggunakan pesawat terbang, sedangkan pinisi “Ammana Gappa” menurut rencana akan dibawa menggunakan kapal besar, pulang ke Indonesia.

Berdasarkan ini semua, Michael kemudian bertekad mewujudkan gagasannya untuk menelusuri kembali jejak pelayaran tradisional para pelaut Sulsel menuju ke Madagaskar, lewat ekspedisi pinisi “Ammana Gappa” ini. Perwujudan gagasan ini sendiri sebetulnya penuh liku- liku, dan sedikit banyak menggambarkan betapa kukuhnya Michael untuk melaksanakan niatnya. Hampir seluruh hartanya yang berharga di Inggris sana, sudah dijualnya untuk memodali rencananya. Untunglah kemudian upayanya ini agak diperingan dengan datangnya uluran tangan perusahaan perkapalan besar dari Hamburg (Jerman), Blohm + Voss, yang bersedia menjadi sponsor (baca juga Dia Telah Menjual Seluruh Miliknya).

Lebih berat

Bentuk perahu pinisi memang menjadi pilihan dalam ekspedisi ini. Selain terkenal karena kerampingan, daya tahan konstruksi, dan kelincahannya dalam mengarungi samudera, nama perahu Bugis yang berciri khas dua tiang dengan tujuh layar itu sendiri memang telah sedikit banyak telah teruji. Sukses Pinisi Nusantara yang mencapai Pelabuhan Vancouver (Kanada) tahun 1986 lalu, adalah salah satu buktinya.

Namun, jika dibandingkan dengan ekspedisi Pinisi Nusantara, ekspedisi ke Madagaskar dengan pinisi “Ammana Gappa” ini boleh dikatakan lebih berat. Bisa dibandingkan misalnya dari bobot mati perahu, jika Pinisi Nusantara mencapai 150 ton dengan mesin berkekuatan 150 PK, “Ammana Gappa” hanya sekitar 35 ton dengan mesin cadangan 35 PK.

Peralatan yang dimiliki ekspedisi ke Madagaskar ini juga jauh lebih tradisional, antara lain berupa radio komunikasi dan kompas. Selebihnya hanya berpedomankan kepada perilaku alam, seperti petunjuk bintang-bintang, dan mengikuti arus air dan angin. Pinisi Nusantara lima tahun lalu antara lain dilengkapi peralatan komunikasi yang berhubungan dengan satelit komunikasi Inmarsat (International Maritime Satelite), suatu peralatan yang terbilang sangat canggih.

“Kami memang ingin membuat suasana pelayaran ini mendekati seperti apa yang dialami para pelaut tradisional Sulsel di masa silam,” kata Michael Carr mengungkapkan alasannya. Menurut beberapa keterangan, para pelaut Sulsel dahulu selain memang memiliki peralatan berupa kompas, hanya mengandalkan kepada petunjuk alam saja. Dikisahkan juga, peralatan kompas itu diperoleh penduduk setempat dari para pedagang Cina yang ratusan tahun lalu sudah memiliki permukiman di Pulau Selayar, sebuah pulau kecil di sebelah selatan Sulawesi.

Mengingat tradisionalnya perahu yang akan membawa rombongan ekspedisi ke Madagaskar ini, ada juga pihak yang meragukan kemungkinan berhasilnya ekspedisi ini. Namun Dr Ing Sularto Hadisuwarno SE (61), pakar transportasi dari Universitas Hasanuddin yang juga terlibat merancang Pinisi Nusantara yang sudah berlayar ke Vancouver tahun 1986 itu, mengatakan bahwa konstruksi pinisi “Ammana Gappa” sangat baik, dilakukan dengan hati-hati dan teliti, dengan bahan baku yang benar-benar terpilih. “Saya sendiri ikut meneliti proses pembuatan konstruksi perahu tersebut,” ujar mantan Ketua Bappeda Sulsel yang kelahiran Jawa namun beristrikan seorang putri bangsawan Bugis ini.

Pelayaran mengarungi Samudera Hindia nan luas ini, tampaknya memang sudah cukup siap. Tekad sudah dipaterikan di hati, layar sudah dikembangkan di tiang perahu, tinggal kini berjalan dengan ketabahan penuh, menghadapi lautan yang tentu saja menyimpan begitu banyak misteri dan teka-teki. Tiada lain, hanya berserah diri kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi, dan memohon semoga ekspedisi ini bisa menjalani segala rencanya dengan selamat dan sukses, hingga tiba kembali ke Tanah Air.

 

 

Istiwewa

Istimewa

Muhammad Yunus (68), pelaut kawakan dari Tanaberu yang akan menjadi Nakhoda Pinisi Ammana Gappa .

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya